Es-ese-be-ebe-el-ala-es Sebelas

4.5K 452 10
                                    

Elena sialan. Terpaksa aku membuat jiwa wanita itu pingsan agar aku bisa menggunakan raganya. Nyaris saja rencanaku gagal dan usaha nyosor macam bebek waktu itu sia-sia karena tindakan bodoh Elena.

Sekarang yang kulakukan hanya perlu bangun dan membuka mata, membuat semua kembali berjalan sesuai rencana. Namun, saat aku membuka mata, yang kudapati wajah cengo Alan.

Haish! Kenapa yang menolong Elena harus Alan, sih? Seharusnya Alan biarkan saja Elena tergeletak di lantai dan memanggil Abigail untuk mengangkat tubuh istrinya.

Tapi tunggu ... kenapa aku merasa kasurnya keras sekali? Dan lampu-lampu yang menghiasi balkon masih berada di atas kepalaku. Apa itu artinya ...

"Ngapain kamu tiduran di lantai, Elena?" Alan bertanya dengan kening yang berkerut. Astaga, pertanyaan bodoh macam apa itu?

Segera saja aku bangkit dari posisi rebahan santuy di lantai dan langsung berdiri, menatap Alan garang sembari berkacak pinggang. "Cewek pingsan bukannya di tolongin malah didiemin." Aku benar, 'kan? Sebelum mengambil alih raga Elena, wanita menyebalkan dan keras kepala itu pingsan. Atau hanya perasaanku saja? Dan yang sebenarnya, hanya jiwa Elena yang kehilangan kesadaran, tidak dengan raganya.

Ah, sudahlah. Perpindahan jiwa ini membuatku pusing. Lebih baik aku pergi dari hadapan Alan dan segera mencari Mas Abi. Tapi sepertinya sebelum pergi aku harus menegaskan pemutusan hubungan ini.

"Nggak. Oh, iya, Mas. Sebenarnya tadi aku mabuk, jadi ngelantur ngomongnya. Dan sekarang, dalam keadaan sadar aku mau bilang ke kamu kalau hubungan kita berakhir sampai di sini. Benar-benar berakhir. Aku mau tobat sebelum aku mati."

Beres. Selanjutnya aku harus pergi dari hadapan Alan sebelum terjadi fitnah dajjal. Namun, baru saja aku berbalik badan, suara si Alan menghentikan langkahku.

"Dan aku nggak akan biarin hubungan kita berakhir gitu aja, Elena." Terserahlah, masa bodoh dengan ucapan si Alan. Mau dia salto di atas kue ulang tahun Tante Maya pun aku tidak peduli.

Setelah meninggalkan balkon, mataku menjelajah mencari Abigail. Sekarang, aku tahu apa yang dirasakan Elena. Alasan mengapa dia selingkuh, dan terobsesi untuk memiliki Alan.

"Itu dia. Masalah utama Elena ada di Abigail."

Dengan wajah dibuat semanis mungkin, aku mendekati Abigail lalu--maafkan aku Elena--mengecup pipi Abigail dan berkata, "Maaf nunggu lama. Tadi ada yang harus aku selesaikan." Duh, bibirku terasa cenat-cenut. Bukan karena suka sama Abigail, tapi karena menahan tawa ketika melihat wajah pria itu yang bingung setelah mendapatkan ciuman di pipi.

Namun, sekejap saja wajah bingungnya itu berubah menjadi seringaian. Aish! Abigail memang susah ditebak. Entah apa yang pria itu pikirkan, aku tidak peduli. Yang kutahu, aku harus membuat Abigail mencintai--ah, tidak-tidak. Mencintai sepertinya terlalu berat, baiklah, sepertinya aku harus membuat sikap Abigail melembut pada Elena dan berhenti berpikiran negatif pada istrinya.

"Sama Alan?" tanya Abigail yang membuatku mengangguk. "Apa yang diselesaikan? Hubungan kalian, atau kesalahpahaman antara kalian?"

Ini laki satu ngomong apa, sih? Apa mungkin Abigail sempat mendengar percakapan antara Elena dan Alan. Ya, soalnya sebelum aku mengambil alih raga Elena, wanita keras kepala itu sudah membahas soal salah paham.

Dasar, Elena! Kerjaannya menyusahkanku saja. Sudah bagus dia mendengarkanku, menjalankan apa yang kuminta. Eh, setelah bertemu kembali dengan Alan, dia malah nyungsep lagi ke jalan syaithon.

Dengan senyum merekah, aku memeluk manja lengan Abigail--sekarang aku merasa seperti wanita penggoda--lantas berbisik, "Tentu untuk mengakhiri hubungan yang seharusnya nggak ada di antara kita."

Entah hanya perasaanku atau memamg begitu adanya, Abigail tersenyum tipis. Tipisss, sangat-sangat tipis. Aku tidak tau apa arti senyuman pria itu, tapi yang pasti aku harus membuat Abigail berhenti nyinyir dan menyakiti hati Elena.

***

Bosan! Satu kata itu yang menggambarkan suasana saat ini.

Setelah acara inti selesai, dan semua tamu undangan pulang, seluruh keluarga besar berkumpul, berbincang hangat, memamerkan pencapaian mereka, dan satu lagi, menanyai hal yang tidak penting--menurutku--pada pasangan yang baru saja menikah.

Seperti saat ini, Tante Maya menanyai kami.

"Kapan kalian ngasih kami cucu? Suaminya ganteng, istrinya cantik. Pasti anak kalian bakal cantik dan ganteng nantinya. Duh, tante jadi nggak sabar." Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Ya, gimana mau mewujudkan keinginan keluarga kalau hubungan pasutri ini tidak bisa dibilang baik?

"Secepatnya, Tante. Doakan saja. Saya dan Elena akan berusaha. Iya, 'kan, Sayang?" Abigail melirikku, membuat aku tersenyum kikuk seraya mengangguk membenarkan.

"Iya, Tan. Secepatnya."

Dan aku juga harus secepatnya memikirkan cara untuk menyatukan mereka.

"Oh, iya, Elena. Bagaimana kemampuan memasak kamu? Sudah berkembang? Tante dengar, dulu kamu nggak jago masak, tapi kata Abi, kamu mau belajar demi dia."

Bagaimana aku menjawabnya? Jujur aku tidak tahu bagian ini, karena jelas, ini tidak ada di dalam novel. Elena tidak bisa memasak, ya, itu memang benar adanya. Tapi kenapa Abigail mengatakan kalau Elena mau belajar memasak? Padahal selama ini Elena tidak pernah mau melakukan apa pun untuk Abigail.

"Itu karena Mas Abi yang memulainya." Nyaris saja aku mengumpat ketika aku mendengar Elena berucap.

"Lumayan, Tante." Abigail tersenyum seraya melirikku. Dan aku merasa tatapan Abigail membuat alarm bahaya di otakku berbunyi. "Dia pernah memasakkan saya soto betawi, dan rasanya itu benar-benar enak. Bikin ketagihan."

Ah, rupanya ini. Abigail sialan!

"Wah, hebat sekali, istri kamu, Abi. Kalau gitu, buatin soto betawi dan makanan lain yang kamu bisa saat acara keluarga nanti. Bagaimana?"

"Bisa diatur."

Argh! Abigail sialan. Soto betawi, heh?! Itu memang makanan kesukaanku, aku, ya, Clara, bukan Elena, tapi tetap saja aku tidak bisa membuatnya. Dan Elena? Entahlah. Aku bahkan tidak tahu bagaimana kemampuan masak dia.

"Nggak bisa, Clara. Kamu pikir aku mau belajar demi Mas Abi? Jelas enggak!"

Mengembuskan napas, aku melirik Abigail. Memberi peringatan lewat tatapan mata. Seolah berkata, 'Awas kamu, Mas!'. Namun, yang ditatap hanya menampilkan senyum menyebalkan yang membuatku semakin kesal.

"Sepertinya saya harus undur diri. Pa, Ma, Kek, Tante, semuanya. Saya dan istri saya izin pulang." Abigail berkata, lalu pria itu beranjak dari duduk, mengulurkan tangan ke hadapanku. "Ayo, Sayang, kita pulang."

Aku yang memahami situasi langsung saja menyambut uluran tangan Abigail. Lantas kami berdua meninggalkan ballroom, bersamaan dengan itu, aku mengembuskan napas lega.

Akhirnya, sandiwara berakhir.

"Mas, seharusnya kamu jangan iya, iyain aja permintaan Tante Maya! Kamu tau, 'kan, aku nggak bisa masak?" Aku mengeluarkan protes atas tindakan Abigail. Namun, di luar dugaan, pria itu menunduk menatap mataku dalam.

Alarm bahaya kembali berbunyi! Lebih baik, Elena saja yang menggunakan tubuhnya. Jadi aku tidak perlu melakukan hal yang seharusnya tidak aku lakukan.

●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●

Tbc ...

Uhuy! Duh, aku nggak sabar liat Abigail sama Elena akur. Tapi kapan ya?🤣🤣🤣 capek banget hayati.

Gimana-gimana? Bosenin ga?

Geng, aku sebenarnya takut banget nulis dua pov. Elena dan Clara, takut gaya bicara mereka sama. Tapi gimana menurut kalian? Sama atau ada perbedaannya?

Btw, kalo ga ada judul di atas yang ngasih tau ini pov siapa, berati itu pov Clara ya.

See u geng

Luv, Zea♡

Jika Bulan Tak Menemukan Sinarnya (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang