Satu persatu lubang kusen pintu nampak terang. Suara-suara dari kamar menembus ke luar meningkahi hewan malam di kejauhan. Perlahan para santri berhamburan, berjalan sempoyongan sebab masih setengah sadar. Hasan dan ketiga rekan menyingkir dari tengah selasar, memerhatikan wajah-wajah ngantuk itu penuh rasa bangga.
Lalu, saat Aris, Irwan dan Guntur terlihat di antara mereka, Hasan langsung mencegatnya.
"A Ibrahim mana?"
Aris mengajak Hasan menyingkir sejenak, membuat dua teman Hasan dan teman Aris menatap penuh tanya.
"Bang Ibam susah dibangunin, A. Hampir semalaman dia nggak bisa tidur. Ngomel terus karena kasurnya keras, banyak nyamuk sama engap."
Hasan menghela napas, mengangguk dan tersenyum. Menepuk pundak Aris. "Ya sudah kalau gitu. Gih, ke mushala. Abah sudah nunggu."
Hasan bergerak ke kamar Khalid bin Walid sendirian, membuka pintunya kemudian menggelengkan kepala. Ibam tertidur dengan posisi melintang. Kepala berada di pinggiran ranjang, satu tangan menjuntai turun, dan kaki menendang tembok. Hasan mendekat, berdeham keras sebagai awal.
"Ibrahim!" Panggil Hasan. Menggoncang pundak Ibam. "Bangun, hey!"
Ibam tak terusik. Dengkuran halusnya terdengar menggelikan di telinga Hasan. "Katanya kasur keras, banyak nyamuk, pengap. Tapi tidurnya nyenyak."
Lantas, Hasan menarik paksa tangan Ibam sampai terduduk. Mata Ibam masih setia terpejam. Hasan tersenyum tipis, berbalik badan dan berkata, "sebentar lagi jama'ah mulai, Ibrahim. Cepat siap-siap."
Tak ada sahutan.
Hasan berbalik badan, kemudian menghela napas dalam nan panjang melihat Ibam sudah rubuh lagi ke bantal.
Tak ingin menyerah begitu saja, Hasan mendekat lagi ke arah Ibam. Mengerahkan seluruh tenaga untuk menarik Ibam berdiri, lalu mendorong badannya agar jalan. "Subhanallah, Ibrahim!" Gerutu Hasan, tepat di telinga Ibam.
Tak lama setelahnya, tubuh Ibam memberat berkali-kali lipat. Perlahan limbung menimpa Hasan yang langsung sigap mengokohkan pijakan sambil menyangga punggung Ibam agar tak jatuh ke lantai. Anak itu benar-benar tidak sadar. Atau mungkin sengaja mempermainkan Hasan dengan berpura-pura seperti orang pingsan?
"Kok bisa, ya, orang tidur sekebo ini." Hasan menghela napas, membawa Ibam ke dipan. Membiarkan posisi tidur Ibam yang salah meski tahu itu akan membuatnya sakit badan. Lantas Hasan menggiring kaki keluar, mendapati Ulya yang ternyata masih menunggu di depan. Adik tingkatnya itu bangkit dari bangku semen, menghampiri Hasan tepat saat Hasan menutup rapat pintu kamar.
"Di dalam memang ada siapa, Gus?" tanyanya, penasaran. "Kok kayaknya spesial banget sampai Gus Hasan turun tangan segala."
"Anaknya temen Abah," jawab Hasan seadanya, mulai melangkah bersama Ulya.
"Oh, yang tinggi putih kaya Hyung-Hyung Korea itu ya, Gus?"
"He'em. Kamu udah pernah ketemu?"
"Cuma papasan, Gus, kemarin siang. Tapi ngomong-ngomong, enggak apa-apa dia dibiarin nggak ikut jama'ah?"
"Enggak, lah. Tetep ada sanksi, dan itu biar saya yang urus."
"Oh, gitu." Ulya mengangguk paham.
Setelahnya dua laki-laki itu diam. Terpaan angin mengusik sarung yang mereka kenakan. Hasan melambaikan tangan pada Bayu di teras mushala. Nampak para santri sudah berdiri merapikan saf barisan.
"Habis dari mana, Gus, tumben belakangan?"
"Habis bantuin Ulya bangunin santri putra, Bay."
"Ada yang bermasalah, ta?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Zenith (End)
SpiritualHarus masuk pesantren kalau mau dimaafkan! Ibam galau memikirkan syarat gila yang orangtuanya berikan. Dia yang biasa berantem dan berteriak di jalan, mana cocok memakai sarung dan peci? Belum lagi statusnya yang akan berubah menjadi santri. Parahny...