Dua Delapan

3.4K 345 1
                                    

Aku menghapus air mata usai membaca ending cerita. Astaga, ini sadis. Elena ... maafkan aku. Seharusnya aku tidak boleh terlalu kejam pada tokoh antagonis. Seharusnya dulu aku bisa menempatkan diri bagaimana menjadi Elena agar aku tidak menyiksanya sedemikian rupa.

Di novel Belamour yang baru saja terbit-- setelah pertemuanku dengan editor--tepatnya sebelum aku pulang ke Surabaya, Elena mengalami kecelakaan. Namun, sampai ending, mayat Elena tidak ditemukan, hingga semua orang berspekulasi kalau Elena sudah mati.

"Aku ngerasa berdosa banget sama kamu, El." Baiklah, sebegai wujud permintaan maaf dan penebusan dosa, aku akan membuatkan novel yang tokoh utamanya adalah Elena dan Abi. Aku akan membuat Elena bahagia sama seperti yang terakhir kali kulihat.

Ah, iya! Kenapa aku tidak kepikiran menceritakan pengalamanku? Memasukkannya ke dalam kisah baru Elena. Benar, aku akan membuat novel yang tokoh utamanya adalah aku dan Elena. Sama seperti yang kualami setelah terdampar di dunia novel. Aku yakin, dengan ini, pembaca akan simpati kepada Elena.

Pintu ruang rawat yang terbuka mengalihkan pandanganku dari novel yang kupegang. Tanpa sadar, aku mengembuskan napas berat ketika netraku hanya menangkap sosok wanita paruh baya yang biasa kupanggil ibu dengan kantong kresek di tangannya. Bukan Mas Arvan yang sejak tadi kuharapkan kehadirannya.

Sumpah demi apa pun, setelah Mas Arvan memutuskan untuk meninggalkan kami berdua dalam satu ruangan membuatku merasa canggung. Meskipun aku merindukan ibu, tapi rasa sakit karena sikap ibu waktu itu masih membekas di hati. Alhasil, sejak setengah jam berlalu, tidak ada yang membuka pembicaraan. Bahkan saat ibu datang ke sini pun beliau tidak menanyakan kabarku. Hanya diam, lalu keluar dan kembali lagi setelah dua puluh lima menit lamanya menghabiskan waktu di luar.

"Maaf ibu lama. Tadi lupa beliin jajan kesukaan kamu." Ibu tersenyum canggung, wanita paruh baya yang mengenakan gamis cokelat tua itu berjalan mendekat ke arahku. "Masih suka sama kentang spiral, 'kan?" Tatapan lembut ibu berhasil membuat mataku berkaca. Astaga, lemah sekali!

"Ibu ... maafin Clara ...," cicitku membuat Ibu menitikkan air mata. Wanita paruh baya itu lantas memelukku sembari mengusap pelan punggungku. Jujur, aku menyesal karena pernah membentak ibu, bersikap kurang ajar lantaran merasa kecewa dan sakit hati.

"Ibu yang minta maaf. Maaf karena sudah nggak melibatkan kamu dalam rencana ibu. Ibu cuma takut kalau kamu menolak, Clara. Dan kalau itu terjadi, ibu nggak bisa bayangin liat Arvan kecewa."

Aku berdecak seraya berniat melepaskan dekapan ibu. Namun, wanita berhijab itu menahannya, membuat aku mendengkus kesal.

Bagaimana tidak? Ibu yang notabane adalah ibu kandungku lebih memikirkan perasaan Mas Arvan ketimbang anaknya sendiri! Ibu tidak memikirkan bagaimana perasaanku ketika dinikahkan tanpa sepengetahuanku. Dan ketika aku marah, ibu malah meneriakiku.

"Ibu belum selesai, Clara. Dengarkan dulu."

Aku menghela napas panjang, bersiap mendengarkan alasan yang diberikan ibu. Alasan yang membuat dia lebih memikirkan perasaan Mas Arvan daripada anaknya sendiri.

"Arvan sudah tidak punya siapa-siapa lagi, Clara. Orang tuanya meninggal karena kecelakaan sejak dia berumur lima belas tahun. Dia di rawat oleh neneknya, yang baru saja meninggal sekitar satu tahun yang lalu. Bertepatan dengan meninggalnya nenek Arvan, ibu bertemu dengan dia di pemakaman ayah kamu." Perlahan ibu melepaskan pelukannya, beliau menatapku dengan senyuman hangat.

"Dan setelah itu, dia memutuskan untuk selalu membantu ibu. Dia membantu keluarga kita, Nak. Arvan selalu ada buat ibu dan adik-adik kamu. Di saat ibu butuh uang, butuh membeli beras karena uang bulanan yang kamu kirim cuma cukup buat bayar uang sekolah adik-adik kamu, Arvan ada untuk membantu."

Aku mengernyit tidak suka. Kenapa ibu tidak memberitahu kalau uang bulanan kurang? Astaga, aku sekarang merasa berdosa karena tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga.

"Terus, karena Mas Arvan membantu keluarga kita, Ibu mau balas budi dengan menikahkan aku?"

"Bukan. Tapi karena Arvan mencintai kamu. Selain itu, Arvan adalah Dipta, sahabat kecil yang selalu kamu tunggu kedatangannya. Sahabat yang paling kamu sayangi dan yang paling kamu segani."

Aku tergugu. Antara percaya dengan tidak apa yang dilontarkan ibu barusan. Mas Arvan adalah Mas Dipta? Demi apa? Plot twist macam apa ini? Membagongkan sekali!

"Mas Dipta yang dulu sering beliin aku es krim, Bu?"

Ibu tersenyum, beliau mengusap pipiku sembari mengangguk. "Karena ibu tau, kamu sangat menyayangi Dipta, pun sebaliknya, Ibu jadi nggak ragu mengambil keputusan untuk menikahkan kalian."

Aku mendengkus. "Kenapa ibu nggak bilang kalau Mas Arvan itu adalah Mas Adipta? Tau gitu kan aku nggak bakal marah, Bu. Lagian, Mas Arvan itu ganteng. Kalau pun Ibu ngasih tau aku soal pernikahan ini, aku nggak bakal nolak, Bu!"

"Clara ... pelankan suara kamu." Suara berat Mas Arvan membuatku tersentak. Alamak! Apa tadi dia mendengar ucapanku barusan? Aish! Malunya aku kalau sampai Mas Arvan mendengar.

"Nye, nye, nye." Aku sengaja mengejek Mas Arvan, mencoba memancing emosinya. Tidak, aku tidak ingin dia marah padaku. Hanya saja, aku ingin melihat bagaimana kalau emosi Mas Arvan terpancing? Apakah masih seperti dulu? Menyumpal mulutku dengan makanan.

Mas Arvan mendengkus. Ia lantas berjalan ke arahku sebelum akhirnya memasukkan roti rasa keju ke dalam mulutku. Aku terbelalak bahkan mataku berkaca-kaca. Aku tidak menyangka kebiasan Mas Arvan belum berubah.

"Sayang? Kamu kenapa? Sakit?" Mas Arvan bertanya dengan raut khawatir yang tidak ia sembunyikan. Pria itu lantas mengambil gelas yang ada di nakas, lalu meminumkannya padaku.

"Duh, rasa keju! Aku nggak suka rasa keju, Mas." Ayo, Clara, kamu harus pancing Mas Arvan. Sungguh, aku ingin mendengar pengakuan tentang siapa Mas Arvan dari mulutnya sendiri.

Ibu terkekeh melihat interaksi kami. Entahlah, padahal aku tidak merasa sedang melawak. "Clara, Arvan, ibu pulang dulu, ya. Mau jemput Dimas di sekolah."

"Iya, Bu, hati-hati." Mas Arvan menyahut sebelum mencium punggung tangan ibu yang mulai keriput di makan usia.

"Iya, Nak. Tolong buat Clara jinak, ya."

Aku hanya mendengkus kesal menanggapi guyonan ibu. Dan hal itu membuat Mas Arvan menyentil keningku usai kepergian ibu.

"Yang sopan, Clara."

"Berisik, ah! Tanya sana sama Pak Dokter, kapan aku boleh pulang? Bosen banget di sini!" Perlahan aku merebahkan tubuh, sementara Mas Arvan membantuku berbaring dengan nyaman.

"Kamu mau tetap di Surabaya atau pulang ke Jakarta?" Mas Arvan bertanya usai memastikan aku nyaman dengan posisiku.

"Memangnya aku boleh memilih?" Raut kesal kutampilkan. "Bahkan suami yang akan mendapingiku sampai mati pun aku nggak berhak untuk memilih."

Mas Arvan menatapku dalam diam. Kemudian menyunggingkan senyum secara perlahan, lalu berujar, "Kamu mau kita pisah?"

Pertanyaan yang baru saja terlontar dari mulut Mas Arvan membuatku terbelalak. Apa katanya? Pisah? Tidak akan! Apalagi setelah aku mengetahui faktanya. Aku hanya ingin membuat Mas Arvan mengakui kalau dirinya adalah Mas Dipta. Itu saja. Setelahnya, aku akan belajar mencintai Mas Arvan sepenuh hati, jiwa, dan raga.

●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●

Tbc ...

Dua kali, dua kali aku kepencet publis🤣🤣🤣nah, sekarang aku bakal pencet lagi, tapi kali ini sengaja, kok. Hahaha.

Gimana2? Duh bentar lagi ending🤣🤣 dua bab lagi, dan kita akan bertemu ending. Eh tiga deng sama epilog.

See u yaaa.

Luv, Zea♡

Jika Bulan Tak Menemukan Sinarnya (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang