Rasanya dejavu saat melihat Ibam lagi-lagi menunggu vonis setelah disidang. Anak itu duduk di depannya sambil menundukkan wajah, seolah beban berat tengah menggelayuti lehernya. Mata yang biasanya berapi-api malam ini benar-benar nampak putus asa.
Andai boleh jujur, Hasan jengah menghadapi Ibam. Ingin lepas tangan saja dari tanggungjawabnya membimbing Ibam seperti yang pak Danu inginkan. Entah apa yang akan dirinya katakan jika Abah mengambil keputusan untuk memulangkan Ibam. Jelas, Hasan sudah gagal. Dan kali ini dia tak bisa membela Ibam kendati sangat ingin memasang badan. Atau setidaknya membangun lagi keyakinan bahwa setiap orang berhak diberi kesempatan kedua, tak peduli apa pun kesalahannya.
"Bang?" panggil Ibam, menyudahi sepi yang menyita ruang.
"Iya?"
"Lo udah kasih tau mama-papa?"
"Itu tugas kamu."
Ibam mengangguk. "Oke."
"Sebelum ke sini, kamu enggak pulang dulu ke rumah emangnya?"
"Enggak berani ketemu Mama."
"Di rumah sakit?"
"Enggak."
Sejenak, Hasan dibuat mengerutkan dahi. Setahunya, Ibam sangat merindukan sang mama. Hasan buru-buru menormalkan ekspresi. Dia tak punya hak bertanya hal pribadi. "Selama di Jakarta kamu nginep di mana?"
"Di rumah temen."
"Anak yang mengirim foto ke saya?"
"Iya."
"Apa terjadi sesuatu sampai dia menghianati kamu?"
"Ceritanya panjang. Enggak penting.
"Padahal saya penasaran."
Ibam tersenyum. Tipis sekali. Namun tak urung Hasan ikut tersenyum juga.
"Boleh gue nanya?"
"Tanya apa?"
"Gue baca salah satu hadist di internet, lupa detilnya gimana. Tapi yang jelas hadis tersebut menjelaskan kalo orang yang minum minuman keras itu salatnya nggak diterima."
"Bener. Salah satu hadist riwayat An-nasai. Ibnu Umar r.a berkata, 'siapa yang meminum khamar meski tidak sampai mabuk, tidak diterima salatnya selagi masih ada sisa di mulut, atau tenggorokannya. Apabila dia mati maka dia mati dalam keadaan kafir.' Kenapa memangnya? Kamu mau ngaku kalau kamu minum?"
"Bukan. Ya Allah, Bang, gue beneran nggak minum." Tekan Ibam.
"Terus?"
Mengembuskan napas, dia melanjutkan, "Gue kenal seorang temen. Dia meninggal beberapa hari setelah minum khamar. Tapi sebelum meninggal, dia udah punya niatan untuk berubah. Gue juga pernah denger cerita pecandu minuman keras yang lagi belajar hijrah. Dia belum bisa berhenti sepenuhnya, tapi tetep berusaha. Terus ada tokoh agama yang negur dia menggunakan hadist tersebut. Karena ngerasa usahanya sia-sia, dia jadi balik lagi kaya dulu. Pertanyaannya, apa iya Tuhan setega itu? Apa iya Tuhan hanya buat orang-orang baik aja sampai mereka enggak diberi akses untuk mendekat pada Rabb-Nya?"
"Pentingnya belajar agama secara utuh adalah untuk menghindari gagal paham. Dan cerita yang kamu dengar itu, contoh nyata. Ibaratnya kayak seorang pasien yang langsung kabur setelah divonis mengidap penyakit mematikan tanpa mendengar penjelasan. Dia langsung berputus asa karena tahu umurnya enggak lama, tapi enggak tahu ada ikhtiar pengobatan yang bisa membantunya sembuh. Fokusnya hanya di kata 'mati' saja. Padahal, hidup-mati manusia adalah rahasia, dan terjadi atas kehendak-Nya. Dokter sebatas memperkirakan berdasarkan gejala.
Sama seperti diterima atau ditolaknya ibadah yang merupakan hak mutlak Allah. Manusia hanya punya indikasi dengan mengikuti cara Rasulullah. Dan, kenapa hadist di atas dianggap sebagai vonis mematikan bagi sebagian orang, ya, karena mereka enggak paham maksud apa yang tersirat di dalamnya. Ancaman tak diterima salat, bahkan dianggap kafir bukan semata-mata untuk menghakimi, atau menghentikan langkah tobat. Melainkan menunjukan konsekuensi agar seorang hamba tak melampaui batas yang ditetapkan. Jika seseorang sudah sadar dan ingin kembali, masa lalunya menjadi urusan Allah. Dalam firman-Nya, Allah berkata, 'Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dia-lah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.' (Q.S Az-zumar: 53). Maka akan jadi kontradiktif jika orang yang mau bertobat justru merasa ditolak, bukan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Zenith (End)
SpiritualHarus masuk pesantren kalau mau dimaafkan! Ibam galau memikirkan syarat gila yang orangtuanya berikan. Dia yang biasa berantem dan berteriak di jalan, mana cocok memakai sarung dan peci? Belum lagi statusnya yang akan berubah menjadi santri. Parahny...