Elena's PoV
"Nggak mungkin mama, Ra. Dia nggak mungkin ngelakuin hal jahat ke aku, menantu kesayangannya."
Sudah berapa kali aku menegaskan kalau mama mertua tidak terlibat, dan tidak akan pernah terlibat dengan teror yang kualami ini. Namun, tetap saja Clara kekeuh mempertahankan keyakinan tanpa logika. Clara hanya melihat mama memberikan uang pada dua orang entah siapa. Dia bahkan tidak mendengar apa yang mereka bicarakan.
Lagi pula, apa keuntungan mama melakukan? Ingin memutus kerja sama antar dua perusahaankah? Aish, sudahlah. Bagaimanapun juga, mama tidak termasuk dalam katagori orang yang memiliki niat buruk padaku.
Kini--sesuai perintah Clara--aku tengah bersiap-bersiap, mematut diri di depan cermin usai mandi dan berpakaian rapi. Hari ini, aku mengenakan dress putih dengan motif kembang berlengan pendek. Sementara rambut kukepang menyamping mirip Princess Elsa, lalu diberi jepit bunga untuk mempercantik.
Sudah begitu saja, dan aku merasa sepuluh tahun lebih muda.
Pintu kamar mandi terbuka, menampilkan Mas Abi yang hanya keluar mengenakan handuk biru yang melilit pinggangnya. Aku tersenyum menatap Mas Abi lewat pantulan cermin, membuat Mas Abi tergesa berjalan ke arahku sebelum memeluk dari belakang.
"Cantik banget istriku." Mas Abi meninggalkan kecupan singkat di sudut bibir membuatku berdecak kesal. "Kenapa, Sayang? Maunya lama, ya?"
"Ih, Mas! Mana ada!" Kesalku, lantas berbalik menghadap Mas Abi dan menatapnya tajam. "Buruan, Mas! Nanti keburu malam."
Aku nggak mau, ya, pergi ke pondok bambu malam-malam. Ngeri euy! Jalanan sepi yang hanya dikelilingi pohon pinus membuat bulu kudukku berdiri. Maka dari itu aku memaksa Mas Abi berangkat sebelum jam lima sore agar tiba di sana sewaktu senja.
Mas Abi terkekeh, tapi dia segera menuruti perintahku dengan membawa langkah menuju ranjang, tempat di mana pakaiannya kuletakkan.
Hari ini, aku akan kembali ke pondok bambu dengan tujuan berbeda dari yang kuutarakan pada Mas Abi. Dalam hati aku berharap prasangka Clara terhadap mama tidak benar. Dan semoga saja malam ini akan menjadi malam di mana berakhirnya masa teror itu.
"Oh, iya. Tadi pas pulang dari kantor aku beli test pack buat kamu." Celetuk Mas Abi sembari mengenakan kemeja cokelat yang kusiapkan.
Mendengar ucapan Mas Abi membuat keningku berkerut dalam. Test pack? Buat apa? Aku bahkan tidak merasakan tanda-tanda kehamilan--astaga! Ini pasti karena ulah Clara kemarin. Memang benar, ya, setiap kali penulis gila itu memakai tubuhku, dia selalu bertindak semaunya.
"Demi melancarkan rencana, Elena Sayang."
Ah, terserahlah. Apu pun alasannya, tetap saja Clara selalu berbuat semena-mena padahal ini tubuhku, bukan tubuhnya. Ish! Menyebalkan memang. Tapi mau bagaimana lagi? Itu sudah menjadi ciri khas seorang Clara, penulis gila yang nyasar ke tubuh tokohnya.
Tuh, kan aku jadi kesal. Baiklah Elena, mari lupakan sikap menyebalkan Clara dan mari mengenang sikap baiknya saja.
"Siapa tau kamu beneran hamil, 'kan?" Wajah Mas Abi yang berseri ketika mengatakan aku betulan hamil sangat semringah, membuat aku tidak tega mematahkan kebahagiannya begitu saja. Aish! Dasar Clara.
"Iya, Mas. Nanti aku coba, ya." Aku menjawab lembut sembari tersenyum manis. Ah, Mas Abi, semoga harapan kamu membuahkan hasil.
***
Entah apa yang Mas Abi lakukan dengan pondok bambu ini. Tatanannya lebih indah dari sebelumnya. Di sepanjang jalan terbentang kain putih bertabur dengan kelopak mawar. Sementara di sisi jalan terdapat lilin kecil menyala seolah memberi penerangan.
Di dalam pondok bambu pun tidak ada lagi kasur besar yang diletakkan di sana maupun meja persegi yang menemani. Kini hanya ada meja bundar dilengkapi dengan kursi yang terbuat dari jati. Tidak lupa dengan lilin aroma terapi yang menjadi pemanis, ditambah mawar merah yang dimasukkan dalam kaca membuat suasana saat ini terkesan romantis.
Dengan senyum yang mengambang sempurna, Mas Abi mengambil tanganku yang berada di atas meja, menggenggam sembari mengusap lembut sebelum akhirnya menjatuhkan kecupan.
"Sayang, aku mau kamu janji satu hal sama aku." Entah kenapa perasaanku mendadak tidak enak ketika melihat tatapan Mas Abi yang ... khawatir?
"Iya, Mas?" Aku balas menggenggam tangan Mas Abi menggunakan tangan kiri, seolah menyalurkan kekuatan tak kasat mata padanya.
"Elena, kamu tau kan kalau aku mencintai dan menyayangi kamu lebih dari diriku sendiri? Bagiku kamu itu segalanya. Nggak akan ada yang bisa gantiin kamu di hati aku." Aku benci pikiran negatif yang bergentayangan di kepala. Mendengar ucapan serius Mas Abi, rasa-rasanya aku mau ditinggal pergi.
"Iya, Mas. Aku tau."
Tuhan, please, apa pun yang terjadi, jangan biarkan Mas Abi pergi meninggalkanku seorang diri. Sungguh, nggak ada yang lebih menyakitkan daripada kehilangan orang yang paling disayang.
Mas Abi menghela napas panjang, dia memajukan wajahnya lalu mengecup keningku lama. "Elena, janji sama aku kalau apa pun yang terjadi, kamu nggak akan pernah pergi. Kamu akan selalu ada di sisiku, menjadi bagian terpenting dalam hidupku. Bisa?"
Katakan aku cengeng. Entah kenapa aku merasa sesuatu yang buruk akan terjadi. Namun, apa pun itu, aku akan berjanji tidak akan pernah meninggalkan Mas Abi. Aku nggak akan pernah berpaling dan tetap berada di sisinya. Bahkan aku rela mengorbankan nyawa demi melindungi Mas Abi.
"Aku janji, Mas."
Embusan napas lega Mas Abi menyentuh indra pendengaranku. Aku tidak tahu apa yang membuat suamiku gelisah seperti itu. Sejak tiba di tempat ini, Mas Abi sudah memperlihatkan kecemasannya pada sesuatu yang tidak kuketahui.
Perlahan aku bangkit dari kursi, berjalan mendekati Mas Abi hingga tepat berada di hadapannya. Tanpa ragu, kubawa Mas Abi ke dalam dekapanku, memberikan ketenangan, seolah menegaskan kalau apa yang dia takutkan tidak akan terjadi karena aku pun begitu mencintai Mas Abi.
"Nggak usah mikirin hal yang ngebuat kamu ngerasa khawatir, Mas." Kutenggelamkan kepala Mas Abi di dada. Sungguh, aku sangat-sangat mencintai Mas Abi dan tidak ingin siapa pun mengambilnya dariku. "I love you more, Mas."
Mas Abi melepaskan pelukan, lalu mendongak menatap mataku yang entah sejak kapan berair. Perlahan tangannya terangkat, mengusap bulir-bulir bening yang mengalir di pipi.
"Aku lebih mencintai kamu, Elena." Mas Abi beranjak dari duduknya, lantas pria itu menarik tubuhku, mengikis jarak yang tersisa antara aku dan dia.
Aku memilih untuk memejamkan mata, ketika deru napas Mas Abi membelai lembut wajahku hingga hangatnya sentuhan Mas Abi kurasakan di bibir.
Namun, di tengah ciuman kami, tanpa sengaja netraku menangkap seseorang di balik pohon besar. Awalnya kupikir orang itu adalah orangnya Mas Abi. Tapi setelah melihat senjata api yang dia todongkan ke arah kami membuatku sontak terkejut dan melepaskan ciuman sebelum akhirnya membalik posisi untuk melindungi Mas Abi.
DUAR!
"ELENA!" Mas Abi menangkap tubuhku yang limbung. Aku tersenyum sembari mengusap kening Mas Abi sebelum semuanya gelap.
●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●
TBC ...
Bab imi cukup buat aku puyeng🤣🤣🤣 entah gimana dengan susunan katanya. Berbelitkah? Anehkah? Semoga enggak yah.
Yuhuuu, sebentar lagi bakal terungkap siapa pelakunya.
See u aja deh. Aku mau ngebut nulis. Semoga feelnya tersampaikan yaaaa pren.
Luv, Zea♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika Bulan Tak Menemukan Sinarnya (TAMAT)
RomanceDari sekian banyak kesialan di dunia ini, kenapa Clara Abimana harus memasuki dunia novel buatannya sendiri? Bagus jika ia menjadi pemeran utama yang dilimpahi kasih sayang serta keromantisan sang suami, Clara akan sangat bersenang hati menerima tak...