Epilog

4.9K 345 7
                                    

"Wah, ternyata Elena gini karena Abigail, ya."

"Nggak nyangka Elena ternyata baik."

"Saras lebih keren, sih. Kalau nggak ada dia, mungkin Elena nggak sadar."

"Gila, gila! Ini novel keren banget!"

"Mbak Authorrr! Nggak mau tau pokoknya buat sekuel Elena!"

Aku terkekeh kala membaca komentar-komentar pembaca di lapak aplikasi baca. Semuanya menyukai Elena. Tidak ada lagi yang menghujat apalagi mendoakan keburukam untukknya. Happy ending, inilah yang kuinginkam untuk sahabat fiksiku, Elena.

Setelah satu bulan full, akhirnya aku bisa menamatkan cerita Elena, cerita yang diangkat dari pengalaman pribadiku yang nyasar ke dunia novel. Ya, meskipun namaku di sini diganti, tapi setidaknya aku merasa sangat puas karena berhasil menamatkan lagi satu novel yang, ya ... mungkim cukup berkesan di hati pembaca.

Sekaligus memperbaiki citra Elena di mata mereka.

Adanya novel ini pun kubuat memang untuk Elena sebagai permintaan maaf. Cerita yang akan membawa kedamaian dan kebahagian dalam hidupnya sepanjang masa.

"Aku nggak nyangka kamu bisa buat cerita sekeren ini." Mas Arvan yang entah datang dari mana berbisik di telingaku, lalu mengecup pipiku sekilas sebelum akhirnya berdiri, berjalan ke arah kamar mandi.

"Aku juga nggak nyangka, Mas." Aku pun ikut beranjak dari hadapan laptop usai mematikannya. Dengan senyuman yang terpatri di bibir, aku membawa langkah ke arah Mas Arvan yang berusaha melepaskan dasinya.

Dengan sigap aku mengambil alih kegiatan Mas Arvan, melonggarkan simpul dasi yang tadi pagi kubuat sebelum akhirnya terlepas dari kerah baju Mas Arvan.

"Tapi, Sayang, di mana kamu dapat ide sekeren itu bisa ngubah dunia Elena? Padahal sebelumnya Elena kamu buat mati, 'kan?" tanya Mas Arvan yang membuat aku diam-diam meringis, merasa bersalah atas apa yang kulakukan dulu.

"Iya, dia kubuat kecelakaan, tapi kan mayatnya nggak ditemukan. Jadi, nggak ada salahnya dong aku buat cerita pakai sudut pandang Elena? Ya, tujuannya, sih, biar pandangan orang berubah setelah tau apa yang dirasakan dan alasan Elena." Mas Arvan tersenyum hangat, lantas ia mengusap lembut puncak kepalaku sebelum menjatuhkan kecupan hangat di kening.

"Istrinya Arvan memang yang terbaik. Ngomong-ngomong, aku udah beli test pack. Coba dicek, ya, Sayang. Siapa tau gejala yang aku dan kamu rasain akhir-akhir ini pertanda baik." Mas Arvan berujar sebelum memasuki kamar mandi.

Sudah tiga bulan setelah aku dan Mas Arvan tinggal serumah, tapi baru akhir-akhir ini aku sering merasa cepat lelah, mata mudah mengantuk, padahal aku biasa tidur larut malam karena harus menggarap naskah. Mas Arvan juga, kadang dia bertingkah aneh. Minta ini itu tanpa kenal waktu. Nggak peduli pagi, siang, sore, malam, tengah malam, Mas Arvan tetap memaksa keinginannya harus terkabul.

"Kalau aku beneran hamil ... duh, anakmya bakal secantik dan seganteng apa, ya?" Aku nggak bisa membayangkan secakep apa anakku nanti.

Segera kulangkahkan kaki ke--tunggu dulu, di mana Mas Arvan menyimpan test packnya? Aish!

"Mas! Test packnya kamu taruh di mana?" teriakku setelah berdiri di depan pintu kamar mandi. Namun, tidak ada sahutan dari Mas Arvan, hanya gemericik air yang terdengar. "Mas?"

"Iya, Sayang, kenapa?" Mas Arvan menyahut usai mematikan air. Hingga tak lama kemudian pria yang berstatus sebagai suamiku itu membuka pintu dan berdiri di hadapanku hanya mengenakan handuk putih yang melilit di pinggangnya.

Jujur, meskipun sudah sering melihat ke seksian tubuh Mas Arvan, tetap saja jantungku masih berdisko jika melihat tubuh Mas Arvan dalam keadaan setengah basah seperti ini.

"A-anu, Mas. Kamu nyimpen test pack di mana?" Sial! Kenapa malah gagap, sih? Tuh, kan! Mas Arvan malah ketawa.

"Lucu banget, sih, istri Arvan kalau salting." Lantas tangan Mas Arvan terangkat mengusap puncak kepalaku. "Di jas hitam yang kupake tadi, Sayang."

Aku mencebik seraya menyingkirkan tangan Mas Arvan sebelum berlalu ke arah gantungan baju dan mengambil benda yang kucari. Tes kehamilan. Duh, jujur saja aku gugup melakukannya. Namun, aku juga penasaran dengan hasilnya. Ya, semoga saja tidak mengecewakan.

"Mau kubantu?" Mas Arvan yang masih belum mengenakan pakaiannya berdiri di belakang sembari memeluk pinggangku. Astaga, jarak seintim ini membuatku benar-benar sulit mengendalikan debaran dalam dada yang terus meronta.

"Nggak. Aku bisa sendiri. Mas pakai baju dulu, gih." Sebisa mungkin aku menyembunyikan kegugupan.

"Oke, tapi ada syaratnya."

"Syarat apa, sih, Mas? Tinggal pake baju doang ngapain pakai syarat?" Aku terkekeh seraya melepaskan lilitan tangan Mas Arvan, lalu berbalik menghadap laki-laki itu.

"Harus, dong!"

"Apa coba? Kalau mampu kujalanin, tapi kalau enggak, pasti kubiarin."

"Ish! Mana bisa gitu!" Bibir yang sengaja Mas Arvan monyongkam sontak membuat aku mengigit bibirnya hingga Mas Arvan memgaduh kesakitan.

"Kenapa malah digigit? Padahal aku tadi minta dicium, loh."

"Udah, ah, Mas. Sama aja. Bibir kita sama-sama udah ketemuan." Aku tersenyum manis, lalu dengan cepat mengecup kembali bibir Mas Arvan sebelum akhirnya berlari, masuk ke kamar mandi dan mengunci dengan segera agar Mas Arvan tidak ikut masuk ke dalam.

"Ya Allah, aku ditinggalin. Padahal niatku baik, loh, Yang."

Aku hanya menggeleng menanggapi tingkah Mas Arvan. Lantas segera saja aku melakukan test dan menunggu hasilnya beberapa menit dengan jantung yang berdebar tak karuan. Harap-harap cemas dengan hasil yang akan terlihat nanti hingga--

"Garis dua?" Aku menutup mulutku saat ingin berteriak heboh. Mas Arvan nggak boleh tau! Mau kukerjain sedikit dulu.

Maka dari itu, agar terlihat totalitas, aku berakting menangis seraya membuka pintu kamar mandi. Kulihat Mas Arvan yang tengah mengenakan kolor hitam kebanggaannya. Lantas pria itu mempercepat memakai celana sebelum berlari ke arahku.

"Sayang, kenapa? Kenapa kamu nangis?" Dengan penuh kelembutan Mas Arvan mengusap air mataku, lantas membawaku ke dalam dekapannya. "Udah, nggak apa-apa. Kita bisa ngadon terus sampai jadi, kok. Nggak apa-apa hasil kali ini bantet. Lain kali pasti bakal ngembang."

Astaga! Mas Arvan ini ngomong apa, sih? Bikin aku mau ngakak aja. Heran banget sama bahasanya yang absurd. Ngadon? Bantet, ngembang? Dikira mau produksi kue?

"Ngomong apa, sih, kamu, Mas?" Aku melepas pelukan, menatap Mas Arvan sembari menggigit bibir dalam agar tidak kelepepasan tertawa.

"Hasilnya negatif, 'kan? Ya, udah. Nggak apa-apa. Daripada kamu nangis, mending kita ngadon sekarang. Yuk!" Mas Arvan menggiringku menuju ranjang, membuat aku segera menghempaskan tangan.

"Ish, Mas! Apaan, sih. Aku nggak mau."

"Loh? Kalo nggak mau gimana nanti aku gendong anak?" Wajah cemberut Mas Arvan berhasil meruntuhkan pertahananku. Sontak aku terbahak sembari menunjukkan test pack di depan wajahnya.

"Selamat, Sayang. Kita sebentar lagi jadi orang tua."

Dengan mata berbinar, Mas Arvan membawa aku ke dalam pelukannya. Menghujaniku dengan kecupan bertubi seraya mengucap kata terima kasih. Namun, tiba-tiba saja Mas Arvan menjauhkan wajahnya, menatapku sembari berkedip lucu sebelum akhirnya berujar, "Sayang ... aku mau makan mangga muda."

Malam-malam begini?

Ada-ada saja!

●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●

Yeayyyy! Ini epilognya geng. Paling nanti aku nambahin ekstra part sama spill sekuel Clara.

Makasih banyak, ya, buat kalian semua. Jangan lupa kasih kesan dan pesan di bab ini❤❤❤

Luv banyak2 buat pembacaku sayang. Semoga ga bosen sama cerita2 yang kusuguhkan. Sekian, terima cinta♡

Jika Bulan Tak Menemukan Sinarnya (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang