Kelebihan Chapter, Sayang Dibuang

1.6K 159 13
                                    

Baca ini dulu. Wkwkwkwk.

Karena masa ketjil mereka sudah selesai sampai di bagian tiga, chapter sebelum ini, jadi aku akan melanjutkan menggunakan POV Clara, ya. Meskipun ini ekstra chap, tetap aja ada hal penting, yang mungkin bisa menjawab pertanyaan2 kelen sebelumnya.

Hahaha  itu dulu, deh.

Happy reading, ya!

.
.
.

Mataku mengerjap berulang kali, mencoba mengumpulkan kesadaran yang berusaha kuraih. Pun dengan napasku yang kian memburu. Kenangan itu ... kenapa harus masuk ke dalam mimpi indah yang menjelma menjadi mimpi buruk. Ditinggalkan. Satu kata itu masih menjadi ketakutan tersendiri dalam hati.

Kutarik napas panjang, lalu kuembuskan perlahan. Jangan ditahan kalau tidak mau gas beracun yang keluar. Langit-langit kamar bercat putih yang pertama kali ditangkap oleh indra penglihatan ketika aku membuka mata. Perlahan kutolehkan kepala, hingga iris kecokelatanku mendapati wajah Mas Arvan yang terlelap nyenyak dalam tidurnya.

"Masih ada." Entah kenapa kenangan masa lalu itu datang lagi. Seolah menyentakku pada kejadian yang paling ingin aku lupakan. Kejadian yang tentu masih segar diingatan meski sudah berusaha menghapuskan.

Perlahan aku membalikkan tubuh hingga menghadap Mas Arvan sepenuhnya. Tanganku terangkat, membelai lembut wajahnya. Mass Arvan versi dewasa sangat jauh berbeda ketika dia masih menginjak bangku sekolah menengah atas.

Iya, mukanya memang mirip. Hanya saja ... warna kulit serta bentuk wajahnya yang menurutku sedikit berubah. Dulu kulit Mas Arvan--yang dulu sering kupanggil Mas Dipta--tentu tidak seputih ini. Mas Arvan itu hitam, lebih mengarah kedekil. Maaf, aku bukan bermaksud untuk mengatai suami sendiri. Tapi memang begitu kenyataannya!

Namun, meskipun terlihat kucel, dekil, atau apalah itu, bagiku Mas Arvan versi remaja sangat manis enggak ada obat! Uhhh, bahkan membayangkannya saja sudah berhasil membuatku senyum-senyum sendiri macam orang gila nyasar.

Tapi versi dewasanya ... lebih hot! Oh my gosh! Serius. Mas Arvan versi dewasa benar-benar ganteng. Ditambah perut kotak-kotak yang menambah kesan maskulin. Ah, jangan lupakan rahang Mas Arvan serta tatapan mata yang tajam yang membuatku nyaris meleleh seperti keju mozarela.

Uhhh! Kegantengan Mas Arvan memang kegantengan yang hakiki. Tidak sia-sia memang aku menunggu Mas Arvan pulang menepati janji. Ya, meski ada sedikit drama. Ah, tapi kalo diingat-ingat, drama yanh kualami tidaklah sedikit, melainkan banyak! Sangat-sangat banyak malah.

Dari masalah dengan ibu, lalu editor, ketemu orang sinting, lalu dikagetkan dengan status baru, dan jangan lupa masul ke dunia novel, lalu menghadapi segala masalah yang membuat aku senam jantung setiap saat. Episodenya benar-benar melebihi drakor alias drama Korea yang sering kutonton!

Panjang binti ruwet bin mumet!

"Sayang? Ngapain colok lubang hidungku?"

Eh? Wahai jariku yang budiman, kenapa engkau malah nyasar masuk ke lubang hidung Mas Arvan?! Astaga. Jadi bangun kan dia. Susah-susah tadi aku tidurkan, eh gara-gara si jari telunjuk, Mas Arvan melek lagi. Duh, jangan sampai, deh, dia minta yang aneh-aneh lagi.

Aku meringis pelan seraya mengusap pipinya sayang. "Nggak sengaja, Mas. Tadinya mau myolok mata kamu, eh, jari aku malah kepeleset masuk ke lubang hidung. Utung upilnya nggak nyangkut, ya, Mas?"

Mendengar ocehan gaje alias gak jelasku, bibir Mas Arvan langsung monyong lima senti. Astaga! Ngambeknya kasih kode minta dicium. Sumpah, lihat Mas Arvan kayak gini gemesin banget. Pengen unyel-unyel mukanya, tapi takut dosa.

Tapi ...

"Ihhh! Gemesin banget, sih, Mas, mukanya!" Gigiku menyatu saking gemasnya dengan Mas Arvan. Astaga, aku bahkan masih tidak percaya, eh, bukan, maksudnya masih merasa seperti ... apa, ya? Mimpi mungkin? Intinya itulah. Aku masih merasa seperti mimpi kalau Mas Dipta kembali, Mas Diptaku telah menepati janjinya dulu. Janji yang ia tuliskan di lembaran kertas yamg diambil dari tengahan buku.

Jika Bulan Tak Menemukan Sinarnya (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang