Elena's PoV
"Elena? Apa kamu tidur?" Suara serak Mas Abi membelai indra pendengaranku. Sungguh, jantungku tidak bisa diajak kompromi kali ini.
Baiklah, tahan sebentar Elena, kamu hanya perlu akting sedikit agar Mas Abi percaya kalau kamu tidur.
Perlahan aku melenguh, menggeliat tak nyaman ketika merasakan tangan Mas Abi menyentuh lembut wajahku. Astaga! Apa yang pria itu lakukan?! Andai saja aku tidak mengeluarkan suara saat berbicara dengan Clara, akan kupastikan kegiatan Mas Abi hanya mimpi belaka! Dan aku tidak perlu pura-pura tidur karena menutupi kebenaran tentang Clara.
Ah, sial! Jantungku benar-benar tidak aman!
Aku bahkan merasa bibirnya yang lembut menyentuh keningku. Demi apa?! Kenapa Mas Abi mengecup keningku yang masih perawan ini? Apa sekarang aku harus membuka mata dan berpura-pura terganggu karena tingkah konyol Mas Abi agar pria itu berhenti mengecup keningku?
Tidak! Aku tidak bisa melakukan hal yang membuatku merasa malu kalau Mas Abi nantinya tahu aku hanya berpura-pura tidur. Astaga! Lalu sekarang bagaimana? Mas Abi bahkan tidak menjauhkan bibirnya dari keningku setelah, satu menit? Dua menit? Entahlah, aku merasa sentuhan bibir lembut Mas Abi terlalu lama menyapa keningku.
"Maaf." Satu kata yang terdengar lirih itu mampu mengejutkan sekaligus membuat berbagai pertanyaan bersarang di benakku.
Kenapa? Kenapa Mas Abi meminta maaf? Apa dia menyesal karena tidak pernah memedulikanku? Atau karena mulutnya yang lemas akut? Atau--
"Maaf karena selama ini saya nggak bisa jadi suami yang baik buat kamu, Elena."
Deg!
Aku merasa jantungku sudah mau copot. Gerakannya begitu cepat sampai telingaku dapat menangkap suara yang tentu berasa dari dalam dadaku. Bagaimana ini? Bagaimana jika Mas Abi mendengar suara berisik jantungku?
Lalu ... apa yang akan terjadi jika Mas Abi tau kalau tidak tidur? Akankah pria itu menarik kembali kata-katanya? Lalu melontarkan kalimat yang amat sangat menyakiti hatiku?
Ah, entahlah. Aku bahkan bingung dengan perasaanku saat ini. Perasaan nyaman ini ... seharusnya hanya ada untuk Mas Alan, 'kan? Karena hanya dia laki-laki yang kucintai. Hanya dia yang mampu membuatku merasa nyaman dan aman. Hanya Mas Alan yang mampu membuatku merasa sangat bahagia.
Lalu kenapa setelah sikap Mas Abi yang mulai membaik ini membuatku terlena? Aku bahkan sempat melupakan bagaimana kejamnya Mas Abi ketika awal pernikahan kami. Hal yang membuatku berakhir terjerumus dalam lingkaran setan. Lingkaran yang membuat hatiku tertutup dan terus membenci apa pun yang dilakukan oleh Mas Abi.
"Saya tau, saya salah. Itu semua saya lakukan karena kamu selalu menolak saya sebelum pernikahan dilangsungkan. Dan kamu membuat saya bertindak seperti itu. Mengabaikan kamu, agar kamu merasa nyaman."
Dekapan hangat Mas Abi membuatku perlahan membuka mata. Aku bahkan tidak peduli jika Mas Abi masih terjaga dan aku ketahuan hanya berpura-pura. Yang kulakukan hanya berbalik badan, menghadap Mas Abi sepenuhnya, lalu membalas pelukan pria yang berstatus sebagai suamiku itu.
Aku tidak mengerti. Tindakanku di luar kendali. Aku hanya merasa harus melakukan ini meskipun otakku beberapa kali berontak, berusaha mengingatkan tentang sikap Mas Abi dulu. Namun, hatiku justru berkata lain. Aku ingin membalas pelukan Mas Abi, bersandar nyaman pada dada bidangnya, lalu terlelap bersama dan berlabuh ke alam mimpi.
***
Aku yakin, tadi malam aku tidur sembari memeluk Mas Abi. Namun, mengapa sekarang aku tidur seorang diri? Ke mana Mas Abi sepagi ini? Matahari bahkan masih malu-malu menunjukkan sinranya, tapi lelaki itu sudah menghilang entah ke mana.
Perlahan aku bangkit dari posisiku, menyingkap selimut yang menutupi tubuh, dab beranjak hendak mencari Mas Abi. Namun, baru saja satu langkah aku membawa kaki, tiba-tiba suara Clara menghentikanku.
"Surat itu."
Dua kata satu kalimat itu membuat otakku mampu mereka ulang kejadian tadi malam. Bayangan Mas Abi yang memelukku, suara berisik yang membuat Mas Abi terbangun, surat ancaman entah dari siapa, dan berakhir pelukan nyaman serta permintaan maaf yang terlontar dari bibir Mas Abi membuat hatiku tiba-tiba menghangat.
Astaga! Apa yang kupikirkan?
Tawa Clara terdengar begitu menyebalkan. Sial! Dia mengejekku!
"Elena, aku cuma mau diskusi soal surat itu sama kamu. Tapi otak kamu malah traveling membayangkan kemesraan kalian tadi malam." Lagi-lagi Clara terkikik, membuatku sontak berdecak kesal. Hais! Perempuan ini. Kenapa sangat menyebalkan?
"Kenapa? Aku bahkan senang menjadi saksi kemesraan kalian. Uhhh! Aku bahkan berpikir, jika aku kembali ke dunia asalku, apa aku akan seperti kalian?" Clara tersenyum jahil. "Saling tatap, berbalas peluk, saling bertukar air liur, lalu berakhir adegan panas di ranjang."
Mataku membulat mendengar isi otak Clara. Sungguh absurd!
"Clara, aku nggak cinta sama Mas Abi!" bantahku. Tidak akan kubiarkan penulis menyebalkan macam Clara membuat harga diriku terjatuh. Tidak akan!
"Iya, untuk saat ini kalian memang belum saling mencintai. Tapi kamu nggak akan tahu apa yang terjadi di masa depan, 'kan?"
Tidak! Aku tidak akan mencintai Mas Abi karena--
"Kamu bahkan nggak punya alasan lagi buat benci sama Abigail, Elena."
Aku diam beberapa saat, sebelum akhirnya kembali berujar, "Tapi aku cinta sama Mas Alan. Iya. Aku cinta sama dia, dan cuma dia yang bisa ngebahagiain aku!" Aku yakin, setelah ini Clara berhenti mendebatku. Astaga, ingin sekali rasanya aku menyentil otak kecil Clara agar tidak memikirkan hal-hal aneh. Semacam ... aku mencintai Mas Abi? Haha, benarkah demikian? Apa di masa depan aku akan mencintai laki-laki yang bahkan dulu sangat kubenci?
"Obsesi." Sial! Clara masih belum bungkam. Bahkan ucapan yang keluar dari mulutnya terdengar mantap dan mampu meyakinkan siapa pun mendengarkannya. Termasuk aku.
"Rasa kamu ke Alan itu bukan cinta seperti yang kamu pikirin, Elena. Tapi obsesi. Karena kekurangan perhatian dan haus akan kasih sayang dari Abigail, kamu terobsesi untuk memiliki Alan yang menawarkan apa yang kamu butuhkan dan menyingkirkan apa pun yang bersedia menjadi penghalang. Yang kamu bilang cinta itu hanya omong kosong semata. Nyatanya, kamu sudah menaruh hati lebih dulu pada Abigail. Namun, harus kamu pendam karena memilih mengutamakan ego dan harga diri daripada memperjuangkan hal yang seharusnya memang menjadi hak kamu."
Astaga! Kenapa Clara jadi sok tau seperti ini? Aku? Mencinta Mas Abi? Bullshit! Mana pernah aku menaruh hati pada laki-laki yang selalu merendahkanku? Laki-laki yang menganggapku pengganggu dalam kehidupannya.
Tapi ... perasaan nyaman itu. Aku benar-benar merasakannya ketika berada di dekat Mas Abi.
Ya, Tuhan! Ada apa dengan diriku?
"Oh, iya, satu lagi. Setelah Abigail pergi ke kantor. Aku mau memakai raga kamu untuk menyelidiki surat ancaman itu."
Kalimat terakhir yang Clara utarakan tidak membuat otakku berhenti memikirkan kata-kata Clara sebelumnya. Obsesi? Kesepian? Haus kasih sayang? Ah, benarkah selama ini cintanya pada Mas Alan hanya obsesi karena ketiadaan perhatian serta kasih sayang dari Mas Abi?
"Sepertinya kamu memang hobi melamun, Elena. Sampai-sampai tidak menyadari kehadiran saya." Mas Abi tersenyum tipis, ia berjalan mendekatiku dengan nampan yang berisi segelas susu dan sepiring nasi goreng lengkap dengan telor mata sapi.
Aku tercengang. Benar-benar tercengang.
Tuhan, bantu aku membedakan antara sikap Mas Abi yang tulus dengan yang terpaksa!
●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●
Tbc ....
Hehe. Udh lama ga jumpa. Habis ini mau up marathon.
See u yaaa
Luv, Zea♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika Bulan Tak Menemukan Sinarnya (TAMAT)
RomanceDari sekian banyak kesialan di dunia ini, kenapa Clara Abimana harus memasuki dunia novel buatannya sendiri? Bagus jika ia menjadi pemeran utama yang dilimpahi kasih sayang serta keromantisan sang suami, Clara akan sangat bersenang hati menerima tak...