[21] hello, jordan!

623 142 29
                                    

"Jadi ini alasan kamu ikut belajar bela diri?" Satu desahan terdengar samar begitu cambukan lagi-lagi menghantam punggung itu. "Buat baku hantam sama orang waktu tawuran ya?"

Ia menjatuhkan dirinya di atas sofa seraya menyimpan gesper yang sejak tadi berada di tangan kanannya. Pria itu mengusak rambutnya kasar kemudian menjambaknya kuat-kuat.

Matanya berkaca-kaca juga memerah, mengatur napasnya yang masih memburu usai mengeluarkan sumpah serapahnya pada sang anak.

Ia baru saja pulang kerja tadi dan matanya langsung gencar mencari keberadaan si sulung, menyuruhnya bebalik badan lalu berlutut sambil membuka bajunya. Lalu berlanjutlah sampai sekarang.

Siang tadi, Ayah sempat ditelepon oleh pihak sekolah saat sedang bekerja, ia bahkan melewatkan beberapa panggilan konsumen yang seharusnya ia layani—sebagaimana dirinya adalah pekerja bagian customer service di sana.

Ingin rasanya membanting ponsel itu saat sedang berkomunikasi dengan seorang guru bk. Hatinya mencelos begitu tahu arah topik perbincangan mengenai anaknya tersebut, sampai-sampai ketika lanjut bekerja ia menjadi tidak fokus hanya karena pikirannya dipenuhi oleh putra pertamanya.

"Kamu mau jadi apa sih?! Kamu kira dengan kamu ikut tawuran kamu bisa keliatan jagoan? Goblok kamu tuh!"

Ayah menggertakkan giginya, menghembuskan napasnya frustasi saat matanya kembali tertuju pada luka serta lebam pada punggung Jordan.

Kemeja serta celana panjang yang ia pakai untuk bekerja masih melekat di tubuhnya, rasanya ingin cepat-cepat istirahat karena fisik dan isi kepalanya seakan memerintahkan dirinya untuk segera tumbang. Namun sangat disayangkan, urusannya dengan anak itu belum pula selesai hingga sekarang.

"Ini sebabnya kenapa Ayah larang kamu ikut taekwondo. Kamu pakai kemampuan buat hal yang gak bener. Kamu lemah, kamu gampang sakit, kamu selalu nyita waktu Bunda sampai adik kamu si Ardan itu gak keurus." Nada suaranya masih tinggi meski tonggorokannya nyaris kering. "Ayah kira setelah Bunda gak ada, kamu bakal berhenti taekwondo dan tekun belajar, karena Ayah tau kalau kamu itu gak ada apa-apanya kalau gak ada Bunda. Tapi ternyata masih sama, bahkan lebih parah. Berani-beraninya kamu ikut tawuran di saat kamu lebih mencondongkan diri ke dunia bela diri di banding nilai mata pelajaran kamu sendiri."

Sementara itu Jordan yang ada di bawah sana hanya terdiam. Emosinya hanya bisa dipendam, ia tak bisa melakukan apapun. Membuat tubuh dan hatinya seakan mati rasa agar ia tahan akan semua rasa sakit yang perlahan mendorong Jordan untuk mengeluarkan air matanya.

Lagipula ini salahnya. Meskipun ia ada alasan tersendiri untuk melakukan itu, tapi tetap saja Jordan sadar kalau ia sudah membuat sang Ayah kecewa.

Cowok itu merasa pantas mendapatkan ini semua, mengingat dirinya sejak kecil selalu saja merepotkan orang tua.

Sakit.

Luka-luka ditubuhnya seakan ditorehkan sebuah luka baru yang lebih parah. Namun Jordan memahaminya. Jordan menerima karena ia pikir ia harus mendapat hukuman atas segala perbuatannya.

"Semua gaji Ayah sudah diatur untuk kamu, untuk Ardan, dan untuk Ayah sendiri. Belum lagi Ayah masih harus bayar tagihan, beli keperluan di rumah, keperluan sekolah kamu dan Ardan. Semenjak Bunda meninggal, Ayah ini kerjanya berkali lipat, gak ada yang bantu, Ayah juga harus pinter ngatur uang," ujar pria itu setelah membungkam mulutnya beberapa menit.

"Sedangkan di sini kamu malah ikut taekwondo yang jelas-jelas masih harus Ayah bayar, kamu juga belajarnya gak bener dan selalu dapet nilai jelek. Tapi gimanapun juga Ayah masih harus bayar semua itu demi kelangsungan pendidikan kamu! Sekolah kamu seakan sia-sia karena lebih sibuk di dunia bela diri. Itu alasan kenapa Ayah gak kasih kamu makan sebagai hukuman setiap dapet nilai jelek, karena uangnya udah dipakai buat sekolah dan kelas taekwondo kamu, Jordan!"

Hello, Jordan! || Yang Jungwon [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang