Satu tahun berlalu.
Clara bersorak riang ketika melihat angka satu yang tertera di rapornya. Hari ini adalah hari kelulusan. Hari di mana Clara akan meninggalkan bangku sekolah dasar dan mulai melanjutkan pendidikan sekolah menengah pertama. Mengenakan seragam putih biru yang selalu dikenakan oleh Mas Dipta. Ah, ia benar-benar tidak sabar. Terlebih Clara sudah menunjuk sekolah yang ia kehendaki. Sekolah Mas Dipta.
"Mas Dipta!"
Teriakan nyaring yang berasal dari belakang tubuhnya membuat Arvan menoleh. Lengkungan manis di bibirnya terbentuk begitu saja kala melihat Clara yang masih mengenakan seragam merah putih itu berlari ke arahnya, lalu tanpa segan melompat ke atas tubuh Arvan dan melingkarkan tangan di leher laki-laki itu.
Beruntung Arvan bisa membaca situasi. Jika tidak, sudah dapat dipastikan gadis yang sudah memasuki masa pubertasnya itu akan terjatuh dengan cara tidak elit alias menyedihkan dengan tersungkur menyium tanah aspal. Huh! Membayangkan saja sudah membuat Arvan meringis, apalagi kalau hal itu benar terjadi pada gadis yang berada dalam gendongannya saat ini.
"Kenapa?" Arvan membenarkan tangannya yang melingkar di belakang tubuh Clara. "Kayaknya seneng banget. Dapat voucher makan es krim gratis di kedai baru? Atau apa?"
"Ish! Bukan, Mas." Gadis itu mencebik sebal. Ia bahkan tanpa segan menampar pipi Arvan. Tidak keras, tapi cukup membuatnya terkejut karena tindakan tiba-tiba yang Clara lakukan.
"Terus apa?"
"Aku lulus dengan nilai terbaik, Mas! Kata Mas Dipta kan kalau mau masuk SMP yang sama kayak Mas harus belajar betul-betul, 'kan? Nah, aku udah lakuin itu, Mas. Dan sekarang aku udah metik hasilnya. Uhhh! Seneng banget akhirnya bisa satu sekolah sama Mas Dipta." Clara memeluk kepala Arvan, membuat laki-laki itu terkekeh. Dengan perlahan ia menurunkan Clara hingga gadis yang menguncir kuda rambutnya itu berdiri tegak di hadapannya.
"Bagus! Tapi, Ra ... Mas kan juga baru lulus SMP di sana. Jadi, meskipun kita satu sekolah, kita tetap nggak satu gedung."
"Nggak masalah, Mas. Yang penting kan satu sekolah. Jadi kita bisa berangkat bareng setiap hari, ketemu di sekolah setiap hari, dan makan di kantin setiap hari. Dan satu lagi, aku bisa jagain Mas Dipta dari cewek-cewek genit yang mau godain, Mas!" ujar Clara menggebu. Huh! Lihat saja nanti, akan Clara tunjukkan pada orang-orang kalau Mas Dipta itu punya dia. Iya! Mas Dipta itu adalah jodoh Clara. Jadi, ia tidak akan pernah membiarkan cewek-cewek genit itu untuk mendekati Mas Diptanya. Tidak akan.
"Kamu masih kecil, Clara." Arvan menepuk puncak kepala Clara.
"Siapa bilang? Aku udah remaja, Mas! Lagian aku juga udah datang bulan. Kata ibu, kalau cewek itu udah datang bulan, berati dia udah besar, udah nanggung dosa sendiri, dan harus bisa jaga diri!"
Clara betul kan? Sebagai seorang gadis yabg sudah balig dan berakal, dia harus bisa menjaga diri sendiri. Mandiri. Belajar bertanggung jawab dengan apa yang telah dia perbuat.
Clara masih ingat, dulu, sebelum hari kelulusan tiba, tepatnya tiga bulan yang lalu. Clara merasakan perasaan aneh ketika dia berada di dekat Mas Dipta. Ia merasa ingin memiliki laki-laki itu seutuhnya. Bahkan ada perasaan tidak suka jika ada cewek-cewek yang menatap Mas Dipta secara terang-terang. Awalnya Clara tidak mengerti. Tapi setelah ia bertanya pada Mas Dipta, tentu saja dengan berbagai macam perumpaman agar ia tidak malu nantinya, akhirnya Clara paham dengan perasaannya.
Ia jatuh cinta pada Mas Dipta. Entah itu cinta monyet, kuda, kerbau, kambing, sapi, atau biri-biri, Clara tidak peduli. Intinya ia jatuh cinta pada sosok Mas Dipta yang selalu ada untuknya.
Kemudian Clara kembali bertanya, menggunakan perandaian. Pertanyaan yang mungkin saja dianggap oleh Mas Dipta sebagai angin lalu.
"Mas, kalau sudah besar nanti, Mas mau nggak jadi suami aku?"
Dan jawaban Mas Dipta waktu itu benar-benar memuaskanku.
"Iya, mau. Tapi tunggu Mas sukses dulu. Mas harus punya uang yang banyak, pekerjaan tetap atau perusahaan besar supaya bisa memenuhi kebutuhan kamu nantinya. Karena kalau sudah besar nanti, setelah kamu jadi istri Mas, Mas wajib bertanggung jawab atas semua kebutuhan kamu." Mas Dipta menepuk puncak kepala Clara dengan lembut.
"Kalau gitu, mulai sekarang, Mas harua janji sama aku. Mas nggak boleh pacaran sama siapa pun selain aku. Pokoknya, Mas itu punya aku! Punya Clara. Ya, Mas?" Mata Clara berkedip lucu, membuat Arvan gemas melihatnya. Laki-laki yang mengenakan kaos oblong berwarna hitam itu lantas memeluk Clara sembari mengecup puncak kepala gadis itu bertubi.
"Mas janji!"
Setidaknya janji itu benar-benar ditepati oleh Mas Dipta sampai Clara resmi menjadi murid di SMP Cahaya Bakti. Pun dengan Mas Dipta yang menjadi murid di SMA Cahaya Bakti. Namun, janji itu hanya ditepati selama satu tahun. Karena setelah kenaikan kelas, Mas Dipta menghilang begitu saja.
Hanya ada kalung yang berbandul cincin serta sepucuk surat yang Mas Dipta tinggalkan di kamar Clara. Tidak ada kata pamit, tidak ada perpisahan, apalagi kata selamat tinggal yang Mas Dipta ucapkan.
Clara hanya ditinggali janji yang laki-laki itu tuliskan.
Hai, Cantik. Maaf, ya? Mas harus pergi tanpa bisa mengabari kamu. Rasanya Mas nggak sanggup untuk berpisah dari kamu, Clara. Tapi apa boleh buat? Ada hal yang harus Mas kejar untuk saat ini.
Ingat sama janji Mas waktu itu? Mas akan menikahi kamu ketika Mas sudah sukses. Peecaya sama Mas. Mas nggak akan pergi untuk selamanya, Cantik. Mas pasti kembali. Jangan nangis, ya? Kamu harus jaga diri baik-baik. Jangan sering berantem sama adik-adik kamu apalagi sama ibu. Janji, ya, sayangnya Mas?
Satu lagi, kamu harus jaga hati kamu, ya. Jangan mencintai orang lain selain Mas. Mas juga akan berjanji nggak akan mencintai orang lain selain kamu.
Sampai ketemu, Sayangnya Mas.
Mas Dipta.
Setelah hari itu. Hari di mana Mas Dipta pergi meninggalkan Clara. Gadis yang selalu ceria itu berubah seratus delapan puluh derajat. Tidak ada lagi Clara yang banyak bicara, tidak ada lagi Clara galak, dan tidak ada lagi Clara yang suka melarang cewek-cewek untuk mendakati miliknya.
Kini hanya ada Clara yang pendiam dan malas berbaur dengan orang-orang.
Setiap hari Clara selalu menunggu kepulangan Mas Dipta. Namun, setiap hari pula ia harus merasa kecewa. Pun dengan rasa sakit hati yang benar-benar menyakiti. Menusuk bertubi dan menghancurkannya secara perlahan.
Ingin rasanya Clara membenci Mas Dipta dan menolak percaya pada janji-janji itu. Namun, hati kecilnya selalu berharap akan kehadiran Mas Dipta hingga ia lupa bagaimana sosok laki-laki itu.
Clara melupakan Mas Dipta karena rasa sakit dan kecewa yang terlalu besar ia terima. Bahkan sampai Clara dewasa pun, Mas Dipta tidak pernah kembali. Mas Dipta tidak pernah mencari apalagi menetapi janji.
Satu hal yang dirasa Clara sampai saat ini. Ia benci pada Mas Dipta, tapi juga rindu dengan laki-laki itu. Entah kapan semesta akan mempertemukan mereka kembali.
Clara bahkan tidak ingin berharap lagi karena ia sudah merasa begitu lelah hati.
●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●
Tbc ....
Pusing? Nggak kan? Hehe. Aku harap si enggak ya di bab ini aku buat untuk mencakup semuanya. Yaaaa, nggak terlalu berkesan banget, tapi ini adalah informasi penting dari cerita2 masa lalu tentang Arvan dan Clara.
Siap untuk ektra part setelah mereka menikah? Gasss! Malam ini juga aku update!
See u aja deh! Semoga otakku nggak panas. Wkwkwk.
Luv, Zea♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika Bulan Tak Menemukan Sinarnya (TAMAT)
RomanceDari sekian banyak kesialan di dunia ini, kenapa Clara Abimana harus memasuki dunia novel buatannya sendiri? Bagus jika ia menjadi pemeran utama yang dilimpahi kasih sayang serta keromantisan sang suami, Clara akan sangat bersenang hati menerima tak...