Baca ini dulu! Hahahaha.
Jadi, karena ini spesial cem mi sedap ayam kari spesial, aku bakal pakai pov 3. Ya untuk bab ini aja. Seterusnya, nanti lanjut lagi pakai pov clara. Eh, tapi bisa jadi ada pov Arvan. Uuuu, aku nggak sabar bayangin ke uwuan mereka.
Awkay, happy reading!
.
.
.Semua manusia, tanpa terkecuali, membutuhkan uluran tangan seseorang untuk membantunya bertahan hidup. Pun dengan laki-laki yang baru menginjak usia empat belas tahun itu. Arvan butuh sosok dewasa yang bisa melindunginya dari berbagai macam bahaya. Ia butuh orang dewasa yang bisa ia jadikan tempat pulang.
Namun, Arvan tidak menemukan orang dewasa yang mau membantunya. Pun demgan keluarganya. Mereka ... seolah lepas tangan dan tidak menganggap Arvan bagian dari mereka setelah kedua orang tuanya dinyatakan tewas dalam tragedi kecelakaan maut yang terjadi dua hari lalu.
Arvan mengembuskan napas panjang, sekarang ia tidak tahu harus melangkahkan kaki ke mana usai dari pemakaman orang tuanya. Rumah yang ia tempati terlihat mengerikan bagi Arvan. Keluarganya begitu haus akan harta. Padahal masih ada anak laki-lakinya di sini, tapi mereka malah sibuk memperebutkan kedudukan. Namun, Arvan bisa apa? Ia masih terlalu muda untuk mengelola bisnis orang tuanya.
Langkah kaki itu terhenti ketika manik kelamnya mendapati seorang gadis kecil yang tengah menangis. Tangan dan kaki nya terlihat kotor serta mengenakan sepatu roda. Arvan simpulkan, gadis itu terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangan.
Merasa kasihan, Arvan berjalan mendekat ke arah gadis yang mengepang dua rambut panjangnya itu. Tangannya terulur untuk membantu gadis yang belum ia ketahui namanya itu untuk berdiri.
"Ayo bangun." Arvan masih setia mengulurkan tangannya meski gadis itu hanya mengerjap-ngerjapkan mata lalu kembali menangis. Melihat respon yang dia berikan membuat Arvan kelabakan. Segera dia berjongkok, menepuk pelan bahu gadis itu sembari berkata, "Sudah, sudah. Jangan menangis lagi. Aku nggak gigit, kok. Aku cuma mau bantu kamu."
Itu memang niat Arvan, tapi kenapa niat baiknya justru dibalas dengan tangisan kencang? Duh, beruntung tempat ini sepi. Jika tidak, pasti Arvan sudah disalahkan karena tangis gadis ini tidak kunjung reda juga.
"Hei, kamu kenapa nangis lagi?" Seumur-umur, baru kali ini Arvan kebingungan untuk meredakan tangis perempuan. Biasanya, dia tidak mau repot-repot untuk membuat mereka tenang dan memilih pergi begitu saja meski yang salah adalah dirinya. Singkatnya Arvan malas bertanggung jawab.
"M-Mas g-gimana, s-sih?!" Gadis itu berbicara sembari sesegukan, membuat Arvan menggaruk tenguknya yang tidak gatal. "Kaki aku itu sakit, nggak bisa berdiri. Tapi Mas nyuruh aku berdiri. Perih ini!"
Arvan melongo mendengar penuturan yang disampaikan gadis yang Arvan taksir umurnya sekitar ... entahlah. Sepertinya dia masih menduduki bangku SD.
Mengembuskan napas panjang, Arvan menggumamkan kata maaf. "Ya, sudah, Mas minta maaf. Jadi kamu mau gimana? Ditinggalin di sini atau--" Ucapan Arvan dipotong dengan bentakan gadis itu lagi.
"Mas gimana, sih?! Masa mau ninggalin aku? Nggak punya hati banget!" Lagi-lagi gadis itu menangis keras. Duh! Arvan jadi serba salah rasanya. Dia bingung harus melakukan apa.
Ayo otak! Berpikir, berpikir, berpikir!
"Ya udah, mas antar kamu pulang. Mas gendong." Ucapan Arvan berhasil membuat tangis gadis berkulit kuning langsat itu berhenti. Ia mengerjap berulang kali sembari menatap Arvan, seolah mencari kebenaran di mata laki-laki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika Bulan Tak Menemukan Sinarnya (TAMAT)
RomanceDari sekian banyak kesialan di dunia ini, kenapa Clara Abimana harus memasuki dunia novel buatannya sendiri? Bagus jika ia menjadi pemeran utama yang dilimpahi kasih sayang serta keromantisan sang suami, Clara akan sangat bersenang hati menerima tak...