part 21 b.

232 49 0
                                    

Sebelum Ibam tawuran ...

Acara tahlil masih berlangsung saat hp mama berdering di atas meja dapur. Mama yang ada di bagian depan bersama ibu-ibu tetangga tak mendengarnya. Membuat Tante Lira---adiknya---mengambil alih tugas mama sebagai penerima. Tante menyingkir dari sanak saudara lain, termasuk Eyang Putri. Tempat tujuannya adalah teras belakang yang menghadap jalan paving kompleks selebar tiga meter. Pohon bunga kamboja yang ditanam di pojok halaman nampak bergerak gemulai seiring angin menerpa sekitar. Menggesekkan daun serta rantingnya ke atap seng hingga menimbulkan bunyi.

"Halo," ucap Tante, mengawali.

"Halo. Selamat malam."

"Malam. Maaf, ini dengan bapak siapa?" Saat tak kunjung mendapat sahutan, justru suara ribut anak muda, Tante menurunkan ponsel dan memandang nomor yang tertera. Tak ada nama, tak terdaftar. Kembali menempelkan ke telinga begitu laki-laki diseberang menjawab pertanyaannya.

"Saya dari kepolisian, Ibu. Ingin memberitahukan ... "

"Polisi?" Panik, Tante memotong ucapan polisi sambil membulatkan mata. Kakinya bergerak ke dalam. "Sebentar, Pak. Saya beritahukan pada kakak saya. Ini ponselnya."

"Baik."

Tante berjalan buru-buru sampai hampir tersandung ujung gamis merahnya. Dia menyapukan mata begitu berhenti di dapur, mencari mama Ibam yang belum juga masuk ke dalam. Terlalu khusyuk mengaji.

"Kamu kenapa, Lira?" tanya Eyang putri yang duduk di sofa bersama keempat cucu perempuannya. Mereka masih berusia lima-tujuh tahun.

"Telepon dari kantor polisi, Mah. Buat mbak Sarah."

"Ada masalah apa?" Eyang Putri berdiri. Wajahnya yang keriput langsung digelayuti cemas.

"Em ..." Tante ingat sambungan masih berlangsung. Namun maksud dan tujuan dari panggilan itu sendiri belum dia ketahui. Buru-buru tante menempelkan ponsel ke telinga, bertanya, "Maaf, Pak. Kalau boleh tahu, ada keperluan apa ya, sama kakak saya? Kebetulan kakak saya sedang sibuk."

"Oh, begitu. Baik, Bu ... Siapa?"

"Lira. Adiknya Bu Sarah."

"Bu Lira, saya ingin memberitahukan jika saudara Ibrahim Aryaputra sedang kami tahan karena melakukan tawuran."

Setelahnya mata Tante mengarah penuh ke arah Eyang Putri. Ada sorot segan dan takut. "Ibam di kantor polisi, Mah."

"Astaghfirullah hal adzim." Eyang Putri duduk dengan lunglai. Beliau mengusap dada sambil menggeleng jengah. Tante Lira berbicara pada polisi untuk menunggu lagi. Berjongkok di depan Eyang Putri, menenangkan. Maklum saja, beliau yang sepuh memang tak akan bisa terbiasa dengan kenakalan remaja. Khususnya Ibam yang diketahuinya hobi motor-motoran di jalan. Dan ini bukan kali pertama Eyang Putri mendengar Ibam menciptakan masalah. Namun sampai berurusan dengan polisi, jelas bukan hal yang bisa Eyang putri toleransi. "Panggil Sarah, Lira. Cepetan! Astaghfirullah, gusti. Ibam-Ibam!" lanjut Eyang Putri, menutup wajah. Suaranya naik satu oktaf, membuat Tante lekas beranjak memanggil mama.

Tante merendahkan punggung saat melewati beberapa ibu pengajian di karpet ruang tamu. Memberi kode ke mama agar mengikutinya ke belakang. Mama melempar senyum pada tamu sebelum beranjak mengekori Tante.

"Duluan ya, Ibu. Permisi," kata Mama, hampir berbisik.

Papa di bagian bapak-bapak memerhatikan punggung mama menjauh. Ikut berpamitan dan memilih keluar karena ingin masuk ke area dapur lewat pintu belakang. Sementara di tempatnya, mama mulai dilanda penasaran. Mendapati Eyang Putri menangis dan wajah Tante Lira yang ... Menghakimi.

Zenith (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang