bab 13.

276 50 0
                                    

Ibam sampai lebih dulu di lokasi yang ditentukan. Dia memarkirkan motor di pinggir jalan, menunggu Bayu beserta rombongan di trotoar. Sejauh mata memandang, hilir mudik pejalan kaki dan kendaraan mengisi setiap jengkal. Tak ada hal istimewa, kecuali sebagian kecil tokoh di jalan yang nampak menghampiri kerumunan sambil membawa gelas plastik bermodal suara.

Sejenak, fokus Ibam tersedot sepenuhnya. Mengamati gerak tubuh ringkih mereka yang dibalut busana seadanya. Bahkan, salah satunya tak memakai alas kaki. Melangkah gagah menyusuri aspal terpanggang matahari bersama senyum terpatri.

Tangan Ibam merogoh saku jeans, mencari lembaran rupiah yang sayangnya tak tertinggal di sana. Lantas dia menoleh ke arah Aris. Anak itu sedang mengipasi wajah menggunakan kopiah, mencari sesuatu dengan matanya yang bergerak lincah.

"Ris," panggil Ibam, melambaikan tangan. Aris mendekat sambil memakai lagi kopiah identitas sebagai santri. "Lo bawa duit, nggak?"

"Enggak, Bang. Buat apa?"

Mendesah kecewa, Ibam menggelengkan kepala. Kembali memusatkan perhatian pada bocah-bocah malang itu. Andai kartu ATM-nya tak disita papa, sudah pasti sekarang Ibam bergegas menarik isinya. Uang saku yang dititipkan pada Hasan tak bisa leluasa Ibam minta. Alasannya, sebab Ibam pernah menghabiskan jatah yang diberi untuk seminggu dalam dua hari.

Lalu tepukan di pundak memaksa Ibam mengalihkan atensi. Aris menunjuk ke arah Bayu yang entah sejak kapan sampai. Laki-laki itu sedang membuka bagasi.

"Ke sana yuk, Bang."

Aris melangkah pergi. Dengan langkah malas, Ibam mengikuti. Lalu sengaja mengambil jarak dari Bayu.

Bayu memberi instruksi, meminta para santri, termasuk Aris untuk mengumpulkan anak jalanan di sekitar ke tempat ini. Tanpa menunggu lama, semuanya berpencar, kecuali Ibam yang memilih bersedekap sambil bersandar di samping mobil, menjaga makanan. Satu persatu pengamen, pengemis dan anak punk bertindik hidung dan anting besar berdatangan. Ibam seketika menegakan badan.

Kemudian, Bayu mengondusifkan keadaan. Meminta mereka menuliskan nama di kertas yang disediakan secara bergantian. Dan, begitu selesai, semuanya duduk lesehan di atas rumput, mendengarkan Bayu mengucapkan sambutan yang sebenarnya tidak diperlukan.

Ibam menelisik wajah-wajah itu, mencari bocah pengamen tadi di antara puluhan anak. Dia tersenyum tipis saat menemukan ketiganya duduk berdampingan di paling belakang, menghadap ke depan penuh keseriusan.

"Enggak enak, bukan enggak bisa dimakan. Bersyukur, Bam. Di luar sana masih banyak orang yang nggak bisa makan."

Tiba-tiba ucapan papa tempo hari terngiang dan berhasil melunturkan garis lengkung di bibir Ibam. Fakta jika dirinya yang suka memilih, bahkan tak segan membuang makanan membuatnya malu.

"Baik. Di sini ada yang bisa baca surah al-ikhlas?" Suara Bayu kembali mengudara. Laki-laki itu tersenyum, mengangkat satu boks makanan. "Nanti saya kasih. Gimana?"

Nampak anak-anak itu saling pandang, kentara sekali jika pertanyaan Bayu barusan tak seharusnya dilontarkan. Ibam tersadar dan lekas menegur Bayu. Bayu menaikkan alis, menantang Ibam. "Memang ada yang salah dari pertanyaan saya?"

"Bukan salah, tapi nggak sesuai sikon."

"Terus, menurut kamu yang sesuai bagaimana?"

Mendesah panjang, Ibam memilih beranjak. Terserah Bayu saja. Ibam tak mau terlibat. Pikiran laki-laki itu dan pikirannya memang tak pernah bisa sejalan. Akan percuma jika Ibam menjelaskan. Namun, wajah pasi salah satu bocah berhasil mengurungkan niat Ibam.

"Bay," panggil Ibam, pelan. Bayu melirik sebentar sebelum kembali sibuk dengan kegiatan. "Bayu!" ulangnya, masih sabar. Namun sebab tak diacuhkan, Ibam menggeram, menghampiri dan merebut boks makanan di tangan Bayu kasar. "Mau sampai kapan lo ngoceh nggak guna, hah?! Niat nggak si mau ngasih makanan?"

Zenith (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang