Dua Enam

3.4K 369 13
                                    

Apa aku mati lagi?

Astaga! Aku di mana? Kenapa tempat ini gelap sekali? Apa yang terjadi? Aku bahkan tidak tahu selama apa aku tidak sadarkan diri setelah ditembak. Ah, bicara soal penembakan. Kira-kira siapa yang melakukannya?

Mataku menyipit ketika cahaya yang menyilaukan menusuk retina. Kulihat dari cahaya itu keluar sosok wanita yang sangat kukenali. Perlahan dia berjalan sembari tersenyum ke arahku.

"Elena?"

Elena tersenyum, senyum senang, bahagia, entahlah. Dia menggengam tanganku, sebelum berujar, "Makasih, Clara. Karena kamu aku selamat. Dan karena kamu juga hubunganku dengan Mas Abi membaik. Oh, iya satu lagi. Peneror dan pelaku penembakan juga udah tertangkap."

Elena masih mempertahankan senyumnya. Astaga, apa giginya tidak kering karena terlalu lama senyum pepsodent? Ah, sudahlah. Biarkan saja Elena senyum sampai lelah. Ada hal yang lebih penting yang harus kuketahui.

"Siapa?" Iya, siapa yang tega meneror Elena bahkan menembaknya? Apa ibu mertu--

"Alan."

Hah? Gimana-gimana?

"Kayaknya kupingku sedikit bermasalah, Elena. Tadi kamu bilang siapa?" Aku meminta Elena kembali mengulangi ucapannya. Ya, siapa tahu kan telingaku tersumpal ratusan emas lembek.

Elena mengembuskan napas berat, dia menatapku serius. "Orang yang ada di balik teror dan pelaku penembakan itu adalah orang yang sama, Clara. Orang itu adalah Alan! Dia yang udah tega ngelakuin ini semua sama aku."

"Alan? Mantan selingkuhan kamu itu?!"

Decakan nyaring terdengar, Elena mendengkus kesal. "Nggak usah bawa-bawa masa lalu bisa? Aku risih dengernya."

Ya, memangnya apa yang salah? Lagi pula aku hanya bertanya dan memastikan kebenaran. Kan banyak manusia di muka bumi ini bernama Alan. Jadi, sekadar untuk memperjelas, aku menyebutnya Alan si mantan selingkuhan Elena. Tidak salah, 'kan?

"Tinggal jawab iya atau enggak apa susahnya, sih, El?" Heran, deh, Elena ini suka banget membahas, menyela, membantah, atau apa pun itu yang membuat aku kesal. Padahal kan yang kukatakan tadi memang benar adanya alias kenyataan!

"Iya, Alan suaminya Delima."

Astaga! Kenapa bisa Alan yang jadi pelakunya? Aduh, kepalaku pusing. Kenapa plotnya jadi jungkir balik seperti ini, sih? Dulu, di novel Belamour, si Elena adalah pelakor yang memiliki seribu satu cara untuk menyingkirkan Delima. Dia begitu terobsesi ingin memiliki Alan seutuhnya. Lalu, setelah aku masuk ke dunia mereka, plotnya berhasil kuubah, tapi mengapa Alan yang harus menjadi tokoh antagonis di sini?

"Jadi bukan mama mertua?"

Elena berdecak sebal. Ia menatapku tajam sebelum akhirnya berujar, "Aku kan udah bilang sama kamu, Clara. Mama nggak mungkin jahatin aku. Dan soal mama ngasih uang ke preman, itu emang kebiasaan dia. Dia suka bagi-bagi rezeki sama preman biar kebiasaan buruk mereka yang suka malak orang berhenti. Mama juga yang minta preman-preman itu buat beliin makanan untuk dibagi-bagi. Jadi, dugaan kamu ke mama itu salah besar."

Oh, jadi begitu. Ya, gimana, ya, soalnya kan aku nggak pernah bahas emak, bapak, keluarga Abigail di novel Belamour. Ya, mungkin ada, tapi nggak banyak informasi yang kujejalkan.

"Dan satu lagi, aku mau berterima kasih banyak sama kamu. Karena kamu, aku nggak jadi mati. Dan karena kamu akhirnya aku bisa merasakan cinta tulus Mas Abi. Makasih, Clara. Semoga kamu bahagia."

Belum sempat aku membalas ucapan Elena, cahaya terang yang menyilaukan membuat aku merasakan pening di kepala yang bersangatan. Kepalaku terasa berputar dan tubuhku seolah terguncang, hingga akhirnya gelap.

Apa mungkin aku akan pergi ke surga?

Tapi Elena sudah bahagia kan?

Apa artinya aku kembali ke dunia asalku?

Pertanyaan itu terus berputar hingga aku benar-benar kehilangan kesadaran.

***

Aku meringis saat lagi-lagi cahaya yang menyilaukan menusuk retina. Perlahan aku mengerjapkan mata, guna menyesuaikan gradasi, hingga akhirnya aku bisa melihat ruangan yang bernuansa putih cokelat, serta mencium aroma obat-obatan khas rumah sakit.

Apa aku kembali ke tubuh Elena?

"Clara? Sayang? Kamu sadar!" Seorang laki-laki yang berdiri di samping ranjangku memekik. Astaga, telingaku. Siapa, sih, laki-laki ini? Sok kenal, sok dekat banget. Pakai manggil aku Clara pula. Eh, tunggu--apa tadi katanya? Clara? Sayang?

Apa mungkin dia suamiku? Sepertinya muka itu agak familer. Aku merasa pernah bertemu. Tapi ....

"S-si-siapa?"

Hais! Susah sekali rasanya bicara. Apa ini adalah faktor terlalu lama nyempil dan jadi benalu di tubuh Elena? Mendengkus sebal, lantas aku menarik napas dalam sebelum mengembuskan perlahan.

"Saya, Arvan. Suami kamu, Clara." Pria yang mengenakan kaos oblong berwarna hitam itu tersenyum lembut.

Astaga, suamiku ganteng! Bahkan lebih ganteng daripada Abigail, suami Elena. Uhhh, aku harus pamer kegantengan yang hakiki milik suamiku ini. See u, Elena! Nanti kita ketemu di mimpiku, ya.

Tapi tunggu dulu, sepertinya aku nggak boleh langsung suka sama Mas Arvan, ya meskipun mukanya ganteng pakai banget, aku tetap harus tahu alasan dia kenapa mau menikahiku kan? Padahal dia nggak pernah ketemu sama aku.

Dan menurut pengamatanku, Mas Arvan ini kan handsome, ya, masa sih dia mau nikah sama cewek yang bahkan nggak pernah dilihatnya. Oke, ralat. Mungkin Mas Arvan pernah melihat wajahku melalui foto yang ditunjukkan ibu, tapi masa iya dia mau menikah tanpa didampingi mempelai wanita? Secara, ya, orang kayak Mas Arvan--menurut kacamataku--dia pasti mau dong pamerin istrinya, maksudku, ngasih tau ke orang-orang minimal keluarga kalau dia punya istri secantik Bua Nalinthip.

Oke, aku terlalu percaya diri.

Tapi kan bener! Misal nih, kamu nikah, pasti pengen semua orang tau kan kalau kamu udah ada pawang? Apalagi kalau pasangan kamu ganteng atau cantik. Duh, jangan ditanya! Pastilah mau kasih tau orang-orang kalau dia punya kamu. Begitulah kira-kira pemikiranku.

Lah, si Mas Arvan? Boro-boro! Pedekate alias pendekatan sama aku aja nggak ada. Ngechat juga cuma sekali. Itupun ngasih berita penting kalau dia udah jadi suami sahku.

Siapa yang tidak syok!

Ibu juga, kenapa, sih, nggak ngomong dulu sama anaknya? Kan bisa aja aku ngangguk-ngangguk setuju nikah sama cowok ganteng modelan Mas Arvan. Tapi enggak! Ibu nggak ngasih tau. Beliau cuma maksa nyuruh pulang. Iya pulang! Dan jadwalnya bentrokan pula sama pertemuanku dengan editor. Huh!

"Clara?" Suara Mas Arvan, duh, mager banget sebenarnya manggil Arvan pakai embel-embel 'Mas', tapi mengingat Elena yang selalu sopan memanggil Abigail, jadilah aku ikut memanggil Arvan dengan sebutan Mas. Anggap saja ini bentuk kesopananku pada suamiku.

Aku berdehem pelan, menstabilkam suara agar tidak terdengar aneh di telinga. Namun, Mas Arvan justru dengan sigap memberiku segelas air. Astaga, aku tidak ingin minum, Mas!

"Aku nggak mau minum! Aku maunya minta penjelasan sama kamu!" ujarku dengan nada yang sedikit meninggi. Iya, cuma sedikit. Karena kerongkonganku terasa kering, tapi nggak mau minum sekarang. Nanti Mas Arvan malah GR alias gede rasa.

"Penjelasan apa, Sayang? Kamu mau minta cium di bibir biar semua jelas kalau kita udah suami istri?

MAS ARVAN KENAPA MESUM, SIH?!

●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●

Tbc ...

ADOHHH AKHIRNYAAA CLARA BALIK KE DUNIA ASAL DIA. UHHH. KETEMU MAZ ZUAMI DEH.

Btw, Arvan lebih anu yaaa daripada Abi, begitu kiranya kata Clara. 🤣🤣🤣

Duhhh gasabat nulis adegan Clara sama Arvan. Oia, Clara ini lebih keras kepala daripada Elena😭 dan Arvan dengan pemikirannya rada2🤣 kebayang gatu mereka bakal gimana?

Aaaa see u aja deh.

Luv, Zea♡

Jika Bulan Tak Menemukan Sinarnya (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang