Te-iti-ge-aga Tiga

7.7K 843 67
                                    

Dadaku terasa sesak saat aku kembali mengingat kejadian di duniaku, hal yang kemungkinan besar menjadi penyebab mengapa aku bisa masuk ke dalam tubuh Elena--antagonis yang ada di novelku berjudul Belamour. Dan sekarang, aku tidak tahu bagaimana keadaanku di dunia nyata. Apakah masih hidup atau sudah berpindah ke alam barzah? Entahlah.

Kepalaku masih berkunang, tiba-tiba pintu kamar terbuka menampilkan sosok pria jangkung dengan stelan kantornya yang masih lengkap. Mata elangnya menatap heran ke arahku yang masih setia menenggelamkan tubuh dalam selimut tebal.

"Tumben," ujarnya pelan. Namun, masih bisa tertangkap oleh indra pendengaranku.

"Apanya yang tumben?" Perlahan aku bangkit, sementara Abigail dengan cekatan berjalan ke arahku, lalu meletakkan bantal di belakang tubuh agar aku nyaman bersandar.

"Bukannya kamu nggak pernah mau sekamar sama saya?" Pertanyaan dari Abigail membuatku terbelalak. Astaga! Kenapa aku melupakan hal ini? Selama menikah, Abigail dan Elena memang tidak pernah sekamar. Namun, sekarang? Aku malah tidur di kamarnya.

Berpikir sejenak sebelum aku menjawab disertai senyuman semanis es teh warteg dekat kantorku, "Mulai sekarang, aku mau tidur sama kamu." Ya, aku harus melakukan itu. Karena jika aku benar-benar berada dalam tubuh Elena, maka kemungkinan besar aku bisa mati dua kali karena kecelakaan yang akan terjadi pada Elena di akhir cerita.

"Kenapa?" Rupanya Abigail masih bingung kenapa Elena yang biasanya selalu menolak Abigail, tiba-tiba memutuskan untuk tidur sekamar dengannya.

"Ya ... karena kita suami istri."

Tidak ada sahutan lagi dari pria itu, yang terdengar hanyalah suara tawa sinis menyentuh indra pendengaranku. Entahlah, aku bukan peramal yang bisa mengetahui isi pikiran Abigail. Namun, aku bisa menebak kalau sebentar lagi dia akan mengejekku dengan kalimat sarkastik.

Namun, di luar dugaan, Abigail menutup pintu kamar sebelum akhirnya ia melepaskan pakaiannya yang membuat bola mataku nyaris bergelinding ke lantai macam kelereng.

"Kamu ngapain, heh?!" Lantas saja aku menutup mata. Jantungku sangat tidak aman jika melihat perut kotak-kotak Abigail yang jelas menggoda iman. Sialan.

"Kenapa? Saya mau mandi. Lagian, bukannya kata kamu kita suami istri? Jadi nggak masalah dong kalau saya lepas baju di depan 'istri' saya," ujarnya penuh penekan di kata istri.

ABIGAIL SIALAN! Bisa-bisanya dia membalas ucapanku dengan perbuatannya yang membuat aku menyesal karena telah menyematkan kata suami istri. Astaga, sekarang aku harus bagaimana? Mata polosku tidak pernah melihat secara langsung perut seksi seperti milik Abigail.

"Ya, tapi kan mataku masih perawan, Mas. Kasian dia kalo liat yang begitu!" Peduli setan dengan sikap Elena dulu, sekarang yang memakai tubuh ini Clara Abimana, bukan Elena si pelakor cap kaleng sarden.

"Mata kamu masih perawan?" Abigail tertawa sinis. Pria itu kembali mengenakan kemejanya, lantas berjalan ke arahku yang perlahan membuka mata. "Aku bahkan nggak yakin kalau kamu masih perawan, Elena."

PLAK!

Refleks aku menampar wajah mulus Abigail, menatapnya tajam sebelum berucap, "Heh! Itu mulutnya dijaga, ya, Mas. Kamu pikir aku semurahan itu?!" Astaga, darahku mendadak naik. Gila saja dia mempertanyakan keperawananku. Jelas aku masih ting-ting, dijamin masih ting-ting. Ya, karena mau berhubungan sama siapa? Pacar saja tidak punya. Sekate-kate memang suaminya Elena ini.

"Loh, kamu nggak tau seberapa murahannya kamu? Sering jalan sama suami orang, sementara kamu masih berstatus istri orang. Apa itu namanya kalau bukan murahan? Mengobral diri?" Kata-kata Abigail semakin menusuk. Sial, aku yang bukan Elena saja marah karena mulut cabe level mampus pria ini. Apalagi Elena? Itulah yang menyebabkan Elena selingkuh, selain itu pernikahan mereka hanya sebatas formalitas. Tidak lebih.

Baiklah, Clara. Kamu tidak perlu marah karena ucapan Abigail, karena itu bukan aku, bukan Clara melainkan Elena. Jadi yang perlu aku lakukan hanya menganggap perkataan Abigail sebagai kicauan burung beo yang berisik.

Karena kepalaku masih sakit, aku memilih untuk kembali merebahkan tubuh dan mengabaikan Abigail. Anggap saja dia benda mati yang tidak berguna. Namun, baru saja aku memejamkan mata, tiba-tiba Abigail berbisik tepat di depan telingaku, "Hati-hati. Saya tidak bisa menjamin keselamatan kamu jika berada di kandang singa yang lapar."

ABIGAIL SETAN!

***

Gara-gara ucapan terakhir Abigail, aku jadi tidak bisa tenang. Sialan, memang. Meskipun pria sinting itu tidak berada di kamar, melainkan di ruang kerja, tetap saja aku merasa takut setengah mampus kalau-kalau perkataannya terealisasikan.

"Mending aku mikirin cara biar nggak mati konyol di novel sendiri." Iya, daripada aku rebahan, terus merasa was-was, lebih baik aku pergi ke kamar Elena agar bisa berpikir jernih untuk menyusun rencana.

Namun, baru saja aku membuka pintu kamar, Abigail muncul dengan wajah lelahnya. Kami bersitatap beberapa saat sebelum akhirnya dia bertanya, "Mau ke mana?" Keningnya berkerut seraya menatapku bingung.

Aku heran, kenapa, sih, laki-laki ini selalu muncul di saat yang tidak tepat? Mengembuskan napas lelah, aku menatapnya malas. "Mau ke kamar. Minggir, Mas. Kamu ngalangin jalanku."

Bukan Abigail namanya kalau langsung menuruti ucapanku. Kini pria itu justru mendorong tubuhku kembali masuk ke kamar, lalu menutup pintu dan tidak lupa menguncinya. "Takut, hm? Bukannya kamu mau tidur sama suami kamu? Kenapa sekarang malah mau pergi ke kamar kamu?"

Sumpah, ya, Abigail ini manusia paling pendek akal yang pernah aku temui. Memangnya kalau mau keluar dari kamar suami harus ketakutan dulu, ya?

"Aku ke kamarku bukan karena aku takut, tapi karena mau ngambil barang-barangku buat di pindahin ke kamar kamu. Puas?" Please beri aku jalan. Emosiku sudah di ubun-ubun. Kalau Abigail tidak memberiku jalan dan kembali nyinyir, bisa-bisa bibir seksinya kujepit pakai tang.

"Yakin cuma ngambil barang? Kamu nggak akan kabur dari saya karena takut ketahuan sudah jebol, 'kan?"

PLAK!

Dua kali, dua kali sudah aku menampar wajah Abigail hari ini. Ya, siapa suruh mulutnya tidak bisa berhenti nyinyir. Tanganku kan jadi gatal untuk menampar wajahnya.

"Itu mulut tolong dikondisikan, ya, Mas, kalau nggak mau kujepit pake tang." Usai mengeluarkan kekesalan, aku segera berlalu menubruk bahu Abigail. Persetan dengan umpatan yang dia lontarkan. Aku harus segera pergi ke kamar Elena untuk menyusun rencana agar nyawaku terselamatkan di dunia novel ini.

Bagaimanapun juga, aku harus bisa keluar dari sini dengan selamat. Meskipun aku tidak tahu, apakah di dunia nyata masih hidup atau tidak.

□□□□□□□□□□□□□□□□□■■■□□□□□□□□□□□□□□□□

Tbc...

Capek banget sama mulut Abigail. Lelah kata Clara. Bikin tensi naik mulu, heran deh.

Menurutku baca bab ini kudu banyak stok kesabaran.

Gimana sama bab ini? Masih kevo nggak sama kelanjutannya? See u, ya!

Salam, Zea.♡

Jika Bulan Tak Menemukan Sinarnya (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang