Mata Abigail terbelalak sesaat ketika bibirku dan bibirnya menyatu. Namun, setelahnya pria itu justru tersenyum miring sebelum akhirnya ia mengangkat tubuhku, memutar posisi hingga aku duduk di pangkuannya.
"Sepertinya, istri saya bertemu dengan kamu hanya untuk memberitahu kalau dia tidak ingin lagi berhubungan dengan Anda." Abigail berkata pada Alan. Perlahan kulirik wajah suami Delima itu yang nampak merah padam menahan amarah yang memuncak. Melihat hal itu membuatku memeluk Abigail dan menenggelamkan wajahku di ceruk lehernya.
Persetan dengan gengsi. Yang kuinginkan saat ini hanyalah segera enyah dari tempat ini lalu mengklarifikasi apa yang terjadi pada Abigail. Sungguh, aku tidak ingin dia salah paham mengenai ciuman dadakan tadi.
"Kalau begitu, saya permisi. Istri saya daritadi gigit-gigit leher. Sepertinya, dia mau melanjutkan di rumah." Mataku terbelalak mendengar kalimat absurd yang keluat dari mulut Abigail. Mengigit-gigit leher? Heh! Semut di dinding juga tau aku daritadi nggak ngapa-ngapain. Lihat saja, setelah Abigail berhasil membawaku pergi dari hadapan Alan dan Delima, aku akan merealisasikan ucapan Abigail tadi.
Hingga tidak lama kemudian, aku merasa Abigail beranjak dari posisinya. Dia masih setia menggendongku, sementara aku menyiapkan diri sebelum ....
"ARGHHH!" Abigail berteriak kesakitan, lantas ia menjauhkan kepalaku dari lehernya. Menatapku tajam sebelum akhirnya ia berujar, "Kamu mau main-main sama saya, hm?"
"Turunin aku." Aku berontak minta diturunkan oleh Abigail. Namun, tidak semudah itu, Ferguso! Pria yang hari ini mengenakan hoodie putih itu mengeratkan pelukannya, hingga aku kesulitan bergerak.
"Turunin? Setelah kamu saya bantu untuk menghadapi istri sah Alan, lalu mengigit leher saya?" Abigail terkekeh sinis. "Saya bahkan tidak akan melepaskan kamu sampai kamu benar-benar menyesal karena telah meninggalkan jejak gigi di leher saya."
Mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Abigail sontak membuat aku terbelalak. Sialan! Bagaimana ini? Sangat sulit rasanya melepaskan diri dari Abigail. Bahkan setelah pria itu berhasil mendudukkanku dalam mobilnya, dia tidak membiarkanku bebas begitu saja.
Tangan kanan Abigail menahan tubuhku, sementara tangan kirinya mencari sesuatu di dasbor. Dalam hati aku berdoa, semoga suami sinting Elena ini tidak akan melakukan apa pun yang membuat aku menyesal karena telah meminta bantuannya.
Namun, ketika Abigail mendapatkan apa yang dia cari. Laki-laki itu lantas mengikat tubuhku menggunakan tali. Astaga, sebenarnya apa yang direncanakan Abigail? Kenapa dia harus mengikatku segala? Lagipula, aku mau kabur ke mana?
Aku berdecak, menatap kesal Abigail yang masih sibuk melilitkan tali di tubuhku. "Kurang kerjaan banget, sih, kamu, Mas."
"Ini demi keselamatan saya." Keningku berkerut mendengar jawaban Abigail. Keselamatan apanya?
"Terserahlah." Malas berdebat, aku memilih memejamkan mata. Biarlah Abigail melakukan apa yang ingin dia lakukan. Toh, melawan tidak akan ada gunanya kalau akhirnya Abigail yang menang.
Namun, ketenanganku terganggu ketika otakku memberi sinyal ada ketidakberesan yang terjadi. Sontak mataku terbelalak saat menyadari kecepatan mobil Abigail.
"Mas! Jangan gila!" Sungguh, aku tidak mau mati muda. Tuhan, aku belum memuntaskan misi agar bisa kembali ke dunia asalku. Namun, seperti tuli, Abigail tidak mendengarkanku. Pria itu bahkan menambah kecepatan mobilnya hingga mencapai batas maksimal.
"Ini hukuman pertama buat kamu. Spot jantung. Saya rasa, ini hukuman pemanasan terbaik sebelum kamu memasuki hukuman selanjutnya." Abigail berkata dengan tenang. Setenang air di dalam wadah. Sementara jantungku sangat tidak aman. Tidak, aku tidak bisa membiarkan Abigail menyetir dengan kecepatan maksimal.
Di tengah kesibukanku memikirkan cara agar bisa terlepas dari tali sialan ini, secara berangsur Abigail memelankan laju mobil hingga aku bisa bernapas lega. Namun, kelegaan itu berganti menjadi kecemasan ketika netraku menangkap seseorang yang mengenakan pakaian serba hitam mengikuti kami di belakang dengan tangan yang mengarahkan pistol ke depan.
"Mas, ada penjahat yang nodongin pistol ke arah mobil kita!" Aku panik. Bagaimana kalau orang itu menembakkan peluru ke arah mobil hingga membuat kendaraan yang kami tumpangi kehilangan kendali?
"Saya tau." Tenang, dan tanpa beban. Astaga, sebenarnya Abigail ini manusia seperti apa? Kenapa dia tetap tenang padahal maut sudah mengancam?
"Tolong lepasin aku, Mas."
"Untuk apa? Kamu mau membuat nyawa kita semakin terancam?"
Masih saja menyebalkan. Di saat genting seperti ini, laki-laki kurang asem, pedas, manis di sampingku tetap egois. Dia pikir aku tidak bisa membantu untuk menyelamatkan diri? Padahal, jika aku terbebas dari tali kampreto ini, aku kan bisa membantu merekam aksi gila orang jahat yang kuker alias kurang kerjaan itu. Jadi, aku punya bukti untuk melaporkan tindak krimanalnya terhadap kami.
Tapi dengan songongnya mulut pedas Abigail berkata seperti itu. Hais! Sudahlah, lebih baik aku memejamkan mata atau tidur sekalian. Siapa tahu aku mimpi didatangi cogan alias cowok ganteng baik hati, tidak sombong, dan rajin menabung. Namun, sial! Bayang-bayang pengendara yang menodongkan pistol mobil yang kami tumpangi membuatku tidak tenang. Sangat-sangat tidak tenang.
Bagaimana kalau kami mati? Bagaimana kalau aku tidak bisa kembali ke dunia asalku setelah Elena mati? Ah, bagaimana ini? Aku harus apa? Apa yang harus kulakukan agar--
"Mas awas!" Di depan sana aku melihat pohon hendak tumbang. Bukannya berhenti, Abigail justru nekat menerobos dengan menambah kecepatan hingga maksimal. Sementara aku? Jangan ditanya! Yang kulakukan hanya merapal doa serta menyebutkan dosa-dosaku sepanjang hidup sebelum aku mati mengenaskan di dunia novel ini.
Aku merasa, laju mobil memelan hingga membuatku memberanikan untuk membuka mata perlahan. Kulihat wajah Abigail, pria itu mengembuskan napas lega. Penasaran, aku menoleh ke belakang untuk melihat apa yang terjadi.
Abigail berhasil melewati pohon itu sebelum tumbang dan penjahat yang entah apa tujuannya itu tertinggal dan berhenti mengejar kami.
Demi Tuhan, tadi itu benar-benar menegangkan.
"Dia siapa?"
"Saya nggak tau. Tapi, sewaktu kita naik mobil, orang itu terus mengawasi." Abigail mendekatiku, lalu dengan perlahan ia melepaskan tali yang melilit tubuhku. "Maaf, saya harus melakukan ini karena saya tahu, kalau kamu akan bertindak gegabah jika tidak terikat." Pria itu tersenyum menyebalkan, membuat aku ingin sekali menyentil ginjalnya.
"Dasar suami nggak ada akhlak!" gumamku.
"Kalau aku mati gimana?"
"Ya, tinggal dimakamkan. Beres, 'kan?"
ABIGAIL SETAN! DASAR MANUSIA TIDAK BERPERASAAN. Dia pikir aku apa? Apa dia tidak memikirkan kalau akan ada yang bersedih jika aku menghilang dari dunia ini? Selingkuhanku misalnya?
"Udahlah, ngomong sama kamu sama aja cari penyakit." Lebih baik aku diam. Mencerna kejadian barusan lebih baik daripada meladeni ucapan suami yang tidak berperi keistrian macam Abigail.
Ngomong-ngomong soal penyerangan tadi, aku sama sekali tidak pernah membuat karakter yang menjadi musuh suami Elena. Lantas apa yang menyebabkan orang itu mengincar mereka bahkan sampai menodongkan pistol seperti itu?
Apakah ini konsekuensi yang aku terima jika mengubah plot cerita?
Jika demikian, apa yang akan terjadi nanti jika aku mengubah sebagian hidupnya?
●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●
Tbc...
Gimana2? Tegang ga? Ahahahhahaha.
Ada adegan kising yaw. Aw.
See u aja deh. Btw, aku tripple up ya.
Luv, Zea♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika Bulan Tak Menemukan Sinarnya (TAMAT)
RomanceDari sekian banyak kesialan di dunia ini, kenapa Clara Abimana harus memasuki dunia novel buatannya sendiri? Bagus jika ia menjadi pemeran utama yang dilimpahi kasih sayang serta keromantisan sang suami, Clara akan sangat bersenang hati menerima tak...