"Gimana?" tanya Ibam, terengah-engah. Setelah berlari dari gedung sebelah, di mana mama dirawat, lalu naik ke lantai tiga menggunakan tangga darurat sebab tak sabar menunggu lift, Ibam sampai di lorong kamar rawat salah satu anggota.
Nandan yang tadi mengabari Ibam menggeleng lemah. "Belum sadar, Bang."
"Udah ngabarin ayahnya?"
"Nomornya enggak aktif."
Ibam menghela napas dalam. Bersandar punggung ke tembok. Lalu mengusap wajah frustrasi. "Apa Rio yang ngelakuin ini?"
"Bukan, Bang. Tapi besar kemungkinan geng dari SMA sebelah. Menurut saksi, Haikal dibuntuti sejak keluar kosan. Bang Doni sama yang lain lagi nyari mereka."
Mengangguk pelan, Ibam melongok kaca kecil di permukaan pintu. Di dalam sana, sang teman terbaring tak berdaya dengan perban membebat kepala. Selang infus dan nasal canula memperjelas keadaanya yang tidak baik-baik saja.
Menyerang dan diserang. Membalas dan dibalas. Mau sampai kapan kayak gini? Tangan Ibam terkepal. Bibirnya bergetar menahan emosi.
"Nan, telpon Doni. Suruh dia balik sekarang."
"Tapi Bang ..." Nanda urung melanjutkan saat Ibam melayangkan tatapan tajam. Dia pun mengangguk dan buru-buru melakukan perintah Ibam.
Ibam mengeluarkan gawai, mengetik sebuah pesan.
Papa
Pa, Ibam mau balik lagi ke pesantren. Tapi sebelum itu, ada yang harus Ibam selesaikan. Jangan khawatir, semuanya aman. Maaf, enggak sempet pamit.•••
"Kali ini gue serius, gue pengen batalin rencana kita nyerang gengnya Rio."
Semua bawahan Ibam diam. Berdiri saling pandang sambil mengedikkan bahu samar. Mereka tak tahu harus menurut pada siapa. Ibam si ketua, atau Doni yang sejak meninggalnya Agung mengambil alih tugas kepemimpinan.
Doni dan Ibam yang sejak tadi berhadapan seolah tak memperdulikan sekitar. Fokus saling tatap dengan sorot tajam. Padahal lokasinya yang berada di pinggir jalan rawan membuat mereka menjadi tontonan, atau parahnya dibawa ke kantor polisi sebab mengganggu kenyamanan orang-orang sekitar.
"Batalin?" tanya Doni, sengit. Menelengkan wajah dan tersenyum miring. "Nggak bisa. Lo nggak akan bisa batalin ini."
Ibam bergeming sambil mengepalkan tangan. Paham betul tabiat Doni yang licik. Itulah kenapa, selama hampir empat tahun berada di satu circle, Ibam sering berselisih paham. Berakhir hampir baku hantam jika saja Agung tak melerai. "Apa yang udah lo lakuin?"
Doni terkekeh sumbang, mengeluarkan gawai dari saku jeans yang dikenakan. Dijamah sebentar, lalu diacungkan tepat di depan Ibam. Ibam mengeratkan kepalan. Rahangnya mengeras seiring deru napas yang memanas.
"Gimana?" tanya Doni, menurunkan tangan. "Pasti seru kalo pesantren liat foto lo lagi minum. Santri munafik?"
•••
Haikal.
Gue udah enggak apa-apa, Bam. Sans.Ibam meletakan gawai di samping badan, memejamkan mata lalu menarik napas dalam. Dari awal, kembali ke sini adalah sebuah kesalahan. Terpengaruh ucapan Doni merupakan kebodohan. Sekarang Ibam menyesal, dan sudah terlambat jika ingin mundur tanpa akibat fatal. Foto yang Doni punya benar-benar menunjukan seolah Ibam sedang menenggak minuman. Bisa dipastikan tak ada yang mempercayai penjelasan Ibam terkait kejadian sebenarnya. Nomor Hasan yang berhasil Doni simpan, Ibam asumsikan hal itu terjadi saat Ibam meninggalkan gawai karena terburu ke rumah sakit.
Dari belakang, Nandan mendekati Ibam yang masih berbaring di rerumputan halaman belakang, berbantalan satu tangan sambil menyilangkan kaki. Tersadar, Ibam membuka mata, melirik Nandan sebelum mendudukkan badan. Diikuti Nanda yang memilih bersila alih-alih memeluk kaki seperti Ibam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zenith (End)
SpiritualHarus masuk pesantren kalau mau dimaafkan! Ibam galau memikirkan syarat gila yang orangtuanya berikan. Dia yang biasa berantem dan berteriak di jalan, mana cocok memakai sarung dan peci? Belum lagi statusnya yang akan berubah menjadi santri. Parahny...