part 19

235 48 0
                                    

Gelak tawa mengudara. Lelucon yang sempat Doni buat sukses meramaikan suasana. Namun berbeda dengan mereka, Ibam justru duduk bersila sambil termenung kendati tak jarang pundaknya ditepuk agar ikut bersuka cita. Dia lantas mundur agak jauh. Menyandarkan punggung ke pinggiran sofa, menekuk saku kaki. Mengeluarkan gawai dari saku jeans hitamnya, sejenak Ibam bergeming menatap layar, ragu menggerakkan jempol untuk menekan panggil pada nomor telepon mama.

Tiba-tiba Doni berseru, memaksa Ibam mengalihkan mata dan menyimpan lagi benda pipihnya ke tempat semula. Doni menyeringai lebar, membopong lima botol hijau minuman yang entah sejak kapan, atau dari mana dia dapatkan. Para rekan lain bersorak girang, menerima satu persatu wadah cairan haram itu hingga rebutan.

Doni masih membawa dua di tangan, menempatkan diri di samping Ibam. Ibam diam memerhatikan saat Doni berusaha membuka tutupnya menggunakan alat yang dioper lewat Nandan di seberang.

"Nih," kata Doni, menggeser salah satunya di depan Ibam.

"Gue nggak minum."

Doni berdecak. "Ayolah, Bam. Kita tuh lagi ngerayain comeback-nya elo. Masa lo nggak mau ikutan si."

"Doni," pelan Ibam berujar. "Lo tau kan, kenapa selama ini gue bahkan nggak ngerokok? Lebih tepatnya nggak bisa?"

"Iya. Makanya yang gue beli itu bir, bukan wiski."

"Sama-sama alkohol."

"Iya, tapi kan alkohol di bir cuma empat sampai enam persen, sementara wiski rata-rata empat puluh persen. Ayolah, Bam. Enggak bakal kenapa-napa juga. Seteguk aja deh, kalau lo takut."

Sejenak Ibam menimang. Doni tidak akan berhenti selagi Ibam terus-terusan menghindar. Lagipula, Ibam tidak akan pernah tahu jika tak mencobanya, kan? Ibam mengangkat botol di depan bibir. Menimang lagi. Dari jarak sedekat itu, Ibam bisa mencium aroma tajam yang menguar dari dalam. Hingga tanpa sadar dia sudah mengernyit, dan buru-buru memalingkan wajah saat perutnya terasa mual.

Ibam menggeleng, meletakan botol ke tempat semula.

"Gue ke luar dulu," pamit Ibam, bangkit. Tak acuh dengan Doni beserta teman-temannya yang mengintrupsi.

Ibam duduk di kursi besi taman sendirian, berjarak dengan pavilliun sekitar enam meteran. Dia bersandar punggung, menengadah ke atas sambil terpejam. Topi hitam yang beberapa hari belum pernah ditanggalkan di muka umum sedikit dimajukan hingga menutup wajahnya sebagian. Ibam tak tahu apa yang sudah Doni katakan pada anak-anak terkait penampilan botaknya, tetapi sampai detik ini belum ada yang menyinggung, apalagi bertanya langsung. Dan untuk itu Ibam merasa bersyukur. Artinya eksistensi dan privasinya dihargai.

Sayup rendah suara serak menelusup telinga. Beradu sempurna bersama desau angin malam menampar daun. Ibam menegakan badan, menyapu sekitar. Lampu tiang berbentuk seperti bola berdiri tegak di setiap sudut dan sepanjang jalan batu pipih menuju rumah utama---bangunan megah yang selalu sepi sebab sang pemilik enggan pulang sekadar menjenguk Doni.

Ibam menyipitkan mata, menyingkirkan daun tanaman bunga yang terletak tepat di samping, menyamarkan keberadaannya. Di dekat sana, Nandan sedang menyandarkan sebelah pundak pada pohon tatebuya. Memunggungi Ibam, asyik berbicara dengan seseorang di seberang telepon. Terlihat dari gestur tangan, agaknya anak itu sedang gusar. Bahkan tak jarang kepalanya ditundukan, mengangguk-angguk lalu menyugar rambut kasar. Dan meski diserang penasaran, Ibam enggan beranjak untuk mencuri dengar. Dia memilih tetap di tempat, kembali meluruskan pandang. Kemudian bersedekap guna menghangatkan badan. Kaos hitam lengan pendeknya terlalu tipis untuk menghalau dingin akibat akan turun hujan.

"Gue nggak bisa keluar!"

Tak terduga, suara Nandan semakin keras. Mengusik Ibam, memaksanya menoleh dan memerhatikan.

"Iya, gue tahu, Sil, tapi apa kata anak-anak nanti!"

"Bukan!" Nandan mendesah, berubah menjadi bersandar punggung pada batang. Satu kakinya ditekuk ke belakang. "Gue juga pengen keluar, Sil. Gue pengen banget keluar dari geng."

Ibam berjengkit. Tak menduga jika Nandan yang selama ini paling semangat setelah Doni mempunyai niat untuk hengkang. Kali ini dia memasang telinga sebaik mungkin, siap mendengarkan.

"Gue udah bilang, gue nggak bisa. Bukan nggak mau, Sisil!" Nandan membentak. Setelahnya memejamkan mata, mengembuskan napas dan meminta maaf. Anak itu diam, mungkin sedang mendengarkan. Hingga dua menit berselang, akuannya di luar prediksi Ibam. "Gue emang pengecut, Sil. Gue nggak berani ngomongin masalah ini sama Bang Ibam. Dia cukup berpengaruh. Gue khawatir lo yang nanti jadi sasaran mereka."

Terjadi jeda agak lama sebelum Nanda mengakhiri panggilan dan masuk lagi ke dalam.

•••

Berisik mesin motor yang sedang direparasi tak mengusik Ibam. Fokusnya pada gawai di tangan membuat dia seolah kehilangan ruh dalam raga, menjelma menjadi patung di bangku kayu panjang tanpa sandaran di depan bengkel miliki orang tua salah satu anggota.

Meski sudah setengah jam berlalu, Ibam masih belum bisa mengenyahkan ragu. Keinginan kuat menghubungi mama kalah dengan bayangan penolakan yang mungkin akan diterima. Ibam tak siap sakit hati lagi, apalagi mengetahui fakta bahwa mereka belum sedikitpun mau memaafkannya. Padahal sampai sekarang, Ibam benar-benar tak tahu letak fatal kenakalannya waktu itu. Masuk polisi karena tawuran bukan sekali dua kali terjadi, dan biasanya mama-papa hanya mampu marah selama satu hari. Jika pun peringatan kepergian eyang Kakung menjadi alasan, tak seharusnya mama, terlebih papa menghukumnya seperti ini. Cukup meminta Ibam datang berkunjung untuk meminta maaf, bermain bersama ketiga ponakan perempuannya lalu selesai permasalahan. Kemudian soal tante juga eyang Putri yang suka memojokkan, Ibam rasa tak perlu mama-papa jadikan beban hingga mengesampingkan perasaan Ibam.

Perlahan, Ibam mengusap wajah menggunakan satu tangan. Menegakan punggung, bersandar pada tembok bangunan bercat putih kusam. Dia menggeser layar, masuk ke galeri untuk sekadar melihat foto keluarga. Di salah satunya, Ibam nampak tersenyum lebar diapit mama-papa yang menggandeng masing-masih lengannya. Mengenakan baju serba putih sebab diambil saat moment hari raya. Bergeser pada foto selanjutnya, foto mama yang Ibam jepret secara candid di taman belakang rumah.

Mam, kangen masa. Ibam menarik senyum, bertepatan dengan kedatangan Doni dari belakang.

"Bam," panggilnya, menepuk pundak Ibam. Buru-buru Ibam meletakan gawai di samping badan dengan posisi terbalik sebelum menoleh. "Berhubung motor lo di rumah dan nggak mungkin diambil, lo pakai motor lama gue, nggak papa? Agak bermasalah, si, tapi bisalah diperbaiki."

"Nggak papa."

"Oke ..." Alis Doni bertaut. Dia menjenguk mata Ibam. "Kenapa lo? Ada masalah? Dari kemarin gue perhatiin kayaknya enggak semangat banget."

"Ck, apaan, si." Ibam membuang wajah, risi. Memaksa Doni memperbaiki posisi berdiri.

"Ya, enggak. Cuma nanya doang, kok. Lagian gue nggak mau nawarin diri sebagai pendengar kalau seandainya lo butuh cerita."

"Taik, lo!"

Renyah, Doni tertawa. "Lo beneran persis sama apa yang bang Agung ceritain."

"Emang dia cerita apa?"

"Nggak. Bukan apa-apa."

Ibam mendengkus, menghentak bangkit. Hendak pergi sebelum dering gawainya mengintrupsi. Dia meraih benda itu, dilihat sebentar sang penelepon dan segera menjauh mencari ruang privasi.

"Halo," kata Ibam begitu sampai di depan warung kosong dekat bengkel. Berteduh di terasnya sambil memerhatikan jalanan kosong di hadapan. Amukan terik pukul 12.00 siang terasa membakar badan Ibam.

"Halo, Den Ibam. Ini bi Imah."

"Iya, Bi. Kenapa?"

"Em ... Anu. Duh, gimana ya, ngomongnya. Takut dimarahin Bapak sebenarnya bibi, teh."

Alis Ibam bertaut. "Apaan, si? Jangan bikin penasaran, deh."

"Itu ... Mamanya Den Ibam masuk rumah sakit. Udah beberapa hari dirawat."

Tbc ...

Zenith (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang