Baca ini dulu.
Hahahaha. Maaf geng, rupanya ga bisa satu bab, karena masih ada lagi yang mau dituntaskan. Gemes banget gasi mereka? Rasanya aku pengen banget buat special chap ini jd beberapa bagian lagi. Yaaaaa, karena ini emang bab bonus. Ingat? Hehe.
Jadi aku mau buat masa kecil ini sampai mereka berpisah nanti. Lalu aku baru bisa up bagian Clara setelah hamil. Jadi, nanti kalian kudu baca betul-betul author noteku, ya. Biar ga bingung.
Okay, lanjut?
Happy reading!
.
.
.Jambakan, tendangan, pukulan dilayangkan gadis dalam gendongannya secara bertubi. Membuat Arvan nyaris jatuh karena kehilangan keseimbangan yang disebabkan oleh gadis dalam gendongannya tersebut. Astaga! Arvan tidak tahu kalau kekuatan anak SD seperti Clara ini sangat dahsyat!
Oke, Arvan menyerah! Dengan hati-hati dia menunduk, menurunkan Clara dari punggungnya. Arvan pikir gadis berkulit kuning langsat itu akan berhenti memukulinya. Namun, nyatanya dugaan Arvan salah! Clara ternyata belum puas memukuli Arvan hingga membuat tangan kecil gadis itu terus saja melayang ke arah yang tidak menentu.
"Mas Dipta jahat! Mas pikir bisa nyulik aku? Nggak semudah itu, Mas!" Kali ini pukulan Clara terasa semakin sakit di badannya. Namun, ucapan yang terlontar dari mulut gadis itu membuat Arvan menyemburkan tawa.
Apa tadi katanya? Nyulik?
"Siapa yang mau nyulik kamu, sih?" Ucapan Arvan berhasil menghentikan aksi brutal Clara. Gadis yang tingginya hanya sebatas dada Arva itu menatapnya dengan bingung.
"Loh, jadi Mas Dipta nggak mau nyulik aku?"
"Nggak! Siapa juga yang mau nyulik cewek bar-bar kayak kamu? Bukannya untung malah buntung!"
Arvan benar, 'kan? Dia yang berniat mengajak Clara bercanda saja sudah dipukul secara brutal seperti itu. Apalagi menculik sungguhan? Arvan bahkan tidak yakin kalau salah satu anggota tubuhnya masih berfungsi dengan baik setelah dipukuli oleh gadis itu.
"Ish!" Clara kembali memukuli Arvan tanpa ampun. Kesal sekali gadis itu dikatakan bar-bar. Meski benar, tapi kan tidak harus dikatakan di depan Clara juga. Tidak sopan namanya! Huh! Menyabalkan. "Mas Dipta ngeselinnn!"
"Ya Allah, Clara! Kamu ngapain mukul-mukul orang kayak begitu, Nak?" Wanita yang berstatus sebagai ibu Clara itu berjalan tergesa mendekati anak sulungnya. Beliau menatap garang Clara lalu kembali berujar, "Kenapa Masnya kamu pukul, Nak? Ibu nggak pernah ngajarin kamu begitu. Dia salah apa?"
"Bu, Mas Dipta ini mau nyulik anak cantik ibu. Terus pas aku ngelakuin pembelaan diri, Mas Dipta malah bilang kalau aku bar-bar. Aku kan kesel, Bu! Lagian, aku mukul Mas Dipta juga karena melakukan perlawanan. Coba aja kalau aku nggak mukulin dia? Bisa-bisa aku diculik beneran!" jelas Clara menggebu. Matanya bahkan nyaris copot karena terus menerus melotot ke arah Arvan yang kini memasang raut menyedihkan, tapi menyebalkan di mata Clara.
"Aku cuma bercanda, Tante. Dan soal bar-bar ..." Arvan meringis, merasa tidak enak jika mengungkapkan perasaannya. Namun, kepalang basah, lebih baik Arvan jujur saja, "anak Tante emang agak bar-bar."
"Aduh, maaf, ya, Nak. Clara emang begitu. Dia kalau merasa terancam memang sukanya mukulin orang." Gantian, kini ibu Clara yang meringis merasa tidak enak karena sikap anaknya. "Tapi, ngomong-ngomong, kenapa Clara bisa sama kamu, Nak? Bukannya tadi dia izin sama tante main sepatu roda, ya?"
"Ah, itu. Tadi dia jatuh, Tan. Jadi aku tolongin."
Mendengar jawaban yang dilontarkan Dipta, membuat ibunya mendengkus. Ia menatap kesal pada anak sulungnya yang selalu saja bertindak semaunya tanpa berpikir panjang. Beliau menarik napas panjang lalu meengembuskannya secara kasar. "Kalau begitu ceritanya ... Clara, minta maaf sama Masnya."
"Enggak mau! Masnya juga salah. Jadi, Mas Dipta juga harus minta maaf sama Clara. Coba aja kalau Mas Dipta nggak nakal, Clara nggak bakalan pukul dia." Clara berpaling muka sembari bersedekap dada. Hal itu tak luput dari pandangan Arvan. Lucu.
"Nggak bakal pukul?" Arvan bertanya skeptis. "Terus ... tadi sewaktu kamu tanya aku soal nama panjang, dan aku jawab--"
"Iya, Mas Dipta!" Clara refleks menangkup wajah Arvan dan menekan pipinya hingga bibir cowok itu monyong seperti bebek. "Clara minta maaf. Oke? Tadi Clara salah, jadi Mas Dipta ..." Clara memajukan wajah, ia sembari berbisik, "nggak usah ember sama ibu!" Kemudian menjauhkan wajah sembari tersenyum, "Mas Nggak marah lagi, 'kan, sama aku?"
Kedipan mata serta pelototan penuh ancaman Clara usai melepaskan tangan dari wajah Arvan membuat cowok itu nyaris terbahak. Ia berusaha semaksimal mungkin untuk menahan tawa karena melihat ekspresi lucu yang ditampilkan gadis itu.
"Karena Mas orangnya pemaaf, jadi ... ya udah, Mas maafin."
"Nah, begitu." Ibu Clara menimpali. "Nak Dipta tinggal di mana? Mau ibu sama Clara antar pulang?" Suara lembut ibu Clara membuat Arvan tanpa sadar mengembuskan napas berat. Ia kembali teringat keadaan rumahnya yang begitu ramai karena keluarganya sedang ribut memperebutkan posisi menjadi pemimpin di perusahaan milik papanya.
"Mas Dipta kenapa?" Entah Clara yang terlalu peka atau Arvan yang terlalu kentara menampilkan mimik muka sedihnya, membuat gadis itu kembali mendekat pada Arvan. "Mas nggak punya rumah?" Pertanyaan yang diiringi wajah tanpa dosa itu membuat Arvan mendengkus seraya menatap sebal Clara.
"Hush! Kamu nggak boleh begitu, Nak." Clara menananggapi dengan memutar bola mata malas.
"Terus, kalau Mas punya rumah, kenapa Mas Dipta sedih gitu?"
"Mas ... lagi malas pulang."
"Kalau gitu, Mas nginep di rumah kita aja! Bapak lagi nggak ada juga di rumah. Aku cuma bertiga aja sama ibu dan adek. Jadi, kalau Mas Dipta nginep di rumah kita nggak bakal masalah. Bener, 'kan, Bu?"
Ibu hanya terkekeh sembari mengacak rambut putrinya gemas. Clara ini ... kadang memang tidak bisa ditebak. Dia bisa bersikap galak dan baik dalam satu waktu. Moodnya sangat mudag berubah. Kadang naik, kadang turun drastis.
"Kalau Masnya dibolehin sama orang tuanya dan Masnya mau, boleh, kok." Ibu kembali merapikan rambut Clara yang ia buat berantakan tadi. Ia lantas mengangkat pandangan, menatap laki-laki yang diperkirakan masih SMP itu sembari tersenyum, "Kamu mau main ke rumah Clara, Nak? Tapi ... orang tua kamu nggak nyariin?"
"Papa sama mama baru aja meninggal, Tan. Jadi aku nggak mau pulang dulu karena banyak keluarga yang berisik banget di rumah. Mereka bahkan tadi sempet berantem di makam orang tuaku." Arvan tidak tahu kenapa ia bercerita. Entahlah, ia hanya merasa kalau ibu dari gadis yang tadi ditolongnya sangat baik, lembut, dan juga perhatian. Ya, meskipun sangat berbeda dengan sikap anaknya yang bar-bar.
"Ya ampun. Ya sudah, kalau begitu sebagai ucapan terima kasih tante, anggap aja kalau tante ini mama kamu, ya, Nak?"
Arvan melemparkan senyum manis, sementara Clara bersorak gembira sembari berjingkrak ria. "Yeay! Ada temen berantem baru!"
●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●
Tbc ...
Ahay! Ini awal mulanya geng. Btw, ini masih ada satu chapter ygy. Setelah itu nanti bakal balik ke pov clara. Wkwkwkwkwkwkkwkwkwkwkw. Pas balik ke pov Clara, aku bakal buat bagian anu. Hahahahaha. Tebak sendiri aja deh.
See u geng!
Luv, Zea.♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika Bulan Tak Menemukan Sinarnya (TAMAT)
RomanceDari sekian banyak kesialan di dunia ini, kenapa Clara Abimana harus memasuki dunia novel buatannya sendiri? Bagus jika ia menjadi pemeran utama yang dilimpahi kasih sayang serta keromantisan sang suami, Clara akan sangat bersenang hati menerima tak...