part 17 b.

230 46 8
                                    

"Itu contoh nyata jika kalian bersikap seenaknya. Enggak punya sopan santun." Bayu berkata demikian sambil menunjuk punggung Ibam yang sedang duduk anteng di undakan depan mushala. Kedua santri di sebelah Bayu menganggukkan kepala. "Inget, ya, apa pun jabatan kalian nanti, guru tetaplah orang yang wajib kalian hormati."

Ibam mendengar, tentu saja. Namun alih-alih menoleh, dia memilih menulikan telinga. Baginya sekarang, menghafal surat-surat pendek untuk disetorkan jauh lebih penting dari sekadar beradu mulut. Ibam ingin segera menyelesaikan hukuman itu agar lega, dan bisa bebas menikmati waktu istirahatnya tanpa beban.

"Ibrahim moal dikeluarkeun?"

"Enggak. Kiai Usman nggak enak sama orangtuanya Ibrahim."

"Oh, jalur dalam berarti ya, Ustaz."

"Iya. Lagipula kalau dipikir-pikir kasihan juga sama orangtuanya yang pasti stres punya anak seperti Ibrahim."

Bayu tertawa, suaranya sukses membuat Ibam mendengkus keras. Dia lantas memilih bangkit, pergi dari sana demi menjaga emosinya. Dan tempat yang paling cocok adalah saung di belakang pondok. Selain jauh dari kebisingan, sejuknya udara di sana juga bisa menenangkan isi kepala.

Ibam duduk bersandar punggung di tiang bambu penyangga atap. Sisi-sisinya yang terbuka membuat angin menyapa kulit putih Ibam dengan sempurna. Dalam, Ibam menarik napas. Diembuskan perlahan sampai dadanya kembali merasa lega. Lantas dia melepas kopiah, diletakan di samping badan sebelum menekuk lutut guna mengalasi juz ama. Cukup lama Ibam menekuri ayat demi ayat yang tertera, menyedot fokus sepenuhnya. Namun tak lama, kantuk perlahan menyerang mata hingga mulutnya menguap seketika. Ibam menutup juz ama, memilih terpejam sejenak tanpa merubah posisi semula.

Lalu entah di menit ke berapa, seseorang menggoncang bahunya. Ibam mengerjap, mengumpulkan nyawa dan memperbaiki duduk. Dia menatap Aris sambil merem-melek pun menggaruk pipi yang gatal akibat menjadi santapan nyamuk.

"Ada apa?" tanya Ibam, menguap kecil.

"Em ..." Aris membasahi bibir berkali-kali. Tangan bergerak resah di depan badan. "Anu ... Itu, Bang. Temen-temennya Bang Ibam buat rusuh di depan gerbang."

•••

"Kamu enggak bohong?" Kiai Usman masih meragukan. Raut serius wajahnya menghapus garis senyum ramah yang biasa tersemat saat menyambut Ibam.

Ibam mengembuskan napas dalam. Terus menjelaskan hal serupa berulang kali cukup menyebalkan. Padahal sejak awal Ibam sudah bilang jika gerombolan geng motor yang mondar-mandi hingga menciptakan suasana ribut bukan teman-temanya. Melainkan musuh yang sengaja ingin menarik Ibam keluar dari pesantren. Namun sama seperti sebelum-sebelumnya, para santri dan beberapa pengurus tak mau percaya. Terlebih Bayu yang juga ada di sana. Laki-laki itu lagi-lagi memojokkan Ibam, menyalahkannya atas apa yang terjadi. Alhasil, tatapan menghakimi kembali Ibam dapati. Mengingatkan Ibam saat dirinya menjadi korban bully, dan membuatnya terserang panik.

Untung saja, ketika Ibam sibuk mengatur napas, Hasan datang dan langsung mengkondisikan keadaan. Berbicara pada para begundal di depan gerbang sebelum menghampiri Ibam. Memanggil namanya, menarik sadar yang mulai melayang tak karuan.

Hasan meminta Ibam menemui mereka sebentar, khawatir akan timbul keributan jika diabaikan. Ibam paham. Lekas mengayun langkah menghadap Rio, cowok berambut cepak dan bertindik bibir.

"Mau lo apa?" tanya Ibam.

Rio melongok ke belakang pundak Ibam, menatap satu persatu orang di dalam lalu tersenyum miring ke arah Ibam. "Lo selama ini sembunyi di sini?"

"Nggak usah basa-basi. Gue nggak punya banyak waktu."

"Cih, belagu."

Kasar, Ibam mengusap wajah. Menarik Rio menyingkir agar obrolannya tak terdengar oleh Hasan atau yang lain. "Apa pun maksud lo, jangan usik ketenangan di sini."

"Why? Takut ketahuan seburuk apa diri lo?" Rio berdecap lidah, menelisik penampilan Ibam. "Munafik!"

Ibam memejam, mengembuskan napas perlahan. "Mau lo apa, Rio?" ulangnya penuh penekanan.

"Kalo gue mau kita fight. Gimana?"

Menatap mata Rio tajam, Ibam bergeming. Rio mengangkat alis, menunggu jawaban.

"Gue nggak bisa."

"Nggak bisa, atau nggak berani?" Rio menepuk-tepuk pundak Ibam. Tertawa. "Came on. Jangan jadi baci cuma karena pemimpin lo udah mati."

Rahang Ibam mengeras. Tangannya terkepal erat di samping badan. Ibam jelas tak bisa menjelaskan alasannya, atau memberi respon, tak peduli segatal apa tangannya ingin menghajar Rio. Kemudian Rio beserta kawanan pergi setelah meninggalkan ancaman---akan terus datang sampai Ibam kembali ke gengnya untuk menyanggupi tantangan. Dan itu sukses membuat Ibam kepikiran, bahkan saat dirinya harus ke ndalem menemui kiai Usman untuk menjawab pertanyaan yang sama seperti Hasan, Bayu juga pengurus lain lontarkan.

"Iya, Abah. Mereka beneran bukan teman Ibam," jawab Ibam akhirnya.

"Tujuan mereka datang jauh-jauh ke Bandung untuk apa?"

Lagi, Ibam diam. Rasanya seperti menelan buah simalakama. Semua opsi yang disuguhkan berpotensi mengusik ketenangan orang di sekitar Ibam.

"Ibam?" panggil Kiai.

"Saya punya utang sama mereka, dan harus pulang dulu ke Jakarta."

Tbc ...

Zenith (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang