part 12

293 50 0
                                    

Awalnya, Ibam tak begitu peduli dengan kegiatan sosial yang akan diselenggarakan siang nanti. Namun, melihat santri putra yang sepertinya terbiasa mengulek bumbu dan membersihkan ayam, atau santri putri yang multitasking, Ibam merasa diejek terang-terangan. Jadi, Ibam pun ikut turun tangan. Tak ingin diremehkan. Dia melakukan apa saja agar seolah sibuk di antara puluhan orang di pekarangan rumah kiai Usman. Banyaknya masakan yang ingin diolah, membuat dapur pesantren dan dapur di ndalem tak cukup untuk bergerak leluasa. Alhasil, setelah subuh tadi, mereka memboyong kompor, meja, wajan, panci, pun seluruh alat yang dibutuhkan kemari.

Dan, kehangatan gotong royong, juga ikatan kekeluargaan yang nampak sangat kental dari wajah semringah mereka, secara nyata mengundang perasaan terasingkan bagi Ibam.

Ibam pikir melewati dua tahun kurang di pesantren---setidaknya jika mama-papa membiarkan Ibam pulang setelah lulus SMA---dia akan merasa baik-baik saja tanpa seseorang yang disebut teman. Cukup menjalani hari-hari seperti semestinya sampai hari kebebasan itu tiba. Nyatanya baru satu minggu Ibam melewati, kesepian kerap kali singgah di hati. Ibam merindukan teman-temannya. Ibam merindukan lingkungan dan kesenangan di sana. Saking rindunya, Ibam sering mendadak kesal, lalu marah tanpa alasan. Dan itu semakin memperberat langkahnya untuk meraih apa yang diinginkan. Maaf dari orangtuanya. Sementara untuk membaur bersama santri lain, Ibam enggan. Untuk mengenal orang selain Aris dan Hasan, Ibam sungkan.

Namun, kini Ibam sadar. Mungkin, jika ada obrolan serta senda gurau yang bisa dilontarkan untuk mengundang tawa di saat lengang, harinya tak terasa panjang.

Sama seperti yang dilakukan Aris sekarang. Anak itu sedang mengobrol bersama temannya, tertawa sambil sesekali menepuk-nepuk pundaknya.

Pelan, Ibam mengembuskan napas. Berdeham untuk memberitahu jika dia sudah berdiri di belakang. Aris menoleh, mendongakkan wajah lalu bangkit dari kaleng cat yang sejak tadi diduduki.

"Sayurnya udah gue cuci," kata Ibam, mengulurkan ember hitam. Di bawahnya masih meneteskan air dari permukaan samping yang basah akibat diceburkan langsung ke bak air alih-alih menggunakan gayung.

"Terima kasih, Bang." Aris meraihnya, melirik sang teman dan berbicara menggunakan bahasa Sunda. Cowok berkoko crem itu bangkit, berlalu ke arah pengurus. Membantu di sana. "Menurut Bang Ibam, sayurnya enakan ditumis atau dimasak kuah?"

Mengedikkan bahu, Ibam mencuri pandang sekitar. Tak ada satu pun dari mereka yang nampak kebingungan melakukan tugasnya. Seolah di dalam kepala sudah ada catatan berisi langkah-langkah selanjutnya.

"Gue nggak pernah masak."

Aris melipat bibir ke dalam, menganggukkan kepala. "Tumis aja, deh. Biar nggak tumpah pas di dalam box makanan."

"Serah."

Sesudahnya, Aris memindahkan panci berisi air panas di tungku ke pinggir. Menggantinya dengan wajan yang diisi sedikit minyak goreng. Api di bawahnya dipadamkan sambil menunggu bahan disiapkan, menciptakan kepulan asap tebal. Ibam terbatuk keras, mengibaskan tangan di depan hidung, kemudian mengangkat kerah kaos hitamnya menutupi mulut beserta indra penciuman. Aris yang tersadar segera bangkit, meminta maaf berkali-kali. Dan itu membuat Ibam ditatap aneh oleh santri putra di sekitar sana. Ibam tersenyum miring, paham betul pikiran mereka. Manja!

"Bang Ibam nggak papa?"

Menghela napas, Ibam mengangguk pelan. Menurunkan kaos. Berdeham guna melonggarkan tenggorokan. Aris mengibaskan tangan di depan wajah Ibam, menghalau abu halus yang ikut berterbangan.

"Apa mau Aris antar ke kamar saja, Bang?"

"Jangan remehin gue!" Ibam mendengkus. "Gue mau di sini. Ayo, buruan. Mana yang harus gue kerjain."

Zenith (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang