Tiga Satu

3.9K 296 22
                                    

Hal yang menyakitkan bagi sebagian, atau mungkin nyaris seluruh makhluk bernama manusia adalah kenyataan yang tidak sesuai dengan ekspetasi. Ketika angan diajak berharap telalu tinggi, tapi pada akhirnya harus diterdampar di dasar bumi karena ditarik paksa oleh kenyataan.

Pun dengan aku.

Ketika jemari lembut yang menggenggam tangan serta suara halus yang meminta pertolongan itu menyentuh indra pendengaran, saat itulah aku merasa yakin kalau kehadiran Elena bukan khayalan.

Namun, keyakinan yang kumiliki justru dipatahkan oleh ucapan Mas Arvan barusan. Dia bahkan sempat mengguncang pelan tubuhku yang katanya tidak bergerak barang sedikit pun. Seperti mayat hidup, aku hanya menatap hampa entah ke arah mana.

"Sayang, kayaknya kamu kecapekan, deh. Daritadi ngelamun terus." Kali ini Mas Arvan menuntunku untuk duduk. Nada khawatir yang tertangkap indra pendengaran, membuat aku menoleh pelan.

"Mas, kamu beneran nggak lihat dia?" Entah kali berapa mulutku melontarkan pertanyaan yang sama untuk Mas Arvan, dan dibalas dengan jawaban yang sama pula.

"Nggak ada, Clara. Daritadi aku cuma liat kamu yang lagi diam, ngelamun, dan terakhir kayak orang linglung. Aku nggak liat siapa pun bahkan aku nggak tau tatapan mata kamu ke arah siapa."

Mendengar sahutan yang keluar dari mulut Mas Arvan sontak membuat kepalaku berdenyut nyeri. Jadi apa tadi hanya halusiansi? Atau apa Elena hanya terlihat oleh mataku saja? Hais! Kepalaku benar-benar ingin pecah saat memikirkannya.

Tatapan memohon Elena itu benar-benar nyata. Bahkan ucapannya yang membuatku bingung setengah mampus pun masih belum bisa kucerna hingga detik ini. Elena dan dunianya benar-benar membingungkan.

Kupikir, setelah Elena mendapatkan akhir bahagia, dia akan tenang di sana. Bahagia bersama dengan keluarga kecilnya. Namun, mengapa hari ini dia datang dengan kecemasan yang membuat aku ikut khawatir melihatnya?

Elena, setelah mengucapkan selamat atas pernikahanku dengan Mas Arvan, dia tiba-tiba memelukku. Wanita yang kulihat mengenakan dress hitam selutut itu menangis dalam pelukan sembari meminta pertolongan.

"Aku butuh bantuan kamu, Clara. Hidupku nggak sepenuhnya bahagia. Anakku ... dia ... mendapatkan ending yang buruk. Tolong bantu aku. Selamatkan dia. Jangan buat dia mengambil langkah yang salah." Suara lirih Elena semakin membuatku merasa khawatir.

Tapi tunggu dulu. Aku melepaskan pelukan, menatap mata Elena yang memerah dan berair. Astaga, andai saja ini bukan momen menyedihkan, aku pasti akan menertawakan wajah jeleknya itu. Namun, tindakan itu tentu tidak akan kuakukan jika aku masih memiliki hati nurani.

"Kamu udah punya anak?"

Elena menggeleng. "Masih benih."

Mendengar jawabannya membuatku mendengkus kesal. Masih benih katanya? Lalu apa yang harus dikhawatirkan padahal kecebong mereka belum keluar dan menghirup udara segar di dunia?

"Tapi Clara, aku mendapatkan novel. Dan sialnya di dalam novel itu adalah cerita anakku. Dia anakku. Orang tuanya adalah aku dan Mas Abi. Dan akhir dari ceritanya adalah ... anakku mati, Clara." Bahu Elena bergetar, sementara kedua telapak tangannya ia gunakan untuk menutup wajah.

Pernyataan yang terlontar dari mulut Elena sontak membuat mataku berkaca-kaca, menggenang di pelupuk dan siap ditumpahkan kapan saja. "A-apa yang harus aku lakukan, Elena? Aku nggak mungkin balik lagi ke dunia kamu di saat aku punya kehidupan sendiri. Kehidupan nyata yang harus kujalani."

Elena mengangguk, seolah membenarkan apa yang baru saja kuucapkan. "Aku tau, Clara. Sangat tau. Tapi aku nggak tau lagi harus minta tolong sama siapa. Aku bahkan nggak tau harus gimana setelah mengetahui isi novel sialan itu! Dan sekarang aku bertanya-tanya, kenapa harus anakku? Kenapa bukan aku saja?!"

Jika Bulan Tak Menemukan Sinarnya (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang