Kelebihan Chapter, Sayang Dibuang 2 (21++)

2K 145 2
                                    

"Sayang? Sayang?"

Samar-samar kudengar suara Mas Arvan memanggil. Perlahan mata kukerjapkan, mencoba menyesuaikan gradasi yang masuk menyerobot ke retina. Rasa nyeri di kepala membuatku tanpa sadar meringis pelan. Dapat kulihat wajah khawatir Mas Arvan yang terus menepuk pipiku lembut, mungkin agar aku cepat menyentuh kesadaran sepenuhnya.

Apa aku mimpi? Atau kejadian tadi benar-benar nyata? 

"Sayang?" Kudengar Mas Arvan kembali memanggil. Aku mengerjap perlahan sebelum akhirnya wajah khawatir Mas Arvan dapat kulihat dengan jelas.

"Kamu kenapa teriak-teriak? Mimpi buruk, hm?" Suara lembut Mas Arvan yang membelai indra pendengaran membuatku sadar kalau apa yang baru saja kulihat tadi hanya mimpi.

Namun, mengapa terasa sangat nyata? Seolah rentetan kejadian yang kusaksikan tadi bukanlah mimpi apalagi ilusi. Jerit tangis dan keputusasaan begitu jelas terngiang di telinga. Pernyataan cinta yang disambut dengan luka membuat memoriku terlempar pada cerita Elena dulu, sebelum aku masuk ke dunia mereka.

Aku meringis pelan ketika merasakan denyut nyeri di kepala. Perlahan aku mengubah posisi, lalu memeluk Mas Arvan, menenggelamkan kepala dalam dekapan hangatnya tanpa berminat untuk menjawab pertanyaan yang tadi Mas Arvan lontarkan. Aku butuh ketenangan. Dan ketenangan itu hanya akan kudapadat dari Mas Arvan, suamiku.

"Apa pun itu, jangan khawatir. Aku ada di sini." Mas Arvan memilih mengusap punggungku lembut, memberikan ketenangan  yang kucari, membuat aku tanpa sadar terisak. Ada rasa sesak yang aku sendiri tidak mengerti mengapa dan kenapa rasa itu tiba-tiba ada. Rasanya seperti ada ribuan batu yang menghujam tepat di ulu hati.

Sakit dan sesak secara bersamaan.

"Mas, aku takut ...."

Aku tidak berbohong ketika mengatakan itu. Rasa takut kini benar-benar mendominasiku. Bayangan kejadian yang tadi kusaksikan dengan mata kepala sendiri kembali berputar bak kaset rusak. Sialnya, yang teringat hanya suara tembakan dan tubuh bersimbah darah.

"Sayang, tenang, ya? Pelan-pelan lupain mimpi buruk itu." Kata-kata Mas Arvan refleks membuat kepalaku mengangguk, lantas melakukan apa yang suamiku minta. Perlahan aku menghilangkan bayangan mengerikan itu dari benak, mengganti dengan hal-hal yang menyenangkan. Hingga tanpa sengaja, ingatanku terlempar pada kejadian di mana Elena menghadiri pesta pernikahanku dengan Mas Arvan.

Aku masih ingat, waktu itu Elena sempat meminta tolong untuk menyelamatkan anaknya. Namun, hingga detik ini aku sama sekali tidak menemukan satu pun petunjuk mengenai buku yang Elena maksudkan waktu itu.

Dan sekarang, entah mengapa ketika aku  memimpikan hal yang begitu mengerikan, tiba-tiba saja aku malah mengingat Elena. Apa mungkin perempuan yang ditembak itu adalah anak Elena?

Haish, Clara! Kamu mikir apa, sih? Tidak mungkin itu anak Elena. Jelas-jelas wanita fiksi itu belum hamil. Ck! Jadi sudah jelas perempuan cantik itu bukan anak Elena.

Di tengah kepusinganku memikirkan siapa perempuan cantik itu dan apa hubungannya denganku, tiba-tiba saja Mas Arvan melepaskan pelukannya, menatapku lamat-lamat sembari mengerjapkan mata lucu. Aku berdehem pelan ketika merasakan firasat kurang baik karena melihat tingkah laku Mas Arvan.

Hingga ....

"Sayang? Sekarang udah jam berapa?" Mas Arvan bertanya dengan kening berkerut.

"Nggak tau, udah subuh kali," jawabku sekenanya. "Kenapa?"

"Mau ketoprak pake cabe banyak-banyak," cicit Mas Arvan membuatku melongo. Astaga! Jangan bilang Mas Arvan ngidam lagi? Hais! Ini sebenarnya yang hamil siapa, sih? Aku atau Mas Arvan? Heran. Perasaan aku nggak pernah sama sekali minta yang aneh-aneh. Sementara Mas Arvan? Beuh! Sudah tidak terhitung keinginan nyelenehnya.

"Aku ngantuk." Kembali aku memeluk Mas Arvan, menyembunyikan kepala di ketiaknya. Entahlah, aku sangat menyukai bau ketiak suamiku ini. Wangi dan jauh dari kata bau tidak sedap.

Kupikir Mas Arvan akan melepaskan pelukanku yang begitu erat, nyatanya pria yang mengenakan piama tidur itu malah memasukkan tangannya ke dalam bajuku, memainkan jari menelusuri lekuk tubuhku. Ck! Dasar Mas Arvan. Menganggu saja.

"Mas, tangan."

"Ayo pergi."

"Masih gelap." Aku enggan membuka mata meski Mas Arvan tak henti-hentinya menusuk-nusuk pinggangku.

"Ya, udah kalau gitu mandi dulu."

"Dingin."

"Sayang ... Mas mau ketoprak!" Sekarang Mas Arvan justru merengek seperti anak kecil. Demi tentakel Squidwoard! Aku benar-benar bingung dengan sikap Mas Arvan yang berubah seratus delapan puluh derajat seperti ini. Entah hanya perasaanku saja atau memang seperti itu kenyataannya, Mas Arvan menjadi sedikit lebih sensitif sejak aku dinyatakan hamil.

"Tidur dulu, Mas. Abang ketopraknya masih ngelonin istri di rumah." Aku tersenyum jahil lalu mencuri ciuman di bibir suamiku dengan cepat. "Mas nggak mau kelonin aku?"

Secepat kilat Mas Arvan mengubah air mukanya, yang semula cemberut menjadi secerah sinar matahari, menyilaukan sampai membuat aku terkekeh geli. Sumpah, Mas Arvan ini sangat-sangat menggemaskan. Kelakuannya ajaib, tapi berhasil membuat aku semakin jatuh cinta padanya.

Perlahan Mas Arvan menarik tengkukku hingga bibir kami bertemu. Dengan lembut Mas Arvan melumat bibirku, menyecap rasa manis atau busuk? Entahlah, aku bahkan belum menggosok gigi padahal sudah berhasil mencetak beberapa pulau di bantal. Pun dengan tangan nakal suamiku yang menelusup ke dalam piama, meraba pungguku hingga berhasil membuka pengait bra.

Ya, dari dulu memang aku tidak pernah terbiasa tidur tanpa mengenakan bra. Bahkan hingga sekarang pun--setelah aku resmi menjadi istri Mas Arvan--aku selalu tidur mengenakan bra. Padahal mitos yang kudengar, tidur menggunakan bra itu tidak baik, dan Mas Arvan sudah sering memintaku untuk tidak tidur mengenakan benda penutup gunung kembar itu. Tapi aku selalu lupa, lebih tepatnya pura-pura lupa agar tangan nakal Mas Arvan tidak sering berwisata ke pabrik susu milikku.

"Sudah berapa kali aku bilang? Jangan pakai bra, Sayang. Nggak baik." Mas Arvan berujar di sela ciumannya.

"Nggak apa-apa. Biar ada sensasinya." Aku mendesah ketika Mas Arvan menghisap, menjilat, dan mengigiti leherku, meninggalkan jejak kepemilikan di sana. Lalu pria itu perlahan melepas kancing piamaku satu per satu hingga nampaklah benda sakral yang selalu kusembunyikan di balik piama. Dengan rakus Mas Arvan menghisap seolah tak ada hari esok untuk melakukannya. Tangannya pun tidak membiarkan bukit yang satunya bebas begitu saja.

Tubuhku menggelinjang karena sentuhan lembut yang Mas Arvan berikan. Meskipun sudah sering melakukannya, tetap saja aku merasa sentuhannya begitu memabukkan hingga membuat aku lupa daratan. Mas Arvan benar-benar handal tentang urusan memberiku kenikmatan.

Tatapan kami bertemu, mata Mas Arvan begitu sayu dan tampak berkabut oleh gairah yang tercipta. Kembali Mas Arvan mempertemukan bibir kami, saling memagut, memadu kasih seolah menunjukkan perasaan cinta yang mendalam.

"Aku benar-benar mencintai kamu, Sayang. Dan aku nggak akan mungkin sanggup hidup tanpa kamu," bisik Mas Arvan sebelum akhirnya melanjutkan kegiatan kami hingga fajar menyingsing.

●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●

Hottttt!🤣🤣🤣

Gilaze, gemetar gue nulis bginian. Hahaha. Bisa sampai situ geng. Meskipun pernah baca tusuk menusuk, aku tetap belum mahir deskripsiinnya. Syulid:(

Maafkan narasinya yang agak kurang memuaskan, atau terlalu bertele.

See u aja deh.

Luv, Zea♡

Jika Bulan Tak Menemukan Sinarnya (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang