Elena's PoV
"Alan. Dia adalah Alan." Mas Abi bergumam, suaranya terdengar samar. Namun, telingaku masih berfungsi baik mendengar nama yang disebut Mas Abi barusan. Alan. Tapi apa maksudnya? Kenapa Mas Abi tiba-tiba membahas Alan?
"Mas? Alan kenapa?"
Tolong katakan tidak untuk pikiranku yang mulai negatif tentang Alan. Tidak mungkin kan kalau Alan yang menyakitiku? Tapi ... tunggu dulu, memangnya Alan melakukan apa? Apa yang dimaksud Mas Abi tentang; mengabaikan ancaman dia? Apakah Alan mengancam Mas Abi? Tapi kenapa?
"Mas Abi, Alan ngancem apa? Mas?"
Hah? Tidur? Secepat itu Mas Abi tidur?
Hais! Itu artinya aku harus menahan rasa penasaran sampai besok pagi. Mengembuskan napas berat, perlahan aku memiringkan badan agar Mas Abi tidak terganggu dengan pergerakan yang kulakukan.
Napas Mas Abi yang teratur membelai hangat wajahku. Melihat wajahnya yang tenang, membuat aku menarik dua sudut bibir ke atas, tersenyum seraya mengusap lembut kerutan yang ada di kening Mas Abi.
"Pasti kamu capek, ya, Mas?" Aku tahu bagaimana lelahnya saat merasa takut dan khawatir kehilangan seseorang. Bunda. Dulu, sebelum bunda meninggal, beliau membuatku takut setengah mati karena kanker paru sialan yang terus menggrogoti. Dan bodohnya, kami--aku dan papa--tidak pernah menyadari rasa sakit yang dialami bunda sampai akhirnya bunda sekarat.
Setiap hari yang kulakukan hanya berdoa dan berharap pada Tuhan agar mengangkat penyakit bunda, menyembuhkannya dan menghilangkan rasa sakit yang dideritanya. Namun, sialnya aku lupa minta sama Tuhan agar mempertahankan bunda tetap di sisiku. Aku hanya meminta agar penyakitnya diangkat dan sakit yang dirasanya segera menghilang.
Tuhan mengabulkan, mengangkat penyakit, menghilangkan rasa sakit bunda. Namun, dengan cara yang berbeda. Cara yang tidak pernah kuharapkan. Tuhan membuat bunda tenang di sisi-Nya.
"Maafin aku, Mas. Maaf karena udah buat kamu khawatir, Mas." Aku mengusap air mata yang keluar tanpa izin. "Tapi nggak bakalan bisa maafin diri sendiri kalau sesuatu yang buruk terjadi sama kamu."
Lebih baik aku yang sakit, aku yang berkorban, dan aku yang merasakan. Daripada hanya bisa berdiam, melihat orang yang aku cintai menderita, tapi aku sendiri justru tidak bisa apa-apa. Bahkan menghilangkan kesakitannya barang sedikit saja aku tidak bisa.
"Aku cuma mau berguna buat suamiku, Mas."
Hanya itu. Aku yakin, setiap manusia memiliki seseorang yang paling berharga dan paling ingin dia jaga. Bagaimanapun caranya, dan apa pun yang terjadi, dia pasti akan menjaga sepenuh hati, tidak akan membiarkannya terluka walau seujung jari.
Sama halnya dengan aku yang nggak mau kehilangan Mas Abi, padahal kami baru memulai hubungan kami, memperbaiki kesalahan yang pernah terjadi di masa lalu. Entahlah, sepertinya aku memang harus berterima kasih pada Clara.
Meskipun dia penulis yang menyebalkan, menjadikan aku tokoh jahat perebut suami orang, tapi tetap saja aku merasa berhutang. Sebab karena Claralah aku dan Mas Abi bersatu dan meninggalkan Alan selaku tempat pelarian.
Tapi ngomong-ngomong soal Clara, di mana dia? Kenapa aku merasa Clara tidak lagi bersemayam di tubuhku? Apa dia sudah pergi setelah berhasil melakukan misi? Ah, kalau iya, aku merasa kesepian saat ini.
Jika ada Clara, penulis itu biasanya akan menghiburku dengan ucapan absurdnya. Tapi sekarang? Entahlah, aku bahkan tidak merasakan adanya Clara di sini.
"Aku harap kamu bakal baik-baik aja di sana."
Aku menguap ketika merasakan kantuk yang mulai menyerang. Perlahan kupejamkan mata dan mulai berlayar ke negeri mimpi, bersama Mas Abi yang tidur layaknya bayi tanpa dosa di sisi.
***
"Mau denger ceritaku sambil makan?" Mas Abi kembali membujukku yang enggan mengisi perut. Entahlah, aku memang merasa lapar, tapi mulutku tarasa pahit sekali hingga membuatku enggan memasukkan makanan.
Dan untuk yang kesekian kalinya, aku menggeleng, membuat Mas Abi mengembuskan napas panjang. Dia menatapku sendu, mengusap pipi seraya berkata, "Mau tau cerita di balik teror dan penembakan yang kamu alami, hm?"
Mendengar kata 'teror dan penembakan, membuatku langsung mengangguk cepat. Tentu saja aku mau! Sejak kemarin aku harus menelan rasa penasaranku karena Mas Abi tidur lebih dulu hingga aku tidak mendapatkan apa pun meski sudah berusaha keras.
Mas Abi terkekeh. Ia lantas mengusap pelam rambutku sebelum berujar, "Tapi janji harus makan, ya? Kamu makan, aku cerita. Ya, Sayang?"
Makan? Tapi--ah, persetan dengan rasa pahit. Yang penting aku bisa mengobati rasa penasaran yang sejak kemarin bersarang. Jujur, banyak hal yang membingungkan. Hal yang membuat aku tidak bisa tidur dengan damai. Dan sekarang Mas Abi memberi penawaran ini! Jelas aku tidak akan menolak meski harus merasakan pahit di setiap makanan yang kukunyah.
Tidak apa, terkadang seseorang memang harus melakukan sedikit pengorbanan demi mendapatkan hal yang lebih besar.
"Iya, Mas." Aku menganga lebar, meminta Mas Abi sesegera mungkin menyuapiku makan agar dia memulai ceritanya. Mas Abi dengan senyum manis yang terpatri menyuapiku bubur yang dia beli di kantin rumah sakit. Ya, meskipun semua rasa sama saja di mulutku, pahit, aku tetap menelan dan meminta Mas Abi mulai menceritakan semua hal yang tidak kuketahui.
"Kamu ingat? Pertama kali kamu nyium aku? Di restoran saat pertemuan kamu dengan Alan."
Wait, wait. Nyium? Aku? Hei! Itu bukan aku, tetapi Clara. Hais! Ciuman pertamaku, ya, sewaktu di rumah. Anggap saja begitu, karena ciuman pertama yang dikatakan Mas Abi bukan keinginanku. Oke lupakan jeritanku yang tidak penting.
Lantas aku menatap Mas Abi seraya mengangguk. "Iya, Mas, ingat."
Mas Abi kembali menyuapiku sebelum dia berkata, "Setelah itu kita nyaris mati karena ada seseorang yang mau nembak kita."
Ah, aku mengingat jelas kejadiannya. Apa teror yang kualami bermula dari situ? Aish! Kebiasaan sekali aku ini suka menebak-nebak. Padahal tinggal diam dan menunggu Mas Abi melanjutkan ceritanya.
"Orang itu adalah Alan. Ah, lebih tepatnya orang suruhan Alan."
Deg!
Alan?
"G-gimana maksudnya, Mas?"
Tunggu dulu, aku masih belum menangkap jelas apa maksud perkataan Mas Abi. Apakah Alan yang menerorku selama ini? Tapi kenapa? Bukankah Alan mencintaiku? Sama halnya seperti aku yang dulu mencintainya.
"Elena, aku selalu bilang sama kamu kalau Alan bukan orang yang baik. Dia tipikal manusia yang menghalalkan segala cara demi bisa mencapai tujuannya. Terlebih, jika dia sudah terobsesi. Maka akan sulit untuk membuatnya berhenti." Mas Abi menyapu sudut bibirku, menyingkirkan bubur yang menempel di sana.
"Dan sialnya, dia terobsesi sama kamu. Dia ingin memiliki kamu seutuhnya Elena. Dia selalu mengirim orang untuk memantau kegiatan kamu dan orang untuk menjaga kamu dari bahaya. Lalu ketika kamu memutuskan hubungan dengan Alan, dia marah. Obsesi dalam diri Alan menutup semua akal sehatnya.
"Orang yang menjaga kamu, memantau kegiatan kamu berubah menjadi penjahat yang siap menyakiti kamu kapan pun dia mau."
●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●
Tbc ...
Sampi sini dulu penjelasannya. Lanjut di sebelah nanti. 🤣🤣🤣
Gimana? Kaget ga? Orang yang punya obsesi gila memang ngeri.
Dahlah, see u aja.
Luv, Zea♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika Bulan Tak Menemukan Sinarnya (TAMAT)
RomanceDari sekian banyak kesialan di dunia ini, kenapa Clara Abimana harus memasuki dunia novel buatannya sendiri? Bagus jika ia menjadi pemeran utama yang dilimpahi kasih sayang serta keromantisan sang suami, Clara akan sangat bersenang hati menerima tak...