Setelah membubarkan geng, Ibam tidak ke rumah menemui mama yang sudah diperbolehkan pulang, melainkan mendompleng hidup bersama keluarga pak Rahman. Singkatnya, Ibam datang ke warung beliau. Lagi. Berpura-pura iseng, mengobrol sebentar, dan secara ajaib pak Rahman bertanya apa yang sedang terjadi pada Ibam. Ibam awalnya ragu bercerita, mengingat pak Rahman adalah orang asing yang baru beberapa hari ditemuinya. Namun saat dipikir-pikir, tak ada untungnya jika Ibam berkilah. Maksudnya, tidak mungkin tiba-tiba Ibam meminta tumpangan tanpa kejelasan. Jadi, menggadaikan perasaan tak nyamannya, Ibam membeberkan. Tentu saja dengan sensor sana-sini agar tak terlalu panjang dan berakhir drama. Tidak, Ibam tidak suka dikasihani. Ibam tak pernah dikasihani. Juga tak ingin dikasihani. Meski ... Ibam membutuhkannya demi kelangsungan hidup selama bersembunyi.
Gini ya, rasanya nggak punya tempat pulang? Nggak punya uang yang bisa digunain buat beli makan? Ibam menunduk dalam, tak bisa, dan tak mau membayangkan jika mama-papa benar-benar murka lalu mengusirnya. Sekaligus merasa konyol karena pernah yakin Doni akan memberikan kehidupan atas dasar solidaritas pertemanan. Lupa jika darah yang lebih kental dari air pun bisa menguap hilang---seperti kasus orang tua Agung.
"Nak Ibam mau ikut ke gubug Bapak?" tawar Pak Rahman, merangkul Ibam. Langsung mengajaknya menyusuri jalanan malam menggunakan motor metic butut selama lima belas menitan. Lalu beliau mempersilakan Ibam begitu sampai. Disambut hangat oleh istri dan anak kedua pak Rahman yang pernah Ibam temui di warung dan mushala, juga seekor kucing gembul jenis persia warna putih. Bangunan sederhana yang benar-benar sederhana itu menjadi tambah sesak dan ramai karena kedatangan Ibam. Dia tidur di satu kamar bersama Ahmad. Bergabung serta di meja makan seolah menjadi bagian. Pun ikut tertawa di tengah obrolan. Hangat. Mengingatkan Ibam pada keluarganya, meski hanya diisi mama-papa, juga dirinya. Bi Imah juga. Kadang.
Hingga pertanyaan: sedang apa mama-papa? Sudah makan belum mereka? Atau apa yang mama masak untuk mengisi meja? Tak pernah absen mengisi kepala Ibam saat menjelang senja, waktu di mana dia biasa berkumpul lengkap bersama papa. Sungguh, andai rindunya bisa diperumpamakan, mungkin butiran sekarung beras masih kurang jumlah untuk mewakili penyebut-pembilang. Masih terlalu ringan dibanding sesak yang Ibam rasakan meski berusaha dihiraukan. Dan Ibam sadar, semuanya hanya akan bertambah tidak karuan jika terus menunda penyelesaian. Itulah kenapa, setelah dua hari merepotkan pak Rahman, dan lebih dari seminggu Ibam keluar pesantren, Ibam memutuskan pulang ke sana meski sebenarnya belum siap menghadap Hasan. Bisa dipastikan foto itu sudah Doni kirimkan. Kejelian Doni dalam mencari celah untuk menaklukan memang patut diperhitungkan. Alih-alih menyasar papa untuk mengancam, Doni memilih Hasan sebab tahu efek akhirnya bagi Ibam akan lebih besar.
Ibam mengembuskan napas dalam. Gerbang pesantren sudah nampak di depan. Dia memegang erat tali tas hitam di gendongan, melangkah penuh keraguan menjemput konsekuensi yang menghadang.
Menampilkan senyum sebaik mungkin, Ibam berhenti di hadapan Hasan yang sejak tadi menyambut para satri pulang sekolah dengan wajah semringah. Laki-laki itu ikut tersenyum tipis, membiarkan tangannya diraih Ibam untuk dicium layaknya santri yang menghormati pengajar.
"Naik apa?" tanya Hasan.
"Kereta, Bang."
"Oh." Hasan mengangguk samar. Menggendong kedua tangan di belakang. "Ya sudah, kamu mending langsung bersih-bersih, sebentar lagi asar. Baru setelahnya temui Abah di ndalem."
"Iya, Bang."
•••
"Kali ini saya enggak bisa bantu," kata Hasan, masih memandang lurus ke depan sambil menggendong tangan.
Derik jangkrik dari kejauhan mengisi lengang sesaat yang Ibam dan Hasan ciptakan. Lampu teras rumah warga yang ikut memberi penerangan ke jalan membantu tugas bulan yang malam ini tertutup awan sebagian.
"Apa pun keputusan Abah nantinya, saya harap kamu bisa terima dengan lapang dada."
"Meskipun gue nggak minum?"
"Siapa yang bisa jamin kalau kamu benar-benar enggak minum?"
"Lo nggak percaya sama gue?"
Hasan menghela napas. "Rasanya susah untuk percaya, Bam, dan jujur saja saya juga kecewa. Saya kira, alasan kamu sempat enggak mau kembali ke pesantren itu seperti yang saya asumsikan. Ternyata ini."
Ibam berhenti melangkah, memaksa Hasan ikut serta berhenti. Laki-laki itu menatap Ibam yang juga menatapnya. "Kenapa? Mau protes? Nanti saja di depan Abah. Saya enggak punya wewenang."
"Plis, jangan elo, Bang. Gue nggak masalah kalo yang ngomong gitu Bayu, atau siapa pun. Oke, gue akui gue emang sempat enggak mau balik. Tapi bukan karena ini. Serius, Bang, buat kali ini gue nggak bohong. Foto itu 100% kesalahpahaman. Gue kejebak. Mereka yang maksa gue minum."
"Jangan salahin orang lain."
"Gue nggak nyalahin. Maksudnya gue emang mau nyoba karena paksaan mereka. Gue tergoda. Tapi demi Allah, setetes pun gue nggak minum. Lo harus percaya."
"Enggak enak ditungguin Abah."
Setelahnya Hasan berbalik badan, meninggalkan Ibam yang kontan mengembuskan napas sangat dalam. Tentu penjelasannya tak diperlukan. Kentara sekali jika Hasan tak ingin mendengar apa pun yang keluar dari mulut Ibam. Dan harusnya Ibam sadar akan hal itu. Absennya Hasan saat sidang ba'da asar jelas bukan sebab ada urusan, melainkan sengaja membiarkan Ibam menghadapinya sendirian. Atau lebih tepatnya bersama Bayu yang ditunjuk menggantikan Hasan, dan pada kenyataanya justru memojokkan Ibam. Laki-laki itu duduk di samping kiai Usman di sofa seberang sore tadi, menatap Ibam dengan sorot mata yang seolah berkata, "Kamu enggak pantas dimaafkan. Kelakuan kamu sudah di luar batasan. Lagipula, mana janji kamu untuk setoran juz 30 selama sebulan? Hal itu saja kamu sudah lalai, jadi, memang seharusnya kamu dikeluarkan!" Hingga membuat Ibam merasa benar-benar tak memiliki kesempatan.
Lalu kiai Usman pun berkata, meminta Ibam menjawab sejujur-jujurnya mengenai foto yang menampilkan dirinya sedang menenggak minuman. Tentu Ibam menceritakan kebenarannya dengan gamblang. Tak ada yang ditutupi, atau ditambah-kurangi. Semuanya apa adanya.
"Maaf sebelumnya, Ibrahim, tapi menurut saya kamu terdengar mengada-ada." Tak diminta, Bayu menyumbang suara. "Jelas-jelas di foto itu kamu melakukannya."
Ingin rasanya Ibam membentak Bayu untuk tak usah ikut campur. Namun jangankan meninggikan nada, membuang napas saja dirinya tak bisa leluasa. Ibam pun menyahut sepelan yang dibisa, "tapi kan itu cuma gambar. Nggak seharusnya ditelan gitu aja, atau dijadiin patokan sama apa yang terjadi selanjutnya."
"Terus kita harus mengangguk saja denger pengakuan kamu yang belum tentu fakta?"
"Bukan gitu, tapi ...." Ibam kembali menjelaskan. Mengulang kosakata yang sama sampai rasa-rasanya sudah hafal di luar kepala. Dan dengan bodohnya, dia melakukannya lagi, untuk ke sekian dalam hari ini, berharap Hasan akan mengerti lalu membelanya.
Next ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Zenith (End)
SpiritualHarus masuk pesantren kalau mau dimaafkan! Ibam galau memikirkan syarat gila yang orangtuanya berikan. Dia yang biasa berantem dan berteriak di jalan, mana cocok memakai sarung dan peci? Belum lagi statusnya yang akan berubah menjadi santri. Parahny...