Membiarkan tubuhnya menempel dan bermanja-manja dengan kasur empuk milik si sulung, Ardan membuat tumpukkan dua tangannya menjadi bantal tidur. Diam merenung. Pandangannya menjadi garis lurus mengarah ke langit-langit kamar, memikirkan sesuatu di dalam benaknya selagi percakapan antar dirinya dan juga Jordan terjeda.
Menit demi menit terbuang begitu saja, hanya dipakai untuk bernapas dan membebaskan pikirannya menjelajah. Ardan menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Menikmati aroma khas Jordan yang selalu ia rindukan setiap kali menghirup udara.
Rasanya jauh lebih lega usai ia berbicara empat mata dengan sang kakak. Semua yang terpendam di hatinya telah dikeluarkan, beban pikirannya berkurang, dan Ardan jadi lebih leluasa. Kegelisahan, amarah, cemburu, semua rasa yang membuatnya tidak tenang dapat memudar.
Tidak ada lagi rahasia atau salah paham yang disembunyikan keduanya. Jordan maupun Ardan seakan mengakui keberadaan satu sama lain—setelah sekian lama bertindak bak orang asing di rumah juga bahkan di sekolah.
Deeptalk saat itu Ardan rencanakan tepatnya selepas kejadian di mana sang kakak dilukai fisiknya oleh Ayahnya sendiri, di depan matanya sendiri. Hatinya ikut terluka. Terlebih lagi ketika manik kembarnya saling bertubrukkan, kata maaf terlontar samar dari titik lidah Jordan.
Jika diingat terus, rasa nyeri di dadanya semakin tak sanggup ia tahan. Maka dari itu Ardan memutuskan untuk menuntaskan ini semua dengan deeptalk, berbicara tenang tanpa disertai emosi dan mengatakan semuanya dengan kejujuran.
Ardan mengulas senyum tipis. Ia yakin, secara bertahap ia pasti bisa menjadi seorang anak bungsu yang terbuka pada keluarganya.
"Jangan capek-capek. Udah cukup belajarnya hari ini, lo udah mimisan gara-gara kelamaan belajar. Don't be too hard on yourself, Bang," ujar Ardan usai keheningan sempat menyelimuti.
Jordan terkekeh pelan setelahnya. Sekilas melirik beberapa gumpalan tisu yang sudah ternodai oleh darah yang keluar dari hidungnya di atas meja.
Detik kemudian tangannya mengambil tisu yang digunakan sebagai penyumbat pada salah satu lubang hidungnya, merasakan bahwa cairan kental itu tidak akan lagi keluar dari sana, lantas cowok itu menyatukan tisu tersebut dengan yang lainnya.
"Gue bakal terbiasa, Ardan."
"Udah tua jangan ngeyel."
"Iya bawel." Ia berdecak pelan. "Beda satu tahun doang belagu."
"Hehehehe."
Jordan juga merasakan yang sama dengan Ardan. Awalnya terasa aneh jika mereka makan berdua, pulang sekolah bersama, bercanda tawa dalam hal kecil, serta mengobrol dan bertukar cerita tentang kesehariannya tiap malam hari. Asing sekali. Tetapi seiring berjalannya waktu mereka makin terbiasa dengan ini semua.
Menyenangkan.
Deeptalk saat itu membuat hubungan Jordan dan adiknya menjadi lebih dekat, sungguh jauh dari perkiraannya kalau ia bisa sedekat ini dengan Ardan.
"Abang lagi banyak jadwal, kah?" Ia mencuri pandang ke arah Kakaknya yang tengah sibuk berkutat dengan buku di meja belajarnya.
Belakangan ini Jordan jadi menekuni pelajaran sekolahnya. Cowok itu tidak suka belajar, bukan berarti ia akan membiarkan nilainya merah terus-terusan hingga tidak naik kelas. Ia akan tidak jauh berbeda dengan berandalan yang kerjanya hanya bebas kelayapan mencari kebahagiaan sendiri.
Yang penting ia sudah punya impian. Menghabiskan waktunya semasa menjadi atlet bela diri lebih baik, daripada fokus pada bidang yang tidak ia suka sama sekali.
Bakal sia-sia jika waktunya dipakai untuk sibuk meraih impian orang lain, dan menjalani masa-masa menjadi atlet di saat dirinya sudah beranjak lebih dewasa, sudah sangat terlambat pastinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Jordan! || Yang Jungwon [√]
FanfictionCOMPLETE Ini tentang Jordan yang jatuh cinta sama kakak kelasnya. Highest rank #1 jungwonenhypen [250422] #1 yangjungwon [280522] Spin-off The Things About Us Fanfiction local vers. [START 20.03.22] [FINISH 27.06.22]