De-udu-we-awa Dua

7.9K 817 79
                                    


"Bisa nggak, sih, kalo jalan pake mata?!" Serius, mood-ku benar-benar berada di level dasar. Gara-gara ibu, aku harus mempercepat pertemuan dengan editorku yang mengakibatkan aku tidak tidur semalaman. Ditambah chat nyasar yang membuat pikiranku semakin kacau. Dan sekarang, dengan tidak tahu dirinya orang-orang di stasiun menabrakku disertai kopi dingin di tangannya.

"Yang bener itu jalan pake kaki, Mbak. Kalo liat, baru pake mata," sahut cowok antah berantah sembari senyum tanpa dosa.

"Bukannya minta maaf malah nyaut. Heran," gumamku seraya membersihkan noda kopi yang terkena lengan kemeja putihku. Sudahlah, daripada waktu terbuang meladeni orang tidak tahu diri macam cowok itu, lebih baik aku pergi saja. Mencari taksi menuju rumah Ibu lebih baik daripada mencari keributan di stasiun kereta saat matahari berada tepat di atas kepala. Namun, baru saja aku berbalik, tiba-tiba pergelanganku dicekal.

"Ck! Apaan, sih?" Aku ini sudah nggak mau marah, eh, si tukang tabrak malah mencekalku.

"Maaf, saya tadi terlalu fokus nyari orang dan nggak merhatiin jalan," ungkapnya membuatku tanpa sengaja berdecak. "Minta maafnya udah telat, Mas." Aku melepaskan tangannya dari lenganku.

"Tuhan Maha Pemaaf, loh, Mbak. Masa Mbaknya nggak mau maafin saya?"

Sumpah, ya, ini orang bener-bener minta ditimpuk pakai kapak. Dia tidak lihat apa kalau mukaku yang glowing abis macam ketumpahan minyak seliter ini udah kayak mau makan orang?

"Ya, karena saya bukan Tuhan, Mas. Udah, deh, saya capek. Mau pulang. Masnya minggir kalo nggak mau saya tabrak." Suaraku udah kencang banget. Peduli setan sama mata-mata orang yang ada di stasiun melihatku aneh. Aku kesal! Rasanya pengen makan orang.

"Mau pulang ke mana, Mbak? Siapa tahu kita searah?" tanyanya sekali lagi. Kali ini aku sudah bersangatan marah, kesabaran pun sudah terkikis habis oleh omong kosong pria tidak tahu malu di depanku ini. Maka, dengan kekuatan seribu bayangan, aku mendorong lalu menendang benda pusakanya sebelum pergi tanpa rasa bersalah.

"Sakit, Mbak!" Teriakannya menyentuh indra pendengaranku. Namun, tentu saja aku tidak peduli. Siapa suruh mengganggu singa betina yang berada dalam mood buruk, sekarang tahu kan apa akibatnya?

Setelah berjalan cukup jauh dari stasiun, akhirnya taksi online yang kupesan tiba juga. Segera saja aku masuk dan menyebutkan tempat tinggalku. Hah, rasanya benar-benar melelahkan pulang ke kampung halaman menggunakan kereta api. Tapi apa daya? Aku terlalu sayang uang dan malas bertemu dengan ibu cepat-cepat. Jadilah kereta api yang menjadi alternatif terbaik yang kupilih.

Hanya sekitar tiga puluh menit aku menaiki taksi online, kendaraan roda empat itu sudah berhenti dan membangunkanku yang sejak bersandar di jok sudah pergi ke alam mimpi. Dengan penglihatan yang masih buram, aku menatap wajah si supir taksol alias taksi onlien. Entah kenapa aku merasa wajah itu mirip sekali dengan wajah pria aneh yang menabrakku di stasiun.

Ah, lupakan saja. Lebih baik aku segera membayar ongkosnya dan masuk ke rumah tingkat dua milik ibu peninggalan almarhum bapak. Baru saja kakiku menapak halaman rumah, ibu sudah membuka pintu dan berlari keluar seraya celingukan ke kanan dan ke kiri. Entah apa yang beliau cari.

"Ibu ngapain?" 

"Mana suami kamu?" Pertanyaan ibu membuat keningku berkerut. Apa tadi katanya? Suami?

"Apa, sih, Bu? Suami apa?" Nikah saja belum, sudah ditanya mana suami. Boro-boro nikah, gebetan saja tidak punya. Bahkan ibu tahu betul dengan status jones alias jomlo ngenesku.

"Tadi ke sini sama siapa?" Bukannya menjawab, Ibu malah kembali bertanya.

"Sama supir taksi, Bu. Emamg sama siapa lagi? Udah, ah, Bu. Aku capek, mau istirahat. Ibu juga masuk. Nggak usah kebanyakan ngayal. Anak Ibu ini belum punya suami kalau Ibu lupa." Tanpa menghiraukan ocehan ibu lagi, aku segera membawa kaki masuk ke rumah, rumah yang sudah sangat lama aku tinggalkan demi mencari uang di kota orang.

Jika Bulan Tak Menemukan Sinarnya (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang