Elena's PoV
Senyumku sedaritadi tidak pernah luntur setelah membuka mata. Indah, sangat indah. Itulah hal yang bisa mendeskripsikan apa yang kulihat saat ini. Usai Mas Abi melepaskan pengaman kepalaku, aku langsung berjalan ke arah pondok kecil, tapi terkesan sangat indah karena lampu cantik menghiasinya.
Berjalan di atas dahan kayu yang tersusun rapi, diiringi dengan rumput gajah yang mengelilingi membuat senyumku tak pernah luntur dari bibir sejak tadi.
Di dalam pondok bambu itu terdapat satu kasur ukuran besar dilengkapi dengan bantal, guling, dan selimut di atasnya. Lalu di depan kasur ada meja persegi yang dipenuhi dengan berbagai macam makanan.
"Mas Abi siapin ini semua?" Aku berpaling menatap Mas Abi yang berada tepat di belakangku. Dia tersenyum tipis sebelum akhirnya membawaku masuk ke dalam pondok dan duduk di depan meja persegi itu.
"Bukan saya, tapi orang suruhan saya." Mas Abi menjawab. "Udah lama saya siapin ini. Lahannya, tempatnya, sawahnya. Tapi saya nggak tau kapan bisa datang bersama orang yang berstatus sebagai istri saya."
Entah itu sindiran atau apa, aku tidak tahu. Yang pasti ucapan Mas Abi menampar keras hatiku hingga tepat sasaran. Ada denyutan nyeri tak kasat mata yang membuatku merasa 'sedikit' catat, hanya sedikit merasa bersalah.
Mengembuskan napas berat, aku menatap Mas Abi dengan senyum mengejek. "Bahkan, sejak awal pernikahan kita, aku selalu menunggu sikap manis kamu, Mas. Tapi baru sekarang aku bisa rasainnya."
Sekarang satu sama. Mas Abi menampar dengan kesalahanku, pun sebaliknya. Aku menamparnya dengan kesalahan yang Mas Abi perbuat sejak awal pernikahan.
"Elena, saya mau memperbaiki semuanya."
Kegiatanku yang tengah mengaduk minuman hangat, yang sepertinya terbuat dari rebusan jahe dan serai ditambah gula merah, terhenti ketika indra pendengaranku menangkap nada serius yang diucapkan Mas Abi. Aku mendongkak, menatap wajah tegas Mas Abi, menunggu pria itu melanjutkan kalimat yang ingin dia lontarkan selanjutnya.
"Elena, saya yakin, kamu akan lebih terkejut ketika mendengar ungkapan saya." Mas Abi menarik napas dalam, sebelum mengembuskannya perlahan. Pria itu menatapku lama, seolah meyakinkan dari binar matanya kalau apa yang dia ucapkan tidak ada dusta yang tersimpan.
"Saya mencintai kamu, Elena. Sangat-sangat mencintai kamu lebih dari apa pun."
Hah? Apa? Gimana-gimana?
Mas Abi? Mencintaiku? Ralat, sangat-sangat mencintaiku? Sejak kapan?
"M-Mas ... kamu ... sejak kapan?" Bodoh! Ngapain aku gagap, sih?! Astaga. Tapi serius, deh. Aku betulan kaget. Rasanya Seperti mendapatkan kejutan yang besar dan rasanya sangat ... membahagiakan? Entahlah. Aku tidak bisa menggambarkan perasaanku saat ini.
Aku merasa wajahku memanas. Ah, bagaimana ini? Kenapa aku merasa salah tingkah seperti ini. Aish! Aku malu. Astaga! Kenapa pula Mas Abi terus menatapku?
"Sejak kita pertama kali bertemu. Saya sudah menyukai kamu, Elena," jawab Mas Abi mantap.
"Pertemuan pertama?" Kapan, ya? Aku bahkan tidak mengingat sama sekali pertemuan apa yang Mas Abi maksud. Hais! Apakah sekarang aku terlihat jahat karena ternyata Mas Abilah yang sangat mencintaiku?
Dulu, aku berpikir kalau Mas Abi jahat karena selalu mengabaikanku. Dia bersikap seolah tidak peduli dengan kehadiranku. Bahkan sering kali Mas Abi bertingkah seolah aku adalah beban hidup yang sangat ingin dia musnahkan. Tapi sekarang, setelah mengetahui faktanya bahwa Mas Abi mencintaiku, aku jadi bertanya-tanya, mengapa dia bersikap acuh tak acuh padaku?
"Pertemuan yang nggak pernah diduga. Kamu dulu sering ke taman baca, 'kan? Ingat nggak kamu pernah nabrak seseorang lalu numpahin minuman di bajunya?"
Aku diam, mencoba mengingat momen yang dimaksud oleh Mas Abi. Hingga sebuah insiden terlintas di benak. Kejadian itu tepat delapan tahun lalu saat aku masih kuliah.
Aku ingat, iya ingat betul kejadian itu. Kejadian yang membuatku harus membersihkan kemeja seseorang yang kutabrak menggunakan sapu tangan kesayangan pemberian bunda.
"Itu ... kamu, Mas?" Aku tidak mengingat betul bagaimana rupa laki-laki berkemeja biru itu. Yang kuingat hanya senyum manis dan ucapan lembut yang membuatku semakin merasa bersalah dan berakhir memberikan sapu tangan kesayanganku itu padanya sebagai permintaan maaf.
Sapu tangan itu terbuat dari kain sutra yang disudutnya terdapat sulaman bulan sabit. Bulan yang paling kusukai bentuknya. Ditambah dengan bintang-bintang kecil, hingga membuat sapu tangan itu nampak seperti langit malam yang indah.
"Iya. Itu saya, Elena. Pertemuan pertama kita itu tidak akan pernah saya lupakan. Apalagi wajah tidak rela kamu saat memberikan saya sapu tangan itu." Mas Abi terkekeh. Wajahnya terlihat berseri disinari cahaya lampu kuning yang membuat bibirku berkedut hingga akhirnya ikut tertawa.
"Mas, aku malu!" Astaga, jika mengingat kejadian itu wajahku rasanya seperti ingin terbakar karena malu! Ya, gimana, ya, itu sapu tangan pemberian bunda. Satu-satunya peninggalan terakhir beliau sebelum tidur untuk selama-lamanya. "Tapi, Mas. Kenapa kamu selama ini bersikap seolah kamu nggak peduli sama aku?"
Aku bahkan masih ingat setiap ucapan kasar yang dilontarkan Mas Abi. Astaga, itu menyakitkan. Benar-benar menyakitkan sampai aku merasa dunia ini tidak adil karena aku harus bersedia menerima pernikahan, sementara Mas Abi selalu berlaku kasar.
"Karena saya berpikir, kalau kamu nggak nyaman sama kehadiran saya. Jadi saya memutuskan untuk bersikap seperti itu agar kamu merasa nyaman mungkin?" Jawaban Mas Abi terdengar ragu.
"Emangnya kamu tau isi hati aku gimana? Kamu aja ragu, 'kan?" Aku terkekeh pelan. "Makanya, Mas. Jangan sok tau. Yang tau isi hatiku itu, ya, cuma aku. Nggak usah sok jadi Dilan yang suka ngeramal masa depan."
Cih, Mas Abi ini. Sok tau banget. Dia nggak tau gimana isi hatiku, nggak tau gimana perasaanku, tapi main ambil kesimpulan yang justru membuat hatiku sakit karena sikap kasar dan mulut nyinyirnya.
"Maaf, Elena. Saya memang bodoh. Tapi ... bisa nggak kita memulai semuanya dari awal?"
Aku terdiam beberapa saat, menatap makanan yang semula mengeluarkan banyak asap kini mulai berkurang. Jika pembahasan ini terus dibiarkan mengalir, maka makanan hangat ini akan berubah jadi dingin. Hais!
"Bisa nggak, kita makan dulu? Aku lapar, Mas."
Mendengar sahutan yang terlontar dari mulutku membuat Mas Abi spontan mencubit gemas pipiku. Seraya berkata, "Iya, Sayang."
Dia tertawa ringan, sementara aku mencebik kesal, berusaha menutupi debaran yang mulai menggila. Astaga, jantung! Kenapa akhir-akhir ini kamu ngelunjak? Suka banget main disko di dalam sana.
"Elena, kayaknya kamu harus mengakui kalau kamu jatuh cinta sama Abigail."
Cinta? Apa iya aku jatuh cinta? Kalau dulu, iya, aku memang mencintai Mas Abi. Lebih tepatnya berusaha mencintai. Tapi karena terlalu sering disakiti, hatiku terasa mati. Dan sekarang, apa mungkin perasaan itu tumbuh kembali?
"Elena, kamu harus makan yang banyak." Mas Abi memasukkan nasi ke piring kosong yang ada di hadapanku. Sikap manisnya tak luput dari penglihatanku. Tanpa sadar, aku tersenyum. Perasaanku menghangat karena perlakuan Mas Abi yang tidak biasa.
"Oh, iya. Malam ini kita menginap di sini. Karena menurut saya, ini adalah tempat teraman. Tidak diketahui orang-orang selain orang saya. Jadi, kemungkinan nggak akan ada teror apa pun yang mengganggu kita ...."
Mas Abi tersenyum samar, dia lantas memajukan wajah seraya mengisyaratkan agar aku mendekat. Hingga jarak kami terpaut kurang lebih lima senti meter, Mas Abi berkata pelan, "Menghabiskan malam bergairah."
●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●
Tbc ....
Ayeee up lagi🤣🤣🤣 duhhh akhirnya bab ini ketulis juga. Aw!
Lega banget rasanya pas Abi ngungkapin perasaannya ke Elena. Uhhh, sekarang mari kita lewati malam panas ini🤣🤣🤣🤣
See u aja deh
Luv, Zea♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika Bulan Tak Menemukan Sinarnya (TAMAT)
RomanceDari sekian banyak kesialan di dunia ini, kenapa Clara Abimana harus memasuki dunia novel buatannya sendiri? Bagus jika ia menjadi pemeran utama yang dilimpahi kasih sayang serta keromantisan sang suami, Clara akan sangat bersenang hati menerima tak...