Dua Lima

3.6K 344 6
                                    

Elena's PoV

Ingin rasanya aku tidak mempercayai pernyataan yang dilontarkan Mas Abi. Namun, aku tahu--setelah hubungan kami membaik--Mas Abi memiliki prinsip kalau dia tidak akan pernah membohongi pasangannya. Jadi, tentu aku harus mempercayai perkataannya, bukan? Mencoba menerima dan berusaha menelan kekecewaan yang mendalam karena Alan.

Kalau boleh bercerita, aku ingin sekali menjabarkan bagaimana sifat Alan itu. Bagaimana pertemuan kami yang kalau diingat sangat manis. Bagaimana cara dia tersenyum dan menyikapi setiap masalah tanpa ada kata kasar di dalamnya. Alan adalah orang yang paling tenang dan lembut yang pernah kukenal. Hal itulah yang membuatku tidak pernah sedikit pun menaruh rasa curiga padanya.

"Dulu, aku selalu ingetin kamu, Elena. Alan itu orang yang sangat berbahaya. Dia akan melakukan apa pun untuk mendapatkan sesuatu yang sudah dia targetkan." Mas Abi menyodorkan segelas air putih di depan bibirku. Perlahan aku memegangi gelas kaca itu, lalu meminum air di dalamnya hingga kerongkonganku terasa dingin.

Mas Abi kembali meletakkan gelas di nakas. Dia lantas membersihkan bibirku menggunakan tisu sebelum berkata, "Kamu tau? Alan ingin sekali menjatuhkan agensi WB Entertaimen agar agensi modelingnya bersinar. Dan kamu, dijadikannya alat untuk memperlancar rencananya.

"Tapi sayang, setelah dua bulan, kamu mengambil keputusan tepat dengan meninggalkan Alan, rencananya ingin menghancurkan WB Entertaimen gagal. Ya, meskipun aku harus keluar uang banyak untuk bayar penalti. Nggak apa-apa, yang terpenting bagiku saat ini adalah, kamu ada sini, di sisiku, dan akan selalu begitu."

Mendengar penuturan Mas Abi membuatku tersenyum. Ah, seperti aku benar-benar harus berterima kasih pada Clara. Kalau perlu, aku akan memberinya hadiah yang besar karena telah berjuang menyelamatkanku di dunia ini dan menyatukanku kembali dengan Mas Abi, suamiku.

Dan berbicara soal Clara, entah hanya perasaanku saja atau memang benar adanya, aku tidak merasakan adanya jiwa lain lagi dalam tubuhku. Rasanya seperti ... kosong, tapi melegakan. Bagaimana, ya, menjelaskannya?

Dulu, ketika jiwa Clara masih bersemayam di tubuhku, aku selalu merasa takut kalau-kalau penulis itu menggunakan tubuhku untuk melakukan hal yang bahkan bisa menjatuhkan harga diri seorang Elena.

Benar-benar wanita egois! Dia tidak pernah memikirkan perasaan orang lain.

Namun, walau begitu, Clara tetaplah menjadi orang yang paling berjasa dalam hidupku. Tanpanya, aku mungkin tidak akan merasakan hangatnya pelukan Mas Abi. Tanpa Clara, nungkin aku tidak akan sebahagia ini. Karena bagaimanapun juga, kebahagian yang dulu kudapat itu dari Alan, orang yang mencoba memanfaatkanku untuk keuntungannya sendiri.

"I love you, Mas!" seruku, yang membuat Mas Abi melongo. Bahkan dapat kulihat telinganya memerah. Astaga, beginikah reaksi pria kalau wanitanya mengungkapkan perasaan?

"Hah? Kamu bilang apa?" Mas Abi bergerak mendekatiku, hingga telinganya berada tepat di depan mulutku. "Coba ulangi lagi."

Aku mendengkus, kemudian terbahak. Astaga! Kenapa Mas Abi mendadak budek? Apa kata-kata 'i love you' bisa menyebabkan telinga tersumbat?

"Nggak ada pengulangan!" seruku menolak permintaan Mas Abi. Lantas pria itu tersenyum, lalu mendekapku perlahan sembari mengusap lembut rambut panjangku.

"Aku benar-benar mencintai kamu, Elena."

Dan aku bahagia karena dicintai oleh Mas Abi. Astaga, betapa bodohnya aku dulu tidak pernah menyadari perhatian-perhatian kecil yang diberikan Mas Abi. Bahkan ketika pria yang mendekapku ini berbicara kasar, dia tetap memberikan perhatiannya padaku. Betingkah seolah benci, padahal dia peduli setengah mati.

Aku berdehem sebentar, melepas pelukan Mas Abi dan menatapnya dengan senyum merekah di wajah. "Terus, gimana sama Alan? Udah ketangkep?"

Mendengar pertanyaanku, membuat Mas Abi mendengkus. Entahlah. Mungkin dia kesal ketika aku kembali membahas soal Alan? Aku terkekeh pelan. Dasar, suami cemburuan. Aku heran, deh, padahal kan aku hanya penasaran dengan apa yang terjadi pada orang gila yang sialnya pernah kucintai itu.

Ya, Tuhan, rasanya aku ingin mencuci otakku dengan air suci sebanyak tujuh kali dan dicampur dengan tanah agar suci dan bersih dari ingatan tentang Alan.

"Udah. Dia nggak bakal bisa lari ke mana-mana kalau tempat itu sudah dikepung."

Dikepung? Hah? Maksudnya? Bukankah kemarin hanya ada kami berdua? Tidak ada siapa pun. Bagaimana bisa Alan dikepung?

"Gimana, Mas?"

"Aku bukan orang bodoh yang menyepelekan ancaman Alan begitu aja, Elena. Dia, jauh sebelum kamu tertembak sudah menemui aku, mengancamku agar menjauhi kamu. Tentu aku nggak mau karena, ya, kamu tau sendiri jawabannya. Nggak mungkin kan aku jauhin istri sendiri hanya karena ancaman yang menurutku kecil dari dia?

"Maka dari itu, aku sengaja mengiyakan ajakan kamu ke pondok bambu. Bicara keras seolah mau ngasih tau dia apa rencana aku yang mau buat kejutan buat kamu. Dan meminta orang-orang aku untuk pergi agar kita bisa berduaan aja. Karena aku tau, pasti ada mata-mata yang selalu menginformasikan apa yang kurencanakan ini.

"Sementara di sisi lain, aku udah ngerencanain sesuatu. Aku cuma ngajak beberapa orang aku untuk membantu persiapan. Dan yang lainnya, kuminta untuk diam-diam mengikuti, lalu bersembunyi agar mereka mengira kalau aku dan kamu hanya berkencan berdua." Mas Abi mengambil napas panjang, dia menatap lurus ke depan.

"Karena aku tau, ancaman Alan nggak main-main. Dia nggak akan segan membunuh aku atau kamu kalau dia nggak bisa dapatin kamu. Sebegitu terobsesinya dia sama kamu."

Bahuku melemas mendengar penjelasan yang keluar dari Mas Abi. Sumpah demi apa pun, aku tidak pernah menyangka Alan memiliki niat sepicik itu. Dia ... ingin membunuhku dan Mas Abi? Aish! Bodohnya aku karena pernah percaya padanya dulu.

Tapi tidak salah kan jika dulu aku percaya pada Alan?

Begini, selama aku mengenal Alan, dari awal pertemuan sampai akhir pemutusan hubungan, Alan selalu bersikap baik. Dia orang yang sangat amat manis menurutku. Mampu membuat siapa pun terhipnotis dengan sikap lembutnya.

Siapa yang menyangka jika Alan tidak selembut dan semanis yang dilihat?

Aku memijat pelipisku pelan. Kepalaku rasanya kembali nyut-nyutan, ditambah tangan kananku yang terasa nyeri. Astaga, terlalu banyak berpikir membuat aku lemas.

"Sayang? Astaga!" Mas Abi berdecak, lantas pria itu memanggil dokter untuk memeriksa keadaanku. "Ini alasanku kenapa nggak mau cerita dulu sama kamu, Elena. Kamu masih belum pulih betul."

Tatapan khawatir Mas Abi membuatku tersenyum. "Nggak apa-apa, Mas. Cuma sakit kepala biasa. Oh, iya, makasih udah kasih tau semuanya, ya, Mas. Dan maaf, dulu aku udah bersikap kurang ajar sama kamu." Tanpa sadar air mataku menetes. Persetan jika hal itu menambah kekhawatiran Mas Abi. Aku hanya ingin memperlihatkan rasa penyesalanku yang teramat dalam padanya.

"Sssttt! Udah, ya, aku nggak mau kamu minta maaf untuk hal-hal yang nggak penting." Mas Abi mengusap air mata yang jatuh di pipi, lantas dia mengecup kedua mataku yang kini terpejam. "Aku mencintai kamu, Elena. Dan akan selalu mencintaimu."

●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●

Tbc ...

Happy ending untuk Elena! Yeayyyyyg akhirnya ya Allahhhhh aku senang sekaliii. Uhuy! Sekarang mari kita kembali ke laptop!

Claraaa im cooming~~

Maaf lama yaaa updatenya. Akhir2 ini aku emang agak anu sama real lifeku. Rasanya kekkkk, huh! Apasi? Gitulohhh🤣🤣🤣 pengen mencek2, pengen marah, pengen banting hape, tapi gabisaaaaaaaaaa.

Dah, ah, see u aja.

Luv, Zea♡

Jika Bulan Tak Menemukan Sinarnya (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang