Dua Tiga

3.4K 376 14
                                    

Elena's PoV

Aku meringis saat merasakan nyeri di bagian bahu kananku. Ah, ini pasti karena luka tembak yang didapat dari sok menjadi pahlawan demi melindungi sang pujaan.  Perlahan aku membuka mata yang masih terasa berat sebab belum terbiasa dengan cahaya yang masuk ke retina.

Entah berapa lama aku tidak sadarkan diri hingga ketika membuka mata, yang kudapati hanya Mas Abi, suami yang berusaha kuselamatkan nyawanya. Pria yang masih mengenakan stelan kantornya itu tertidur sembari menggenggam tangan kiriku yang bebas infus.

Aku tersenyum tipis sembari mengangkat pelan tangan kanan, membelai lembut rambut kecokelatan Mas Abi sebelum akhirnya pria yang sangat kucintai itu membuka mata karena terusik oleh perlakuanku.

"Sayang?" Mata Mas Abi berair, dia ... menangis? Astaga, bahkan Mas Abi memiliki kantung mata, serta wajahnya terlihat pucat.

"M-Ma ... s, berapa lama kamu nggak tidur?" Kalimat yang susah payah kuucapkan itu membuat Mas Abi meletakkan jari telunjuknya di depan bibirku. Dia menggeleng pelan sebelum akhirnya menunduk, mengecup keningku lama.

"Jangan mikirin aku. Semua bakal baik-baik aja kalau kamu ada di sisiku, Elena." Suara Mas Abi terdengar serak. Aku tahu saat ini dia sedang menahan isak tangis, bahkan beberapa kali Mas Abi mengusap air mata yang jatuh, seolah tidak ingin membiarkanku untuk melihatnya.

"Tunggu sebentar, aku panggilin dokter dulu biar kamu bisa diperiksa." Mas Abi ingin beranjak, tapi aku segera menahan tangannya. Menatap Mas Abi dengan wajah memelas sembari menggeleng pelan, berharap dia tidak pergi. Oh, ayolah, aku masih ingin menikmati waktu berdua dengan suamiku ini.

"Mas ... nanti aja. Aku kangen sama kamu." Astaga! Aku tidak percaya aku bisa merengek manja macam anak kecil yang pengen es krim. Tapi bodo amatlah, pokoknya aku kangen sama suamiku dan pengen berduaan. Titik.

Mas Abi menanggapi dengan senyum lembut. Lantas dia mengecup tanganku seraya berkata, "Sayang, dokter harus periksa kamu dulu. Satu hari nggak sadar bukan waktu yang singkat buat aku. Setelah kondisi kamu dinyatakan aman, aku janji bakal meluk kamu sampai rindu kita terobati. Mau, ya?"

Akhirnya, aku hanya bisa mengangguk pasrah, membiarkan Mas Abi menyeret langkah keluar dari ruang rawatku.

Satu hari, ya? Jadi selama satu hari aku terbaring tidak berdaya di atas ranjang rumah sakit ini. Lantas apa pelaku penembakan itu sudah tertangkap atau belum? Aih, Mas Abi banyak berhutang cerita padaku.

Dan soal teror ... apakah Mas Abi sudah menemukan siapa pelakunya? Argh! Memikirkan hal-hal berat seperti itu membuat kepalaku berdenyut nyeri.

"Eh, tunggu dulu. Waktu itu, Clara bilang dia ingin menyelamatkanku dari maut dengan cara memutuskan hubungan dengan Alan. Lalu ... setelah berhasil menghapus Alan dari hatiku, aku mulai mendapatkan teror. Dan terakhir, aku tertembak karena ingin menyelamatkan Mas Abi."

Aku spontan menutup mulut dengan telapak tangan. Kalau dipikir-pikir, teror yang kudapat memang setelah aku memutuskan semua hubungan dengan Alan. "Apa mungkin, Alan dalang di balik ini semua? Tapi ... kayaknya nggak mungkin, deh. Memangnya Mas Alan dapat keuntungan apa?"

Belum terjawab pertanyaan yang bersarang di benakku, pintu ruang rawat terbuka. Seorang wanita paruh baya yang mengenakan jas kebanggaan para dokter masuk sembari tersenyum hangat padaku.

"Bagaiamana keadaan kamu, Elena? Apa masih merasa pusing? Atau nyeri di bagian bahu?" Suara lembut Dr. Putu, begitu name tag-nya, menyapa indra pendengarku.

"Sedikit."

Dokter Putu mengangguk usai memeriksa tekanan darahku. Dia tersenyum lagi, kemudian berkata, "Tensinya normal, Elena hanya perlu istirahat untuk masa pemulihan. Dan satu lagi, tolong jangan biarkan dia berpikir terlalu keras."

Mas Abi mengangguk patuh, sebelum akhirnya berterima kasih setelah Dokter Putu pamit undur diri.

"Aku udah kabarin mama. Besok pagi dia bakal ke sini jenguk kamu." Mas Abi memberitahu usai menutup pintu. Perlahan pria itu mengangkat tubuhku, menggeser dengan penuh kehati-hatian sebelum merebahkan diri di sampingku.

Dengan lembut Mas Abi mengangkat kepalaku, meletakkan di lengan kekarnya sebelum memeluk perutku pelan, hingga aku bisa mencium aroma tubuh maskulin Mas Abi yang selalu membuatku merasa nyaman dan tenang.

"Kamu banyak berhutang penjelasan sama aku, Mas," ucapku pelan. Namun, aku tahu, Mas Abi pasti mendengar. "Kata dokter, aku nggak boleh berpikir keras. Jadi, bisa kamu jelasin semua hal yang terjadi setelah aku tertem--"

"Ssstttt! Jangan ngomong soal kamu tertembak lagi, Elena." Aku merasa Mas Abi mengeratkan pelukannya. "Aku benar-benar menyesal karena nggak bisa jaga kamu ...," ungkapnya dengan suara serak.

Apa Mas Abi menangis?

Perlahan aku mendongkak, menatap matanya yang memerah menahan tangis. Aku tersenyum tipis ketika melihat air bening itu jatuh. Kemudian aku mengangkat tangan kanan yang masih terasa ngilu secara perlahan, lalu mengusap air mata Mas Abi seraya berkata, "Mas ... jangan nangis. Aku nggak apa-apa, kok. Sekarang aku udah baik-baik aja, 'kan?"

Mas Abi menggeleng. "Tapi aku nggak becus jadi suami yang baik, Elena. Kalau aja aku fokus jagain kamu dan nggak mengabaikan ancaman dia, kamu nggak bakal--"

"Dia? Siapa, Mas?"

Apakah si dia yang dimaksud Mas Abi adalah dalang di balik teror itu atau pelaku penembakan kemarin? Kutatap Mas Abi yang kini menatapku, lantas pria itu mengembuskan napas berat sebelum akhirnya berucap, "Tidur, Sayang."

"Nggak sebelum kamu kasih tau."

Mana bisa aku tidur dengan dibalut rasa penasaran?

"Mas, jawab! Kamu mau aku mikirin si dia dia itu sepanjang malam?" Ayolah, Mas, aku benaran penasaran. Masalahnya aku belum tahu siapa dalang di balik teror dan siapa pelaku penembakan waktu itu. Apakah mereka orang yang berbeda, atau orang yang sama?

"Besok aja, ya? Sekarang udah malam, loh, Sayang. Kamu harus istirahat. Atau mau kubuatin susu dulu?"

Aish! Mas Abi menyebalkan. Ya sudahlah, terserah saja. Aku tidak peduli lagi. Biarkan saja malam ini aku tidak bisa tidur karena dihantui rasa penasaran. Dan kalau keadaanku memburuk karenanya, salahkan saja Mas Abi.

Aku mencebik kesal, lantas menjauhkan diri dari Mas Abi. Tidak lupa menyingkirkan tangannya yang memeluk perutku. Jangan harap bisa tidur denganku malam ini kalau tidak menjawab semua pertanyaan yang kuajukan.

"Turun. Tidur di sofa sana. Aku males tidur sama kamu."

Bukannya turun, mengikuti apa yang perintahkan, Mas Abi justru terbahak lalu kembali memelukku. Dan tentu saja aku langsung memukul tangan nakalnya agar melepaskanku.

"Nggak mau." Mas Abi menenggelamkan kepalanya di ceruk leherku, membuat aku berdecak.

"Aku nggak mau, ya, tidur bareng kamu. Turun, Mas!" Aku marah! Kesal! Pengen nampar Mas Abi, tapi inget sama dosa, jadi nggak jadi. Akhirnya aku memutuskan untuk mendiamkannya. Iya, cowok mana tahan kalau didiemin, 'kan?

"Sayang, ayo tidur."

Aku bungkam, menatap ke arah televisi yang dimatikan. Tidak menoleh ke arah Mas Abi yang masih setia memelukku, pun tidak pula menghiraukannya.

"Sayang? Elena, kamu harus tidur."

Lagi, aku memilih diam. Kali ini aku menatap kukuku yang mulai memanjang. Hingga akhirnya helaan napas panjang dari Mas Abi terdengar, membuatku bersorak dalam diam. Aku yakin, Mas Abi pasti menyerah dan memberitahu siapa 'dia' itu.

"Alan. Dia adalah Alan."

Hah? Gimana-gimana?

●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●

Tbc ...

Abi ni emang suka ngomong setengah2 heran🤣🤣🤣 alan apa? Alan kenapa? Dia adalah alan apa? Hayooo apa maksud Abi?

See u aja deh ya🤣🤣

Luv, Zea♡

Jika Bulan Tak Menemukan Sinarnya (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang