"Penjelasan apa, Sayang? Kamu mau minta cium di bibir biar semua jelas kalau kita udah suami istri?" Mas Arvan menaik turunkan alisnya, membuatku mendengkus kesal.
Aish! Ini laki satu kenapa jadi mesum begini, sih? Nggak mungkin kan otak mesumnya ketularan Abigail? Secara yang tau sikap asli Abigail itu cuma aku dan Elena. Sementara pembaca cuma tau sikap dingin Abigail dan ketololan Elena yang hakiki karena terus mengejar cinta Alan, padahal dia sudah punya suami yang gantengnya kebangetan.
"Mesum, ih! Siapa juga yang mau minta cium?!" Aku memutar bola mata kesal. Mas Arvan ini ... kalau pemikirannya agak rada-rada terus setiap hari, bisa-bisa aku kebablasan jitakin otak Mas Arvan karena kesal.
Bukannya marah atau tersinggung dengan sikapku yang bisa dibilang tidak sopan pada suami, Mas Arvan justru terkekeh. Dia membelai lembut puncak kepalaku sebelum akhirnya menjatuhkan kecupan hangat di sana.
"Saya sangat bersyukur bisa memiliki kamu, Clara." Mas Arvan menjauhkan wajahnya beberapa senti meter dari wajahku, hingga aku bersitatap dengan manik kecokelatan milik Mas Arvan. "Boleh saya minta sesuatu dari kamu?"
Suara lembut Mas Arvan mengalun indah di telinga, tangannya tidak absen sedikit pun dari mengusap pipiku. Bagai terhipnotis, aku mengangguk pelan, seolah menyetujui apa yang baru saja dia minta.
"Jangan buat saya khawatir lagi. Clara, saya nggak akan pernah tau bagaimana caranya menghadapi hari esok tanpa kamu. Setiap hari saya berdoa, agar Tuhan membukakan mata kamu, membuat kamu bangun dari tidur panjang." Mas Arvan menjatuhkan kepala di atas dadaku, lantas pria yang berstatus sebagai suamiku itu kembali berujar, "Saya benar-benar mencintai kamu, Clara. Dari dulu, sekarang, dan selamanya."
Dari dulu?
Aish! Perkataan Mas Arvan yang terakhir berhasil membentuk beberapa pertanyaan di benakku. Apa maksud dari kata dari dulu? Apa Mas Arvan sudah mencintaiku sejak dulu, sejak kami belum menikah, atau Mas Arvan mencintaiku setelah dia bertemu denganku? Ah, aku tidak bisa mentafsirkan ucapannya!
"Mas, lepas." Jujur, ya, bukannya terharu atau merasa bagaimana gitu setelah di peluk Mas Arvan, aku malah merasa geli karena pergerakan kecil yang dibuat olehnya.
Tanpa membantah, Mas Arvan mengangkat wajahnya. Pria itu lantas duduk di samping ranjangku. Dengan tangan yang masih setia menggenggam hangat tanganku.
Jujur, jika Mas Arvan belum menikahiku, alias kita masih berada di tahap pendekatan, mungkin aku bisa langsung jatuh cinta pada cowok ganteng modelan Mas Arvan. Namun, dalam kasus ini berbeda. Mas Arvan suamiku, dia telah mengucapkan janji suci di hadapan semua orang usai melakukan ijab kabul, padahal kami belum pernah bertemu barang sekali.
Dan hal yang sangat membuat aku penasaran adalah, kenapa Mas Arvan mau menerima pernikahan ini? Kenapa dia bersikap seolah sangat mencintaiku padahal selama aku datang ke tanah kelahiranku ini, aku lebih lama berbaring dengan mata terpejam di rumah sakit daripada berinteraksi dengannya. Bahkan kalau diingat-ingat, interaksiku dengan Mas Arvan baru saja dilakukan setelah aku membuka mata.
"Kenapa, Sayang? Kamu nggak suka dipeluk begitu?" tanya Mas Arvan dengan kening berkerut.
"Bukannya nggak suka, tap--"
"Berarti kamu suka kalau saya peluk?"
Aku menepuk jidat karena merasa jengkel dengan Mas Arvan yang menyela ucapanku. Astaga, pikiran Mas Arvan ini nampaknya perlu diperbaiki.
"Aku nggak bilang gitu, ya, Mas. Ish!"
Tuh, kan! Aku jadi lupa tadi mau ngomong apa. Dasar Mas Arvan!
Mendengkus kesal, aku mengibaskan tangan. Memberi gestur mengusir, memberi pahaman agar dia keluar dari ruang rawatku. Namun, tentu saja Mas Arvan tidak menangkap sinyalku dengan baik yang benar. Bukannya keluar dan meninggalkan aku sendiri di sini, pria itu malah berjalan ke arah pintu lalu menguncinya.
"Sebentar lagi dokter bakal datang meriksa kamu. Tapi karena kamu nggak mau waktu kita berdua diganggu, jadinya aku kunci pintunya." Mas Arvan memberi penjelasan yang membuat aku semakin emosi jiwa raga. "Astaga, Mas! Sebenarnya apa, sih, yang kamu pikirin?!"
Kupikir, Abigaillah makhluk paling menyebalkan yang pernah kutemui. Nyatanya, Mas Arvan, suamiku sendiri, lebih menyebalkan berkali-kali lipat dibanding Abigail. Astaga! Kalau begini terus setiap hari, aku tidak yakin aku bakal awet muda.
Mas Arvan terkekeh menanggapi kekesalanku. "Maaf, Clara. Saya cuma bercanda." Mas Arvan membuka kunci pintu, kemudian dia berjalan ke arahku, lalu duduk di tepi ranjang. Mas Arvan menatapku dengan tatapan lembut yang berhasil membuat jantungku jedag jedug di dalam.
Aish! Kenapa mesti pakai acara deg-degan segala, sih? Kalau Mas Arvan denger gimana?
"Sebentar lagi ibu datang. Setelah itu saya baru pergi buat cari sarapan. Inget, ya, selama saya pergi, kamu jangan bentak ibu. Apa pun yang beliau lakukan itu pasti ada alasannya." Mas Arvan menatap ke arah pintu yang terbuka.
Sejenak aku tertegun mendengar penuturan yang keluar dari mulut Mas Arvan. Astaga, ternyata dia bisa sebijak ini. Diam-diam aku tersenyum. Namun, senyumku itu hanya bertahan beberapa detik, karena Mas Arvan kembali mengalihkan pandangannya ke arahku.
"Diperiksa dulu, ya, Sayang."
Aku mendengkus, seraya memalingkan wajah menatap jendela ruangan. Hal itu membuat Mas Abi terkekeh, dia menundukkan kepala lalu tanpa ragu menjatuhkan kecupan di keningku. Cukup lama, dan sialnya, cukup membuatku merasa nyaman dengan terpaan napas hangat darinya.
"Aku sayang banget sama kamu, Clara. Aku janji setelah kamu keluar dari rumah sakit, aku akan kasih penjelasan yang mau kamu dengar." Mas Arvan tersenyum lagi, pria itu kini beralih menatap dokter dan suster yang sudah berdiri di hadapannya.
"Saya tinggal sebentar, ya, kayaknya ibu saya ada di depan. Suster, bisa tolong jagain istri saya sebentar? Sampai saya datang. Nanti saya beliin sarapan juga bukan kamu karena udah jagain istri saya."
"Iya, Pak."
Aku memutar bola mata malas. Entah kenapa aku merasa sedikit, catat! Hanya sedikit merasa kesal melihat interaksi antara Mas Arvan dengan suster itu. Aish! Ini menyebalkan.
"Sayang, aku pergi sebentar!" pamit Mas Arvan sebelum benar-benar menghilang dari pandangan.
"Bagaimana, Clara? Apakah ada keluhan? Pusing, mual, atau semacamnya?" Dokter yang kutaksir berumur setengah abad itu berhasil mengalihkan atensiku dari pintu.
"Keluhan, ya? Ada, Dok! Sikap suami saya yang nyebelin akut ngebuat kepala saya pusing."
Mendengar jawabanku, membuat dokter itu terkekeh. Dia menggeleng pelan sebelum berkata, "Berati cuma pusing, ya?"
Aku mengangguk, lantas pria paruh baya itu berujar, "Baik kalau begitu." Dokter itu menulis sesuatu yang kutebak adalah resep obat. "Suster, nanti suruh Pak Arvan buat tebus obat ini, ya." Suster itu langsung menyambut kertas kecil yang diberikan Pak Dokter.
"Kalau begitu, saya permisi." Dokter pergi meninggalkan ruanganku, sementara suster berkulit hitam manis itu tetap tinggal di sana sesuai permintaan Mas Arvan untuk menjagaku.
"Bu Clara beruntung banget punya suami kayak Pak Arvan. Dia benar-benar setia. Menjaga Bu Clara siang malam. Bahkan suami Bu Clara itu rela kerja di ruangan rawat Bu Clara karena nggak mau ninggalin Bu Clara sendirian." Dapat kulihat binar kekaguman terpancar dari mata gadis itu.
"Secinta itu dia sama Bu Clara. Saya jadi iri."
Aku diam, mencerna ucapan yang terlontar dari mulut suster itu. Kalau apa yang dikatakan suster benar adanya, tidak dilebih-lebihkan, apa aku harus berterima kasih pada ibu karena telah memilihkam suami yang baik untukku?
Ah, Elena! Aku butuh bantuan kamu!
●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●
Tbc ...
Bentar lagi tamat gesss🤣🤣🤣
Ayeee senangnya. Tpi agak sedih juga si berpisah sama Clara😭 gpp gpp, abis ini aku mau buat cerita baru lagi🤣 yang kujamin nggak kalah seru sama cerita ini. Tapi setelah aku tamatin project teenfictku. Baru deh nulis romance lagi.
Udahhh dehhh see u ajaaa!
Luv, Zea♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika Bulan Tak Menemukan Sinarnya (TAMAT)
RomanceDari sekian banyak kesialan di dunia ini, kenapa Clara Abimana harus memasuki dunia novel buatannya sendiri? Bagus jika ia menjadi pemeran utama yang dilimpahi kasih sayang serta keromantisan sang suami, Clara akan sangat bersenang hati menerima tak...