Tiga Puluh

3.3K 341 12
                                    

Kaki lesu Mas Arvan berjalan ke arah ranjang. Entah sudah berapa kali pria itu menatapku dengan tatapan memelasnya. Uh, menggemaskan sekali. Ingin rasanya kugigit bibir yang sengaja dia monyongkan seperti bebek tanda sedang merajuk. Namun, tetap tak kuhiraukan. Aku bahkan berlagak seolah tidak mengerti apa maksud dari tatapannya.

Sesekali mengerjai suami sendiri boleh, 'kan?

Sudah nyaris sepuluh hari aku kedatangan tamu bulanan, dan hari ini sebenarnya sudah bersih alias sudah bisa salat lagi. Namun, aku sengaja membohongi Mas Arvan yang sudah kebelet minta diberi jatah padahal perjanjian untuk pengembang biakan dilakukan setelah pesta pernikahan. Dan pesta itu akan dilangsungkan besok.

"Sayang ...," rengek Mas Arvan. Bibir bawahnya maju beberapa senti membuatku sangat bersemangat untuk mencubit bibir manis suamiku itu.

"Ish! Kenapa malah dicubit!" protesnya yang hanya kubalas dengan kekehan kecil. Mas Arvan kalau dalam mode ngambek-ngambek gemesin ini memang selalu berhasil mengundang tawaku. Astaga!

"Gemes, Mas!" Lagi aku terkekeh. Aku sebenarnya ingin sekali memangsa bibir kemerah-merahan milik Mas Arvan, tapi ... nanti sajalah. Biar aku kerjain dulu suami nyebelin bin ngambekan ini.

Entahlah, aku merasa setelah identitas asli Mas Arvan terbongkar, pria itu jadi sering merajuk dan minta dibujuk dengan ciuman. Ada-ada saja.

Lagi-lagi Mas Arvan mencebik kesal. Astaga, aku jadi bertanya-tanya, apa Mas Arvan tidak lelah berekspresi macam moncong bebek seperti itu? Aku yang melihat saja capek, capek menahan hasrat agar tidak kelepasan main sosor.

"Kalau gemas itu dicium, Ra! Bukan dicubit." Mas Arvan menatapku sebal. "Lagian, kapan, sih, kamu bersihnya? Itu tamu bulanan emangnya nggak mau pulang ke habitatnya? Lama banget."

Nada bicara Mas Arvan yang diimut-imutkan itu sangat tidak cocok disandingkan dengan pria berbadan kekar yang saat ini duduk bersila di hadapanku. Dan jangan lupakan wajah ditekuk serta bibir monyong lima senti yang membuatku gemas bukan main.

Hais! Rasanya aku tidak tahan untuk tidak menerjang Mas Arvan!

"Mas, aku kalau datang bulan emang lama. Paling cepat delapan hari, itu pun kadang bisa balik lagi." Aku nggak bohong, siklus menstruasiku memang begitu. Masa haid yang paling cepat delapan hari, kebiasaan sepuluh sampai sebelas hari, dan kalau lagi kelebihan hormon kadang sampai lima belas hari. Tapi di umurku yang sudah menginjak dua puluh lima tahun ini sudah jarang haid lama. Paling mentok di hari ke delapan.

Hanya karena ingin menjahili Mas Arvan, aku berbohong kalau masih datang bulan. Padahal nyatanya aku sudah bebas di hari ke delapan. Salat? Tentu saja aku diam-diam melakukannya agar Mas Arvan tidak curiga. Seniat itu. Tapi kalau tidak seperti itu, dia pasti bakal melanggar janjinya agar tidak mengumpuliku setelah pesta pernikahan kami. Huh!

Bahu Mas Arvan terkulai lemas. Pria yang baru menginjak kepala tiga itu mendadak menjatuhkan kepalanya di atas bahuku. Kedua tangan Mas Arvan ia lingkarkan di pinggangku.

"Terus besok setelah pesta pernikahan kita selesai ... kita nggak bisa ngadon dong?"

Sumpah demi apa pun aku pengen ngakak! Mas Arvan dan pertanyaan absurdnya sungguh menggelitik perutku. Namun, segera saja kutahan dengan membalas pelukannya.

Hangat, nyaman, dan damai. Itulah yang kerap kurasakan ketika berada dalam dekapan Mas Arvan. Ah, mungkin ini juga yang dirasakan Elena ketika bersama Abigail. Uh, Elena. Aku jadi kangen. Entah kapan aku bertemu lagi dengan tokoh fiksi itu atau mungkin kami nggak akan pernah bertemu meskipun hanya dalam mimpi.

"Ya, kamu berdoa aja semoga tamu bulananya besok balik ke habitat." Astaga! Sekarang aku merasa durhaka pada suami karena telah membohonginya, tapi mau gimana lagi? Wajah Mas Arvan mode gemesin seperti ini bagai candu untukku.

"Clara ... aku nggak mau tau, ya, pokoknya besok kamu harus bersih. Titik!" Mas Arvan semakin mengeratkan pelukannya, bahkan pria itu menelusupkan kepala ke ceruk leherku hingga memberikan sensasi geli, tapi juga nyaman.

Aku terkekeh, mengusap puncak kepalanya lembut sembari menghujani dengan kecupan ringan. "Liat besok, ya, Sayang."

***

Pernikahan adalah hal sakral bagi semua orang. Termasuk aku. Maka dari itu, aku ingin kami, aku dan Mas Arvan melangsungkan pesta pernikahan lagi agar semua orang, termasuk teman-temanku tahu bahwa penulis cantik yang kerap dikata jones alias jomlo ngenes ini telah memiliki pasangan yang amat sangat sempurna.

Mas Arvan, sosok lelaki sempurna yang dipilihkan ibu untukku. Sosok yang sempat kutolak kehadirannya karena sikap ibu yang egois, menikahkan anaknya tanpa persetujuan dan tanpa kehadiran sang anak.

Namun, tidak apa. Keputusan sepihak ibu itu nyatanya membawa kebahagian yang teramat dalam untukku. Kebahagian yang dulu selalu aku impikan; bersanding dengan orang yang sangat-sangat kucintai.

"Wah, Clara. Selamat, ya. Akhirnya merid juga lo!" David, dia adalah editor novel Belamour milikku yang baru saja diterbitkan beberapa minggu lalu.

Aku terkekeh menanggapi. "Thanks, Bang."

"Oh, iya, Ra. Gue baru inget.  Tim redaksi gue puas banget sama karya lo. Jadi mereka mau kerja sama lagi sama lo. Lo mau, 'kan?"

Mendengar tawaran dari David membuat aku tanpa sadar menoleh pada Mas Arvan yang sejak tadi tidak memberikan ekspresi apa pun selain memeluk pinggangku posesif, seolah minta persetujuan padanya. Namun, ditatap malah asyik memberi pelototan tajam pada David. Astaga!

Berdehem pelan, aku menggangguk. "Boleh, sih, Bang. Lagian gue udah punya ide mau dibawa ke mana nanti ceritanya. By the way, gue boleh, 'kan, ngajuin sekuel dari cerita Belamour?"

"Boleh banget, Ra. Justru karena antusias pembaca sama cerita Belamour lo, kita minta lo buat sekuel atau semacamnya."

Aku mengangguk semangat. Kesempatan kali ini akan kugunakan untuk menebus kesalahanku dengan Elena yang seenak jidat membuatnya sengsara di novel Belamour. Dan aku akan membuat akhir bahagia untuk Elena dan Abigail.

"Thanks banget, Bang. Nanti kalau sinopsis udah jadi, gue kirim, deh, ke email lo."

"Sip. Gue pamit dulu, ya. Sekali lagi selamat." David memajukan wajahnya lalu berbisik, "Suami lo serem. Lama-lama tuh mata copot juga." Lantas saja David pergi usai mengucapkan kalimat menggelikan itu tanpa repot-repot menunggu tanggapan dariku. Sementara Mas Arvan, pria yang berstatus sebagai suamiku hanya bisa menggeram tertahan karena tidak bisa mengejar untuk memberi pelajaran pada mulut David.

"Udah, Mas. Dia udah punya istri, kok. Nggak usah marah-marah." Aku mencoba menenangkan Mas Arvan sembari mengusap lembut lengannya. Namun, tidak ada perubahan dari raut wajah Mas Arvan membuat helaan napas berat berhasil lolos.

"Mas, udah, ah. Jangan ngambek gitu, dong." Tanganku terangkat menyentuh rangannya yang tegas, mengusap pelan lalu mengecupnya. "Dia cuma nawarin kerja sama."

"Tapi aku nggak suka cara dia natap kamu. Somplak banget mukanya. Bikin aku nafsu pengen hajar." Kentara sekali kalau suamiku ini sedang dilanda kecemburuan tingkat akut.

"Iya, Mas. Dia cuma bercanda. Biasanya nggak gitu, kok." Aku terkekeh. "Udah, Mas. Nanti dikira pengantinnya berantem."

"Iya, bentar lagi aku mau banting kamu di ranjang." Datar, lempeng, tanpa ekspresi. Namun, berhasil membuat jantungku berdisko di dalam sana. Ah, sial!

"Selamat, ya, Clara." Suara familier itu berhasil mengalihkan atensiku dari wajah Mas Arvan.

Senyuman hangat menyambut ketika aku dan dia bersitatap. Seketika, aku merasa waktu seolah berhenti berputar. Tubuhku seolah beku dibuatnya ketika melihat seseorang yang kupikir sangat mustahil berada di sini, kini berdiri di hadapanku sembari tersenyum manis.

"Elena?"

●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●

Tbc ...

Minta dipanjangin, jadi kugantung lagi, deh🤣🤣🤣🤣

Btw, kira-kira itu beneran Elena atau cuma halusinasi Clara, ya?

See u aja deh.

Luv, Zea♡

Jika Bulan Tak Menemukan Sinarnya (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang