[31] hello, jordan!

530 115 8
                                    

"Luka dikit. Tapi tetep sakit."

"Wekakakak! Kapok gak lo ikut tawuran?"

"Gak—" Jordan mengerutkan dahi bingung seraya mengaduh, tepat selepas kepalanya tiba-tiba didorong dari belakang oleh Sean yang ada di sampingnya sekarang. "Apa sih, Bang?"

Sementara cowok bertahilalat itu berdecak kesal. Merasa tidak ada yang beres dengan cara berpikir sang adik kelas. "Lo aneh juga ya anaknya. Lo udah luka-luka, kena hukum, diskors, ketinggalan pelajaran dan sekarang lo jadi dapet merah-merah lagi nilainya."

Beberapa menit lalu ketika baru saja sampai di warung kopi, Jordan memang sempat bercerita mengenai tugas-tugas serta tes susulannya yang telah di nilai.

Ya, selama diskors Jordan tertinggal beberapa materi dan ia hanya mampu belajar setengahnya. Itu membosankan. Meski Jordan hanya perlu duduk di meja belajar dengan buku di atas meja, tapi semua membuat Jordan merasa muak.

Wajahnya sangat datar, rasanya Sean seperti sedang kembali mengenal Jordan berwajah tanpa ekspresi dengan tatapannya yang dingin. Sungguh, Sean belum terbiasa disuguhi pemandangan itu dari Jordan—mengingat kepribadian Jordan dulu yang sangat berbeda dari sekarang.

Jordan cuman mampu tersenyum pahit. Ia ingin cepat pulang dan beristirahat, menghabiskan waktunya tanpa rasa sakit, merebahkan tubuh di kasur nan nyaman lalu membiarkan alam mimpi merekrutnya. Ingin sekali. Namun otak Jordan seolah dibuat berpikir dengan keinginannya sendiri, karena arti 'rumah' baginya bukanlah tempat peristirahatan yang tepat.

Mau tak mau. Pulang ke rumah dengan membawa lembaran kertas bercorak merah kemudian menerima pemberian dari sang Ayah, Jordan akan melakukannya demi bisa menyentuh kasur dibanding tidak pulang sama sekali dan menjadi gelandangan.

"Nilai gue bagus di bidang yang gue kuasai. Walaupun gak semua bagus, tapi setidaknya ada yang bersinar di antara lembar kertas dengan coretan merah."

Sorot mata Jordan jatuh ke arah sebatang rokok yang menyala di antara dua jarinya, menjadi sedikit jeda dari kalimat yang diucapkan. "Dan soal tawuran kemarin, gue gak kapok, gak nyesel sama sekali," katanya. Si junior menoleh ke yang lebih tua. "Ada banyak hal yang baru gue sadari semenjak tawuran itu, juga ada banyak hal yang bisa gue lakuin setelah semua yang kemarin terjadi."

Sean yang merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Jordan hanya bisa bertanya, "Naon eta?"

"Gue gak bisa ngasih tau. Intinya soal keluarga sama—"

"Sama cewek lo? Kanara?"

Jordan reflek menelan salivanya kasar usai Sean memotong perkataannya lebih dulu. Mengerjapkan mata beberapa kali sampai akhirnya Sean kembali mendorong kepala Jordan dari belakang sambil tertawa mengejek.

Padahal Jordan tidak pernah memberitahu siapa-siapa kalau ia sedang menyimpan hati untuk seseorang, selain dua teman sekelasnya juga Rajendra.

"Yaelah, lo kira gue gak tau lo ikut tawuran gara-gara apa?" Sean mengambil gelas kopinya yang masih tersisa. Mencondongkan badannya mendekat pada cowok berlesung itu. "Heh, denger, gue sekelas sama Ana, gue udah curiga selama ini lo berdua saling suka. Ternyata bener."

Kemudian suara kopi yang disesap oleh Sean menjadi penutup dari kalimatnya sendiri. Memberi waktu dan tempat untuk Jordan diam merenung, membiarkan otaknya bekerja mencerna segala ucapan Sean tadi.

Tiba-tiba ia kepikiran sesuatu.

Siapa aja yang tau gue deket sama Kak Ana?

"Ujung kuping lo merah banget. Habis dijewer siapa?"

"Diem, Bang."

Kedua tangan Jordan bergerak menutupi dua daun telingannya serempak, menahan rasa salah tingkah yang ingin segera ia lampiaskan.

Hello, Jordan! || Yang Jungwon [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang