part 1.

1.3K 110 8
                                    

Dentuman menyentak pendengaran. Membuat orang-orang otomatis berteriak histeris dan berlari tak karuan. Akibatnya, beberapa gerobak tersenggol jungkir berantakan, menyebarkan buah dan sayur yang tak sempat diselamatkan sang penjual.

Di sisi lain, dua kelompok remaja muncul di balik asap tebal, lengkap dengan balok kayu, batu juga petasan di tangan. Mereka berdiri berhadap-hadapan di jarak dua meter sembari saling tatap meremehkan.

Lalu, perwakilan dari masing-masing pihak maju paling depan. Setelahnya memberi kode agar pasukan mulai menyerang.

Kericuhan pun seketika meletus di tengah jalan.

Batu berterbangan, adegan tendang dan jotos menjadi tontonan warga sekitar. Kemacetan juga tak bisa dihindarkan. Para pengendara yang kesal lantas melontarkan umpatan kasar, menekan klakson hingga meraung-raung memekakkan pendengaran.

Di belakang punggung Ibam, cowok berkuncir mengacungkan balok kayu. Namun sebelum berhasil dilayangkan pada Ibam, Agung sudah lebih dulu memberinya tendang.

Cowok tadi tersungkur tepat saat Ibam menoleh. Tak tinggal diam, Ibam menyerbunya sebagai balasan meski belum menjadi korban.

"Mampus lo, Sat!" Umpat Ibam sambil terus mendaratkan bogeman.

Tiba-tiba kerikil seukuran jempol kaki menghantam keras alis Ibam. Ibam terjengkang dengan dua tangan sebagai tumpuan di samping badan. Cairan merah menetes ke celana abu-abu yang dikenakan.

Refleks, Agung menarik mundur Ibam. Dibawanya anak itu ke pinggir trotoar. Lampu penerang jalan menjatuhkan cahaya kekuningan di sekitar hingga darah yang seharusnya berwarna merah cerah terlihat sedikit menghitam.

"Lo nggak pa-pa?" tanya Agung, menatap khawatir Ibam.

Ibam mengusap darah yang mengalir di pelipis menggunakan punggung tangan. Dia memperhatikannya sebentar sebelum disapukan ke permukaan tiang listrik, mengotori beberapa poster yang ditempel rapat di sana.

"Bam?"

Tersenyum tipis, Ibam menepuk pundak Agung. "Fine." Dan bergegas kembali ke tengah aksi.

"Heh ...." Agung berdecak. Kemudian menyusul Ibam. Gerakannya yang lincah menumbangkan satu persatu lawan yang menghadang. Dia berteriak, mengomando anak-anak berjaket denim pudar dengan lambang merah di lengan atas sebelah kanan.

Jumlah keseluruhan para remaja itu sebenarnya hanya dua puluh empat orang. Namun kelakuannya yang bar-bar sanggup mengacaukan kegiatan di swalayan seperti sekarang.

Sekian menit berselang, rintik hujan mulai berjatuhan. Di bawah cahaya lampu, eksistensi air yang turun nampak seperti shower yang seketika membasahi aspal. Kemudian, aparat datang sambil melesatkan tembakan asap ke langit sebagai peringatan. Sirine ribut, juga lampu birunya yang mencolok di tengah kelam membuat sebagian anak lari kocar-kacir tak karuan. Tak terkecuali Ibam, Agung dan tiga cowok lain yang berhasil terciduk dan langsung diamankan.

Mereka ditanyai banyak hal. Namun, tak ada yang diacuhkan. Hingga, polisi yang duduk bersandar menghela napas dalam. Beliau menegak, menumpukan siku di atas meja dan menyangga dagu menggunakan kedua tangan yang saling bertaut.

"Yang oppa-oppa Korea, siapa nama kamu?"

Bocah-bocah itu mengangkat wajah, saling pandang. Agung menyikut lengan Ibam. Berbisik, "Lo kali, yang dimaksud, Bam."

Ibam menunjuk hidungnya sendiri, bingung. Mendapat anggukan Agung, dia lantas berdeham. "Ibrahim Aryaputra."

"Umur?" Polisi mengeluarkan buku dan pulpen dari laci. Bersiap mencatat data.

"17 tahun."

Menggeleng pelan, polisi berdecap lidah. "Entah mau jadi apa bangsa ini jika generasi mudanya kayak kalian." Setelahnya beliau menunjukan ekspresi lelah. Tawuran antar remaja memang sudah menjamur. Tak peduli sesering apa pihak keamanan berpatroli. "Nomer hp orang tua."

Zenith (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang