[44] hello, jordan!

604 118 18
                                    

Kaki jenjangnya berjalan mondar-mandir di sekitar meja belajar, mencari barang yang menurutnya sangat penting. Sudah menggeledah tas sekolahnya, menelusuri sekitar meja, mengacak-acak laci yang ada, namun masih tidak ada juga.

Padahal seingat Jordan, ia tidak menaruh lembaran-lembaran itu sembarangan. Bahkan belum dikeluarkan dari tasnya. Lagipula kalau memang Jordan bereskan, pasti ia menaruhnya di meja belajar.

Cowok yang masih berbalut kemeja putih dan celana panjang hitam tersebut menyeka rambutnya, kemudian berkacak pinggang seraya memandangi hasil perbuatannya yang habis mencari kertas ujian di seluruh tempat.

Menjelang malam. Sepulang dari tempat kerja, Jordan ingin sekali langsung tidur dan beristirahat. Namun ia kepikiran mengenai hubungan dirinya dan sang Ayah, ia hendak menunjukkan nilai ujian miliknya yang memiliki perkembangan, sekaligus meminta maaf atas perbuatannya selama ini.

Lalu, yang ada di hadapannya saat ini apa? Kemana perginya kertas-kertas itu? Bikin lelah saja.

"Ardan! Liat kertas ujian Abang gak?"

Jordan tahu, si bungsu ada di dalam kamarnya. Entah sedang apa, alunan lagu bertema cinta remaja disetel dengan volume maksimal dari kamar Ardan, dan itu masih bisa didengar pula oleh Jordan di posisinya sekarang.

Helaan napas pasrah terdengar berat. Mau tak mau Jordan harus menghampiri Ardan ke kamarnya langsung, karena bocah itu tidak akan mendengar panggilannya akibat kencangnya lagu tersebut.

Tetapi, decit pintu kamar yang terbuka lebih dulu mengalihkan perhatian. Menuntun Jordan untuk segera menggulir mata ke arah sumber suara, hingga akhirnya mulut dan matanya sedikit melebar setelahnya.

"Ayah?" Sosok yang membuka papan penghubung itu terdiam usai beradu pandang dengan Jordan, begitupun Jordan sendiri. "K-kok udah pulang—"

Denting jam yang tak berhenti berputar itu hampir menujukkan pukul 7 malam. Tidak biasanya Ayah pulang sebelum pukul 9 malam tiba, kecuali jika pekerjaan memang diusaikan lebih cepat.

"Ardan udah bilang semuanya ke Ayah." Lengkap dengan seragam kantornya ia mendekat. Wajah yang sudah penuh kerutan itu tersenyum, disertai ketulusan. Berjalan menghampiri, kemudian duduk di tepi tempat tidur Jordan dengan lembaran kertas digenggaman. "Sini duduk. Capek ya habis kerja?"

Jordan terkejut. Air mukanya saja mengatakan itu.

Sebenarnya apa yang habis diceritakan oleh Ardan sampai-sampai Ayah mengetahui bahwa ia kerja paruh waktu segala? Padahal sudah susah payah ia merahasiakannya.

Hal yang terlalu tiba-tiba ini membuatnya mematung di tempat. Perasaannya campur aduk, tak tahu harus tersenyum atau menitikkan air mata. Melihat Ayahnya menaikkan sudut bibir di hadapannya seperti ini sungguh berada di luar kepala, sesaat dadanya terasa merasakan sesak yang terus menjalar.

Selepas mendudukkan dirinya di samping sang kepala keluarga, ia langsung memejamkan mata ketika usapan hangat mendarat di kepalanya. "Ayah tau Ayah bakal keliatan kayak pengecut kalau tiba-tiba bilang begini ke kamu. Tapi kamu harus tau, Jordan. Ayah bangga banget sama kamu."

Meski air matanya ditahan untuk mengalir, namun Jordan tidak bisa menahan rasa perih di dada yang seolah tengah mencekik tenggorokannya.

Pria itu menunjukkan lembaran yang ada di tangannya, yang tak lain adalah kertas ujian yang sejak tadi Jordan cari. "Ayah bukan bangga karena kamu dapet nilai bagus di ujian minggu ini. Ayah bangga sama semua yang udah kamu lakuin selama ini."

"Dengar semua yang diceritain Ardan tentang kamu bikin hati Ayah sakit. Ayah nggak tau apa yang selama ini ada di dalam pikiran kamu, Ayah merasa gagal buat jadi orangtua buat anak-anak Ayah sendiri."

Hello, Jordan! || Yang Jungwon [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang