[40] hello, jordan!

624 117 3
                                    

Ana menarik selimutnya ketika udara dingin bertiup. Tangannya masih memegang ponsel yang kini sedang terhubung dengan seseorang, mendengarkan tiap kata yang terlontar dari sebrang sana.

"Kalo kakak gak mau, gak suka, dan gak mau ada keputusan sepihak, lebih baik tolak dari awal."

"Aku... masih gak berani."

Bersama piyama tidur dan guling kesayangan ia meringkuk di atas kasur empuknya. Berbalut selimut hangat serta penerangan ruang kamar yang minim membuat Ana merasa nyaman, ia telah menempatkan dirinya senyaman mungkin agar tidak terganggu selama mengobrol dengan Jordan.

"Kak, orang yang punya rencana hidupnya gak akan ketakutan. Jadi walaupun Kak Ana gak sebanding sama lawannya, tapi Kak Ana punya rencana, Kak Ana pasti gak akan jatuh. Jangan takut."

Di hari yang sama, malam harinya Ana habiskan untuk berbincang sejenak bersama Jordan sebelum benar-benar pergi ke alam mimpi. Ia sendiri sudah bilang akan bercerita lebih banyak ketika sudah sampai di rumah dan memiliki waktu senggang untuk beristirahat.

10 menit lalu Ana sempat bertanya mengenai masalah kelemahannya. Hingga kini gadis itu senantiasa diganggu oleh rasa takutnya saat dirinya bertemu dengan Liam beberapa hari yang lalu. Bagaimana ia bisa melupakannya dengan mudah ketika ada seorang cowok yang pernah menyentuhnya sesuka hati?

Ya, sesuka hati. Karena Ana mengira bahwa Liam melakukan itu sesuai keinginan hatinya tanpa berpikir lebih dahulu. Meskipun terdengar sepele, namun Ana yang baru pertama kali mendapat perlakuan seperti itu tentunya kaget dan merasa resah sendiri. Hal itu disebabkan dengan dirinya yang sama sekali tidak bisa melawan guna membela diri. Ana merasa bodoh waktu itu.

Dan sekarang, ia tengah mendengarkan balasan adik kelasnya yang berada di dalam panggilan.

"Gue bilang gini karena gue pernah. Terus terang aja gue dipaksa ikut kemauan Ayah dengan iming-iming impian yang masa depannya menjanjikan gue bakal sukses. Tapi gue ngelawan." Di sana Jordan tertawa renyah. Merasa dirinya telah melakukan hal gila saat itu. "Gue gak peduli mau dibilang bandel atau apa. Gue melawan, keluar jalur, menghindari keputusan sepihak itu karena gue gak suka, gue gak mau impian gue pupus karena didahului impian orang."

Jeda sedikit dalam kalimatnya. Sorot pandang Ana tampak kosong, tetapi otaknya sibuk digunakan untuk berpikir.

"Kak Ana juga."

"Kenapa?"

"Kak Ana harus bisa ngelawan. Kalau Kakak gak suka, ungkapin, jangan diem aja, lawan dia sekalipun Kak Ana gak punya kekuatan yang sebanding sama dia. Kalau perlu, cari pertolongan sama orang yang bisa diandalkan."

"Ada satu kesalahan yang gue lakuin. Gue selalu ngelawan dibarengi rasa emosi, dan itu gak bener. Lawan orang ketika kita ngerasa benar, bukan karena rasa emosi, gak peduli sebesar apa rasa emosi itu." Ia menghela napas. "Ngeliat Kak Ana yang selalu ngerasa gak enakan, terlalu baik sama orang, bahkan waktu diperlakuin gak baik kak Ana cuman diem, bikin gue sadar kalau di situ Kak Ana pasti pernah ngerasa emosi. Tapi semuanya Kak Ana pendam dan mikir kalau semua pasti bakal baik-baik aja."

"Itu selalu ngedorong gue buat berusaha kontrol emosi supaya gak meledak tiba-tiba. Sama halnya kayak waktu pertandingan tadi. Gue jatuh karena gue dilawan terlalu banyak sama Bang Liam, sekaligus dibisikkin kata-kata yang semakin mendukung gue untuk kalah. Gue emosi, tapi semua gue pendam. Gue juga gak akan melawan karena rasa emosi, gue harus ngelawan di saat gue merasa benar. Sedangkan di sana gue udah melakukan kesalahan, terlebih waktu perkataan Bang Liam bikin gue sadar akan kesalahan gue sendiri. Gue langsung merasa gak pantas buat ngelawan lagi."

Hello, Jordan! || Yang Jungwon [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang