part 24.

199 49 0
                                    

"Berlutut."

Ibam menatap Rio lekat. Mengepalkan kedua tangan di samping badan. Di belakang punggung Rio, antek-anteknya tersenyum menang sambil mengarahkan ponsel ke arah Ibam. Merekam sejak tadi, siap menyebarkan apa yang Ibam lakukan. Dan Ibam tak punya pilihan selain menuruti kemauan Rio. Karena bagaimana pun dia sendiri yang semalam meminta Rio untuk bertemu. Dia sendiri juga yang menyetujui lokasinya---apartemen terbengkalai yang bahkan belum selesai dibangun di sudut kota---tanpa memikirkan resiko. Tanpa memberitahu siapa pun pula. Jadi, sekarang, jika Ibam ingin pulang dengan aman dan bisa lepas dari masalah, dia harus membuang ego sejauh mungkin. Lupakan rasa malu. Abaikan kesal.

Ibam menarik napas dalam. Diembuskan perlahan. Dilakukan secara berulang sampai akhirnya pundak Ibam melemas penuh kepasrahan. Lantas, dia menjatuhkan badan bertumpu lutut. Menolehkan wajah, memandang jaket kebesarannya yang sudah menjadi abu setelah tadi dicampakkan, diinjak, diludahi dan dibakar demi menunjukan keseriusan Ibam yang mengaku kalah sebelum menyerang.

Bang Agung, maafin gue. Gue bener-bener harus ngelakuin ini.

Rio mencondongkan badan, menyunggingkan seringai saat Ibam mendongak mempertemukan pandang. Dia menegak lagi tak lama berselang, memberi kode pada teman-temannya agar maju mengerubungi Ibam.

"Lihat!" Seru Rio, menunjuk Ibam sambil mengedarkan mata ke arah gawai mereka. Berlagak seolah sedang berbicara pada siapa pun yang nanti menonton videonya. "Seorang Ibrahim Aryaputra, pemimpin Alvarez yang terkenal itu bertekuk lutut di hadapan gue minta pengampunan!"

Tenang. Sekuat mungkin Ibam mengunci bibir. Kedua tangan terkepal kuat menahan emosi. Tak boleh terpancing, atau semuanya akan kembali gagal seperti sebelumnya. Ibam harus bertahan. Tekad yang sudah susah payah ditumbuhkan tidak akan Ibam biarkan gugur begitu saja karena mulut sampah Rio.

"Sekarang Alvarez tamat! Nggak ada lagi. So, berhenti elu-elukan mereka, khususnya dia." Jari Rio terulur semakin panjang, hampir menyentuh caping topi hitam yang Ibam kenakan. "Yang enggak lebih dari seorang pecundang. Pecundang yang ...," Rio menjeda. Melanjutkan berupa bisikan, "seharusnya nggak berhak dapat perasaan lo, La."

Seketika Ibam tercengang sampai tak berkedip. Kalimat terakhir yang Rio ucapkan penuh penekanan barusan, membuat Ibam sadar jika cowok itu masih menyimpan dendam pribadi padanya akibat kejadian beberapa tahun silam. Kejadian yang sebenarnya di luar kendali Ibam. Maksudnya, Ibam tak bisa melarang cewek yang Rio sukai untuk tak menaruh rasa terhadap dirinya. Tak bisa juga mengontrol hati seseorang agar tak jatuh cinta. Yang jelas, Ibam sudah menolak cewek tersebut, dan memintanya menjauh. Perkara Rio yang kemudian ditolak, Ibam rasa itu jelas bukan kesalahannya. Dan Ibam berhak marah detik ini juga karena Rio melampiaskan hal itu padanya.

Ibam menarik napas dalam. Diembuskan perlahan. Ingat kata pak Rahman, Bam. Enggak ada yang pantas disalahin buat apa yang terjadi.

Terdengar tawa di sekeliling Ibam. Rio berjongkok menekuk satu kaki ke belakang. Sorot matanya penuh dendam. "Sekarang lo ngomong ke semua orang kalo lo udah bener-bener kalah."

Sejenak, Ibam bergeming. Membalas mata Rio masih dengan raut datar. Tak ayal, itu sukses memantik Rio yang agaknya tak sabar menunggunya berujar sesuai perintah. Cowok itu berdiri, berkacak pinggang. Meludah tepat di depan Ibam. Ibam memejam. Beristigfar, mencoba cara yang pak Rahman lakukan, meski jujur, masih terasa aneh bagi Ibam dan tak memberi efek signifikan---seperti api yang disiram air. Kemudian berkata, "Gue Ibam, pemimpin Alvarez, mengaku kalah atas RXY dan akan membubarkan Alvarez untuk selamanya!"

Rio mendengkus. "Terus?!"

"Rio lebih unggul dari gue. Gue pengecut. Pecundang dan lemah." Ibam melanjutkan tanpa pikir panjang. Menurutnya, itu yang Rio inginkan. Namun Rio justru berdecak kesal. Menarik kerah kaos hitam yang Ibam kenakan hingga berdiri. Rahangnya mengeras.

Zenith (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang