Papa menepuk pelan pundak Ibam. Ibam yang sejak tadi bungkam dan menundukkan wajah lantas mengangkat pandang.
"Sebentar lagi asar. Salat dulu sama Papa di mushala rumah sakit."
Ibam bangkit dan mengekor papa sampai ke mushala. Sesudah melaksanakan kewajiban, pasangan anak dan ayah itu memilih tetap tinggal di sana. Mereka duduk bersila, sama-sama larut dalam kemelut pikiran masing-masing.
Lalu, Ibam bersuara lirih, "Ibam enggak mau balik ke pondok."
Papa menghela napas dalam. Tak bisa memberi tanggapan. Di satu sisi, papa tak keberatan jika Ibam memang ingin pulang. Karena bagaimanapun, kehadiran Ibam di rumah adalah nyawa untuk keluarganya. Tanpa Ibam, kehidupan terasa hambar. Alhasil, itensitas komunikasi antara papa dan mama menjadi berkurang sebab tidak ada topik yang bisa dibahas. Namun di sini lain, papa juga sadar betul akan apa yang terbaik bagi Ibam. Jadi, papa pun membelokan arah obrolan, "mau ke ruang rawat Mama? Mama pasti seneng lihat kamu."
"Enggak."
"Kenapa?"
"Ibam enggak mau Mama sedih karena lihat penampilan Ibam kaya gini."
"Tapi besok atau lusa, Mama pasti lihat juga."
"Buat hari ini, jangan dulu kasih tahu Mama. Biar nanti Ibam tidur di mushala, Papa temani Mama."
Papa menoleh ke arah Ibam di sampingnya. Anak itu sedang menekuri pola sajadah. Wajahnya nampak sangat murung.
"Ke rumah. Jangan di mushala."
"Enggak mau."
"Kalau gitu pesan hotel."
"Enggak."
"Bam ..."
"Pa." Ibam menatap mata papa. "Plis. Dengerin Ibam."
Papa bergeming. Dadanya terasa nyeri mendengar Ibam memohon. Suaranya yang lemah menunjukan bahwa dia sudah benar-benar lelah. Pelan, papa menghela. "Oke. Tapi kamu harus makan dulu. Di depan ada restoran seafood. Kita ke sana."
Setelah membantu Ibam berdiri, papa menuntun Ibam menuju tempat yang dimaksudkan. Beliau mengambil duduk di dekat jendela agar bisa mengawasi area parkir rumah sakit. Adik-adik mama akan berkunjung lagi. Dan bukan hal bagus jika hal itu terjadi di saat mama sedang ditinggal sendiri. Papa memesan semua menu kesukaan Ibam hingga mejanya sesak oleh hidangan. Dari mulai udang, kerang, ikan bakar, kepiting sampai cumi-cumi tersedia untuk Ibam nikmati sesuka hati.
Sejenak Ibam dibuat tak bisa berkata-kata. Tinggal di pesantren sudah mengajarinya makan dengan kadar sederhana, bukan menuruti napsu dan melahap apa saja. Papa juga pernah meminta Ibam agar mengikuti konsep itu. Jadi, kenapa sekarang beliau tak menerapkannya?
"Kamu kurusan," jawab papa saat Ibam bertanya.
"Satu kali masuk, Ibam enggak bisa langsung gemuk. Lagian, ini tuh banyak banget. Papa sama Ibam enggak bakal sanggup ngabisinnya. Mubadzir, kata Bang Hasan."
Bibir papa tak bisa ditahan untuk tidak tersenyum. Mengingat bagaimana Ibam yang beberapa hari lalu masih merengek masalah makanan, dan mendengar ucapannya tadi, papa merasa bangga sekaligus geli. Ternyata, anak laki-lakinya yang manja sudah banyak belajar.
"Terus harus bagaimana? Sudah terlanjur dipesan."
"Sebagian langsung dibungkus. Kasih ke orang yang butuh. Biasanya ada ibu-ibu yang suka nyari botol bekas."
Lantas papa memanggil pelayan, dan melakukan saran Ibam. Selesai makan, Papa memberi bungkusan makanan beserta tambahan uang pada beberapa orang yang membutuhkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zenith (End)
SpiritualHarus masuk pesantren kalau mau dimaafkan! Ibam galau memikirkan syarat gila yang orangtuanya berikan. Dia yang biasa berantem dan berteriak di jalan, mana cocok memakai sarung dan peci? Belum lagi statusnya yang akan berubah menjadi santri. Parahny...