Tiga bulan lalu ...
Ibam duduk di kamar sendirian. Menatap kertas berisi tafsiran yang Bayu berikan. Sudah dari semalam dia menimang, dan hasilnya masih berupa keruwetan. Ibam tak ingin membohongi kiai Usman, tetapi tak ingin juga dipulangkan. Tidak setelah dia merasa nyaman. Tidak setelah semua hal yang dilakukan untuk bertahan. Juga, tidak setelah memiliki teman.
Ibam menghela napas penuh beban, berat dan panjang. Melipat kertas, dimasukan ke saku koko abu-abu lengan pendeknya sebelum bangkit dari pinggir dipan, meraih kopiah hitam di atas nakas lalu dikenakan. Bertepatan dengan kedatangan Hasan. Laki-laki itu mengetuk pintu kamar meski sudah terbuka lebar, mengucap salam. Menarik perhatian Ibam.
"Sudah siap?" tanya Hasan, memindai penampilan Ibam.
"Sudah, Gus."
Hasan mengernyit. Menghampiri Ibam. "Kok tumben pakai Gus? Padahal enggak apa-apa kalau manggilnya tetap Bang Hasan."
Ibam tersenyum tipis. "Pengen aja. Sekali-kali biar sama kayak santri lain."
"Kenapa sekali-kali? Setiap hari juga bisa, Bam. Kan, kamu santri di sini."
"Iya, Gus."
Hasan mengajak Ibam keluar, berjalan beriringan tanpa pembicaraan. Membaur bersama para santri yang hilir mudik di selasar.
Diam-diam Ibam mengedarkan pandang untuk sebab yang tak ingin Ibam perjelas---jika mungkin refleks dari kesadaran diri yang berusaha merekam memori sebelum pergi. Suasana pesantren sore ini terasa lebih mendamaikan---karena Ibam dinikmatinya seolah esok tak bisa melihatnya lagi. Sejuk semilir angin yang menyapa badan menggiring serta aroma tanah gersang. Tak ketinggalan suara murothal dari beberapa santri yang duduk menyebar ikut memanjakan pendengaran. Merdu dan penuh penghayatan hingga sanggup menggetarkan perasaan. Khusunya bagi Ibam.
Sungguh, dia ingin bisa seperti itu. Benar-benar ingin. Namun pertanyaan retorik muncul di benak. Apa dirinya pantas memiliki keinginan tersebut jika tetap bertahan dengan cara membohongi kiai Usman? Atau bisakah Ibam mencapai keinginannya di tempat yang berbeda? Tanpa Hasan. Tanpa Aris yang sudah memberikan motivasi?
Ibam menundukkan wajah, menghitung langkah demi langkah. Berharap jalanan tanah yang dilewati mendadak memanjang puluhan kali. Atau setidaknya cukup memberi waktu untuk Ibam berpikir lagi.
"Jangan grogi, Bam," kata Hasan, menepuk pundak Ibam pelan. Dibalas Ibam menggunakan gumaman dan sedikit senyuman. Tak berniat menjelaskan apa pun pada Hasan. Biarkan laki-laki itu mengira jika Ibam sedang gusar sebab akan membacakan tafsir surat al-Hud ayat 112 di depan kiai Usman.
Berselang, Ibam dan Hasan sampai ke tujuan. Hasan mempersilakan Ibam masuk lebih dulu setelah orang-orang di dalam menjawab salamnya. Ibam bergerak ragu melewati kosen pintu. Bergeming sejenak saat mendapati enam orang guru yang agaknya tengah menantinya sejak tadi. Mereka memperhatikan Ibam. Tiga orang duduk bersama kiai Usman di sofa---membelakangi jendela, sementara tiga lainnya, termasuk Bayu, mendapat tambahan kursi. Sengaja menyisakan sofa yang berseberangan dengan kiai Usman untuk Ibam tempati.
Mengembuskan napas dalam, Ibam bergerak lagi. Sedikit membungkuk saat melewati Bayu juga dua pengurus lain sebelum menempatkan diri. Tak lama Hasan ikut mensejajari. Sempat melempar senyum serta anggukan yakin yang justru membuat Ibam semakin dilanda bimbang.
Sekilas Ibam mengoper pandang ke arah Bayu. Laki-laki itu balas menatapnya, tetapi tak memberikan reaksi apa-apa. Kemudian Ibam kembali menghadap depan, mengembuskan napas dalam untuk ke sekian. Tangannya mendingin. Jantung berdebar tidak karuan.
"Mau dimulai sekarang?" tanya kiai Usman, ramah. Tersenyum penuh harap.
Jika bisa, Ibam ingin menggeleng. Bukan mengangguk gamang seperti yang baru saja dilakukan. Lalu menarik kertas di saku koko bagian kanan, dan diserahkan kepada kiai Usman untuk dilihat lebih dulu. Tentu kertas itu bukan kertas dari Bayu, melainkan kertas milik Ibam yang berisi penggalan ayat lengkap dengan harakat. Nampak senyum bangga terbit di bibir kiai Usman. Beliau Mengembalikan kertas ke Ibam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zenith (End)
SpiritualHarus masuk pesantren kalau mau dimaafkan! Ibam galau memikirkan syarat gila yang orangtuanya berikan. Dia yang biasa berantem dan berteriak di jalan, mana cocok memakai sarung dan peci? Belum lagi statusnya yang akan berubah menjadi santri. Parahny...