Es-ese-pe-upu-el-uluh Sepuluh

4.9K 455 11
                                    

Elena's POV

Bisa karena terbiasa.

Begitu memasuki ballroom, aku langsung menebarkan senyum manis, mengeratkan pelukan pada lengan Mas Abi, berjalan seolah kami adalah pasangan paling bahagia. Namun, nyatanya ini semua hanya sandiwara. Tidak ada kebahagian di pernikahan yang sudah berjalan enam bulan ini. Tidak ada cinta yang menghiasi kami layaknya pasangan suami istri. Yang ada, hanya perdebatan, pertengkaran, dan berakhir dengan perselingkuhan.

Aku akui, perselingkuhan dalam pernikahan tidak dibenarkan sama sekali. Tapi salahkah jika aku mencari kebahagian pada orang lain ketika suamiku sendiri tidak memberikannya? Salahkah jika aku mencintai orang lain yang dapat mengerti aku dibanding suamiku sendiri?

Sedari awal, aku tahu ini konsekuensi dari pernikahan tanpa cinta. Pernikahan yang hanya didasari atas hubungan erat persahabatan dan membangun kerja sama antar dua keluarga. Dulu, aku berharap Mas Abi bisa bersikap baik dan mencintaiku. Namun, yang kuharapkan tidak pernah terjadi.

Setiap hari aku merasakan kesepian karena selalu diabaikan. Setiap hari aku berusaha agar tidak terlihat lemah di depan suami yang mencampakkan. Hingga dua bulan yang lalu, aku bertemu Alan. Iya, Alan. Pria yang sudah beristri itu memberiku kebahagian, memberikan apa yang aku inginkan. Cinta, perhatian, dan kasih sayang.

Aku tau ini salah, tapi aku terlanjur terjerumus. Aku terlanjur jatuh dan menikmati kebahagian yang mungkin saja hanya sesaat.

"Jangan tunjukin muka sedih kamu, Elena." Mas Abi memberi perintah. Dan seperti boneka, aku hanya menurut dan tersenyum, menunjukkan betapa bahagianya kami.

Setelah memberi kado ulang tahun yang sudah disiapkan Mas Abi untuk Tante Maya, tiba-tiba Mas Abi mencemgkram kuat tanganku, membuat aku meringis karena rasa sakit yang dirasa. Kutatap Mas Abi penuh keheranan, tapi dia tidak menghiraukan. Matanya fokus menatap satu objek.

Mas Alan?

Entah sebenci apa Mas Abi dengan Mas Alan, tapi yang jelas aku lebih benci ketika melihat orang yang kucintai terlihat bahagia dengan istrinya. Delima.

Ah, sial. Aku benci melihat kedekatan mereka. Sangat-sangat benci. Hingga tanpa sadar, aku mengepalkan tangan, menyalurkan emosi yang ada di hati.

"Itu pria yang kamu bilang cinta sama kamu? Bisa membahagian kamu?" bisik Mas Abi. Pria itu terkekeh sinis. "Saya jauh lebih bisa mencintai dan membahagiakan kamu, Elena. Jadi, saya minta jangan pernah lagi kamu berhubungan dengan pecundang itu." Kata-kata Mas Abi penuh penekanan. Namun, aku tidak peduli, sungguh. Otakku seolah tidak merespons baik apa yang keluar dari mulut laki-laki itu.

Dengan kesadaran penuh serta emosi yang berusaha kuredam, membuat aku melepaskan diri dari Mas Abi, lalu berjalan ke arah pasangan suami istri yang tengah duduk menikmati hidangan.

"Elena, stop! Jangan dekati mereka!" Suara Clara terdengar panik. Astaga, aku lupa kalau Clara masih bersemayam di ragaku. Aku juga sempat melupakan rencana konyolnya ketika melihat Mas Alan dan Delima bersama mengumbar tawa. Yang ada di pikiranku saat ini adalah, membawa Mas Alan pergi dan menghentikan tawa Delima yang terlihat sangat menyebalkan di mataku. Tawanya itu seolah mengejek, mengatakan bahwa Mas Alan bahagia bersamanya.

"Delima, apa kabar?" Sapaan manis yang keluar dari mulutku membuat tawa Delima terhenti. Ia menatap Mas Alan--yang menatapku sembari tersenyum--lalu menatapku dengan kening berkerut.

"Ba ... ik," sahutnya ragu.

Entahlah, aku tidak peduli dengan apa yang dipikirkan wanita itu. Tujuanku saat ini adalah mendatangi Mas Alan, menjelaskan padanya soal kesalahpahaman yang terjadi akibat ulah Clara. Jujur, aku panas melihat Mas Alan dekat dengan istrinya. Dan aku takut akan kehilangan kebahagian yang kumiliki jika Mas Alan kembali bersama istrinya.

Mas Abi? Aku tidak percaya dengan pria nyinyiran seperti dia. Sampai saat ini pun, tidak ada rasa suka yang pria itu tunjukkan. Hanya ucapan pedas yang membuat telingaku panas.

"Boleh pinjam Mas Alan sebentar? Ada yang mau aku omongin." Sudah baik aku meminta izin untuk berbicara dengan suaminya. Kalau sampai tidak diizinkan, maka aku akan menggunakan cara lain un--

"Iya, boleh, El." Begitu saja. Dasar istri sah bodoh. Apa dia tidak takut kalau aku bisa saja menghasut Mas Alan untuk segera menceraikannya dan menjadikanku satu-satunya?

"Elena! Jangan gila kamu! Kamu bisa merusak semuanya."

Persetan dengan rencana Clara. Penulis gila itu sudah membuat hidupku sengsara. Sekarang, aku harus mencari kebahagianku sendiri.

"Elena! Alan itu berbahaya. Kamu bisa mati kalau terus mencintainya."

Demi Tuhan, aku tidak peduli. Selama dua bulan kenal dengan Mas Alan dan menjalin hubungan dengannya, aku selalu merasa bahagia. Mas Alan selalu berhasil membuatku tersenyum, menghiburku kala Mas Abi membuat hatiku sakit.

"Apa lagi yang mau kamu omongin, Elena? Bukannya kamu sudah bahagia bersama suami kamu? Bukannya kamu sudah mengakhiri hubungan kita? Sekarang apa lagi? Kamu ingin menegaskan kalau--"

"Mas, cukup. Semua ini salah paham. Semua yang terjadi waktu itu bukan kemauanku. Aku bahkan nggak sadar udah berbuat gitu." Aku mencoba menjelaskan sehati-hati mungkin.

"Nggak sadar? Kamu pikir aku bodoh? Elena, kamu mencium suami kurang ajarmu itu di depanku. Di depan mataku!" Meskipun suara Mas Alan pelan, tetap saja ada tersirat kemarahan di matanya. Ah, ini semua karena Clara. Kenapa, sih, dia harus ikut campur? Menyelamatkanku dari kematian? Cih! Bukannya takdirku sudah ditentukan dengan dia? Mungkin, jika aku tidak mati karena Mas Alan, bisa saja kan aku mati karena hal lain. Karena takdirku memang berkahir menyedihkan. Dan semua itu ulah Clara.

Memang benar, aku menyetujui rencana dia. Mau bekerja sama dengan dia. Tapi untuk kehilangan sumber kebahagian? Maaf, aku tidak siap. Awalnya, aku pikir aku bisa membantu Clara karena selain memikirkan akhir dari kisahku, aku juga memikirkan nasib Clara. Tapi baru beberapa jam aku berada di dekat Mas Abi, bukannya kebahagian malah kesengsaraan karena harus menahan rasa sakit ketika mulut pedasnya mulai berbicara.

Dan setelah memikir ulang, kuputuskan untuk kembali dengan Mas Alan.

"Mas, tolong percaya sama aku. Cuma kamu, cuma kamu yang bisa buat aku bahagia. Bukan Mas Abi."

"Kepercayaan yang dihancurkan, akan sulit dikembalikan seperti semua, Elena. Aku memang mencintai dan menyayangi kamu, tapi itu dulu. Sebelum kamu memutuskan hubungan dan menjatuhkan harga diriku di depan Abigail."

Ingin sekali aku menjelaskan pada Mas Alan kalau itu bukan aku, bukan wanita yang selama ini bersamanya. Tapi itu Clara! Penulis kejam yang membuat takdir mengenaskan untuk tokoh antagonis seperti aku. Namun, ketika aku sedang memutar otak, mencari alasan agar Mas Alan percaya, tiba-tiba kepalaku terasa berat. Penglihatanku pun terasa buram. Wajah Mas Alan, lampu-lampu yang bersinar terang, semuanya mulai terlihat samar sebelum akhirnya gelap.

●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●

Tbc...

Ahahahahaha.

Begitulah, meski Clara berusaha keras, tetap aja terseret arus plot aslinya.

Kira2 gmn ya? Apa rencana Clara bakal berhasil?

See u ya

Luv, Zea♡

Jika Bulan Tak Menemukan Sinarnya (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang