Akhir Cerita Kita

2.7K 193 11
                                    

Tangis haru memenuhi ruang yang didominasi dengan warna putih itu. Mas Arvan, ibu, dan dua adikku tidak henti-hentinya mengucap syukur. Pun dengan aku yang kini tengah menggendong putra kami, sementara Mas Arvan menggendong putri kami untuk diazankan.

Setelah selama sembilan bulan sepuluh hari aku mengandung, akhirnya buah hati yang selalu kami nantikan lahir. Bukan hanya satu tapi dua dan sepasang. Kebahagianku kian bertambah ketika melihat dua anak mungilku lahir dalam keadaan sehat.

Tuhan sangat baik kepada kami.

"Sayang, kenapa ini yang cowok mirip kamu? Sementara yang cewek lebih mirip aku?" tanya Mas Arvan sembari menjatuhi ciuman penuh cinta untuk putra dan putri kami. "Tapi nggak apa-apa, aku tetap sayang sama ibunya dan mereka." Sejurus kemudian Mas Arvan menunduk dan melumat bibirku lembut.

Ck! Dasar Mas Arvan, tidak tahu tempat sekali dia. Padahal di sini sedang banyak orang. Meskipun malu, aku tetap membalas ciuman Mas Arvan sebentar, lalu segera menyudahinya karena takut Mas Arvan kebablasan. Bisa bahaya!

"Clara, Arvan, anak kalian mau diberi nama apa?" Ibu mendekat lalu mengambil putri kami yang berada dalam pangkuanku. Senyum wanita yang paling berjasa dalam hidupku pun terukir. "Cantik sekali."

"Belum tau, Bu." Aku dan Mas Arvan memang belum menentukan nama untuk mereka. Sempat, sih, mencari nama yang cocok, hanya saja, Mas Arvan tidak memiliki ketertarikan untuk mencari nama sebelum dua buah hati kami resmi berstatus jadi warga bumi. Katanya kurang afdol. Engahlah, aku hanya mengikuti saja apa yang suamiku ucapkan.

"Tapi kayaknya aku udah ada bayangan untuk nama anak kita, Sayang." Mas Arvan menyerahkan bayi laki-laki kami padaku. "Mentari Senja dan Matahari Senja. Bagus kan? Identik dengan keceriaan dan keindahan. Dan aku berharap, mereka selalu ceria dan diberi limpahan kebahagiaan."

Aku mengangguk setuju. Semua makhluk membutuhkan sinar matahari dan nyaris semua manusia menyukai kehadiran senja yang begitu indah dan menawan.

"Tari dan Ari."

"Namanya bagus." Fajar, nama adik bungsuku. Kedua lesung pipinya langsung tercetak sempurna ketika dia tersenyum. Ah, si bungsu ini memang paling tampan dan paling dekat denganku. "Kak Rara, aku juga mau punya anak." Celetukan Fajar membuat aku terkekeh geli. Dia ini ... sangat menggemaskan sekali.

"Fajar, kamu masih sekolah. Jadi, sebelum kamu punya anak, kamu harus sukses dulu. Belajar betul-betul, ya? Jangan suka nyusahin Ibu." Aku memberi nasihat pada Fajar, membuat laki-laki yang baru menduduki bangku SMA itu mengangguk dan mendekat padaku, memberi ancang-ancang ingin memeluk.

Namun, belum sempat Fajar menyentuhku, tangan Mas Arvan lebih dulu menyambut pelukannya hingga suami dan adikku berpelukan macam teletubis. Sangat mesra dan menggemaskan.

"Pelukannya Mas wakilin aja, ya. Kamu sudah besar soalnya." Perkataan Mas Arvan sontak membuat Fajar cemberut dan kembali duduk di sofa. Hal itu sontak mengundang tawa Bian, adik pertama sekaligus musuhku.

"Lagian, sudah gede masih aja demen meluk Mbak Ra." Panggilan Bian dan Fajar memang beda. Bian lebih suka memanggil Mbak padahal aku sudah melarang dan menyuruh adik songongku itu memanggilku dengan sebutan 'Kak', tapi tentu saja dia menolak keras.

"Berisik, Mas!" Fajar memilih memainkan ponselnya ketimbang berdebat dengan Bian. Sementara Bian kembali menatapku dan berujar, "Mbak Ra, selamat, ya. Nanti kado Tari sama Ari kuantar ke rumah Mbak Ra."

Aku tersenyum hangat ketika Bian yang lebih sering adu mulut denganku berujar penuh dengan kelembutan. Aku bahkan sempat melihat matanya yang berkaca, tapi segera ia singkirkan ketika kristal bening itu jatuh membasahi pipi.

"Ya sudah, ibu mau ke kantin bawah dulu sama Fajar dan Bian," pamit ibu yang lantas beranjak keluar ruangan, diikuti dengan Fajar dan Bian hingga menyisakan aku, Mas Arvan, dan dua buah hati kami.

"Aku sebenarnya seneng kamu udah lahiran, tapi ... serius aku harus puasa lagi sampai masa nifas kamu berakhir?" Wajah nelangsa Mas Arvan benar-benar membuatku tergelak. Antara senang dan kasihan. Aku lantas mengangguk lalu mengusap pipinya lembut sebelum berakhir mencubitnya dengan gemas.

"Sabar, ya, Sayang."

Kini aku merasa kebahagianku telah disempurnakan oleh Tuhan dengan memberikan aku sosok suami yanh begitu penyanyang dan dua buah hati sekaligus di kehamilan pertama.

Dalam diam aku mengucap syukur serta terima kasih yang amat dalam. Jika bukan karena ibu yang menikahkanku secara diam-diam, mungkin kebahagianku tidak sesempurna sekarang. Atau bahkan bisa saja aku masih disibukkan dengan berbagai macam pekerjaan yang menguras banyak waktu dan pikiran.

Aku tersenyum melihat Mas Arvan berbicara dengan Tari dan Ari tentang masa depan. Seolah dua bocah mungil mengerti apa yang dikatakan ayah mereka. Melihat Tari dan Ari yang mengerjap-ngerjap lucu membuatku tiba-tiba teringat akan sosok Elena.

Bagaimana, ya, kabar wanita itu? Apakah dia juga sudah memiliki anak? Kalau sudah, kira-kira anaknya apa? Perempuan atau laki-laki? Ah, aku jadi merindukan Elena. Entah kapan lagi kami bisa bertemu, membalaskan rasa rindu yang menggebu.

Sekarang, keinginanku nggak muluk-muluk. Setelah melihat kebahagian yang terus kutuai, aku ingin meminta pada Tuhan, tetapkan kebahagian ini sampai aku mati. Lalu pertemukan aku dengan Elena, sahabat fiksiku entah bagaimana caranya.

Aku ... sangat merindukan wanita itu.

●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●

SELESAI.

Kali ini benar-benar selesai. Udah habis. Aku nggak berniat buat manjangin bab lagi karena, ya, udah. Ini aja. Konfliknya selesai, mereka bahagia. Wkwkwkwk.

Btw, wahai para pembaca budiman, boleh kah aku minta pendapat kalian tentang novelku ini? Aku bakal sangat berterima kasih kalau kalian kasih pendapat kalian. Karena aku mau tau, dan akan berusaha membaiki kekurangan dari cerita ini.

See u di cerita selanjutnya.

Tetap jaga kesehatan, jangan lengah, dan bahagialah.

Ayafluuu all. Mwahhh!

With luv Zea♡

Jika Bulan Tak Menemukan Sinarnya (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang