[19] hello, jordan!

659 150 14
                                    

Suasana ruang uks kini hening. Sangat hening. Bahkan mereka bisa mendengar suara yang ditimbulkan setiap kali napasnya berhembus.

Ana selaku anak pmr yang sudah terbiasa mengobati luka-luka akhirnya membawa Jordan ke uks, meraih obat luka serta kapas yang ada di sana.

Beberapa menit berlalu begitu saja tanpa ada yang membuka mulut atau memulai percakapan.

Raut wajah Jordan benar-benar kosong, sorot matanya lurus ke depan, menikmati rasa sakit yang perlahan menggerogoti tubuh dan hatinya saat ini. Demi apapun, kata-kata yang keluar dari mulut Febian masih terbayang-bayang di dalam kepalanya hingga kini.

Rasanya Jordan ingin melampiaskan emosinya dengan sesuatu, tapi tubuhnya masih terlalu lemah. Hal yang paling ia benci adalah di mana ketika ia merasa kesal, emosi, dengan amarah yang berada di ujung tanduk namun ia tidak bisa melakukan apapun selain diam.

Dadanya mendadak sesak, tenggorokannya seakan-akan tengah dicekik oleh sesuatu. Kalau Jordan nangis sekarang kan tidak lucu.

"Jangan ikut tawuran lagi ya? Aku mohon sama kamu." Tutur kata itu mengudara dengan sedikit bergetar.

Tidak ada respon yang keluar dari mulut bocah itu. Bikin netra Ana beralih melirik Jordan gesit, bibirnya jadi melengkung ke bawah karena turut merasa sedih. Ia kembali fokus pada luka-luka di wajah Jordan yang sedari diobatinya.

Ana menghela napas. "Aku gak tau apa yang bikin anak sekolah kita nurut dan ikut turun buat tawuran hari ini. Padahal bisa diomongin baik-baik,"

"Gak bisa," dinginnya menyangkal ucapan Ana. Jordan membuat kontak mata antar dirinya dan juga sang senior. "Gak bisa, Kak Ana."

Mungkin kalimat itu terlihat biasa saja. Namun untuk Ana yang membuka indera pendengarannya, kalimat biasa yang dikatakan oleh Jordan secara langsung lebih terdengar menusuk.

Ana jadi agak menyesal sudah sok tahu, padahal ia tidak merasakan, ia bukanlah anak laki-laki yang memiliki gengsi besar terhadap hal ini.

"Shh."

"Maaf!" Ia menjauhkan tangannya dari wajah Jordan dengan terkejut. "Sakit gak?"

"Febian itu pacar Kakak?"

Dahi Ana dibuat semakin berkerut. Alih-alih menjawab, anak yang ada di depannya itu malah mengalihkan topik secara sepihak, bahkan pertanyaannya saja sama sekali tidak dijawab dan ditimpa oleh sebuah kalimat bertanda tanya yang baru.

Tak tahu apa yang ada di isi kepala Jordan saat ini, yang jelas itu berhasil membuat Ana tiba-tiba gagu, lidahnya kelu untuk membalas meski itu adalah pertanyaan yang sangat mudah tuk dijawab jujur.

Tangan kiri Jordan menyentuh bangsal guna menyangga tubuh ketika mencondongkan dirinya sekejap ke arah Ana. Mata itu kembali saling beradu.

"Kalo gak mau jawab gapapa."

"Backstreet. Gak ada yang tau aku pacaran di luar sekolah, maupun di sekolah. Cuman aku, temen-temen dia, orang tuaku, dan sekarang kamu." Ana berdeham kecil, menjauhkan badannya dari Jordan seraya menjatuhkan pandangannya ke bawah. "Maaf."

Sebelah alisnya terangkat. "Maaf? Buat?"

"Maaf karena aku gak bilang ke kamu tentang ini. Maaf karena aku udah bikin kamu turun ke area karena terpancing. Maaf udah bikin kamu luka-luka. Maaf atas perilaku Febian ke kamu. Maaf kalau aku—"

Kalimatnya ia biarkan menggantung di udara, Ana menelan salivanya susah payah begitu Jordan seakan-akan tengah mengurung tatapannya pada mata indah tersebut.

Ia tidak bisa bicara. Kepalanya mendadak kosong dan suaranya seperti tertahan oleh sesuatu.

"Hm?"

"Aku suka...," Ana membersihkan tenggorokannya lagi. Kepalanya ia gelengkan menggunakan gestur kencang, bersamaan dengan tangannya yang membereskan obat serta kapas itu dengan secepat kilat. "Ng-nggak. Gak jadi."

"Ayo pulang—"

"Gue mau di sini," sela Jordan menahan pergerakan Ana.

Ia mendengus, mengalihkan pandangnya. "Bukan Kak Ana yang harus minta maaf di sini, tapi Febian. Orang yang salah harus ngaku sama kesalahan yang dia buat, gak bisa diwakilin. Gue gak akan nerima ratusan kata maaf dari Kak Ana kalo cuman buat ngewakilin perbuatan Febian."

Semua ekspresi wajah yang Jordan tunjukkan pada Ana membuat dirinya semakin memahaminya, bocah itu kecewa bercampur sedih karena perkataan yang terlontar melalui mulut sang kekasih dari seorang Kanara.

Mata sendu Ana hampir berkaca-kaca. Seolah ada yang sedang meremat hatinya sekarang, terlebih lagi saat titik hitamnya bertubrukan satu sama lain. Air muka di atas paras rupawan itu seakan tersirat banyak luka di dalamnya.

Jika saja ia diizinkan merengkuh tubuh Jordan tuk membawanya ke dalam dekapan hangat, pasti Ana sudah melakukannya sejak tadi.

Namun Ana merasa tidak pantas untuk melakukan hal itu selepas apa yang telah terjadi. Walau bukan dirinya yang menyakiti hati Jordan, tetapi yang membuat Jordan seperti ini adalah Febian—yakni sosok yang masih berstatus sebagai pacarnya sendiri.

Jarum jam terus berdenting, keduanya sudah menghabiskan waktu hanya untuk tenggelam dalam dunianya sendiri di antara keheningan.

Detik kemudian Jordan beranjak dari duduk, mengambil tasnya dan bergegas untuk segera pulang ke rumah, diikuti oleh Ana yang ada di sampingnya.

Sudut bibirnya yang masih terdapat luka basah itu ditarik ke atas, membentuk sebuah lengkungan yang samar. "Makasih udah nahan gue waktu gue lepas kendali, dan maaf kalo gue selalu bersikap berlebihan."

Ana mengangguk dan melakukan hal yang sama.

"Istirahat yang banyak, Jordan."

Sore hari ini seharusnya bisa ia pakai untuk bersenang-senang dengan santai, pastinya usai membawa Ana keluar dari area tawuran tadi. Tetapi sebuah pertemuan, beberapa fakta, serta semua tutur kata yang terucap oleh Febian mengenai sang ibunda—semua berada di luar dugaannya.

Memang tidak ada yang harus disesali di sini. Jordan hanya sedikit kecewa.

"Tolong, jangan terlalu baik ke gue." Nada bicara Jordan menjadi lebih lembut dari sebelumnya. "Ini bukan perintah. Tapi permintaan. Permintaan pertama gue ke Kak Ana."

Tadinya Jordan kira dengan semua takdir yang tak sengaja mempertemukan dirinya dengan Ana merupakan awal dari segalanya. Sesaat ketika ia menyadari bahwa Ana sudah dimiliki oleh seseorang, membuat ia hilang harapan.

Jordan benar-benar tidak ingin jatuh lebih dalam lagi. Tapi jika disuruh memilih untuk menjauh dari gadis itu, Jordan tidak akan bisa.

Ia akan selalu berada di sampingnya, tetap bertahan di atas luka-lukanya, sambil mengubur dalam-dalam segala perasaannya mengenai Kanara.

"Maaf."

"Eh? Kok tiba-tiba? Kamu kan gak salah apa-apa di sini. Justru—"

"Maaf. Gue salah, Kak Ana."

Responnya cuman diam dengan sorot mata yang tak lepas dari manik kembar tersebut. Ada sesuatu yang tengah mengganggu hatinya begitu ucapan itu terlontar, Ana sendiri pun tak tahu apa yang terjadi dalam dirinya.

Sedangkan Jordan hanya mempertahankan senyumnya saat ini. Melangkahkan tungkainya, meninggalkan sang gadis yang masih berdiri senyap tanpa berkutik sedikitpun.

Gue salah karena gue udah terlanjur jatuh lebih dulu ke lo, Kak.

Maaf.

Jordan suka.

































































































































[konfliknya berat tp aku bikin kalian santai aja bacanya. cmn kalian pasti cape sm kelakuan tokoh yg bikin "hah... ya ampun..." HAHAHA

btw, kiss scenenya mau di chapt berapa? ツ]

Hello, Jordan! || Yang Jungwon [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang