part 20.

230 44 0
                                    

Setiap orang punya ketakutan. Begitu pula dengan Ibam. Selain kematian, sesuatu yang menyangkut mama juga tak kalah menyeramkan. Rasanya Ibam benar-benar hilang akal begitu bi Imah menyampaikan kabar. Jadi tanpa pikir panjang, dia tancap gas menggunakan motor Doni yang bahkan belum selesai dibetulkan. Persetan, katanya tadi sambil merebut paksa kunci dari sang teman. Dan benar-benar menjadi persetan karena sepanjang jalan pikiran Ibam berkeliaran. Memikirkan banyak spekulasi yang selama ini dia tekan kuat-kuat di dasar hati. Seperti papa-mama yang dia kira berubah, tentang eyang Putri, juga para tante menyebalkan yang suka memojokkan mama.

Namun sekarang Ibam mulai paham jika itu semua alur yang Tuhan rancang. Barangkali banyaknya hal di luar kendali Ibam adalah cara-Nya menunjukan bahwa tak ada yang lebih kuasa selain Dia. Sekeras apa pun Ibam meyakini nyantri adalah kemustahilan, pada akhirnya skenario-Nya membuat Ibam tak memiliki pilihan selain mengikuti jalan. Dan saat ini pun demikian.

Lalu fakta bahwa mama tak pernah marah sedikit pun, apalagi enggan melihat Ibam pulang sukses merenggut separuh fokusnya hingga mengambang. Antara jalanan ramai, atau pertanyaan retorik yang sudah disiapkan untuk dilontarkan pada papa. Maksudnya, jika mereka keberatan melepas Ibam, mengapa keputusan nyantri begitu dikukuhkan? Ibam tak mau lagi terjebak sendirian bersama situasi tak mengenakan. Penolakan oleh Bayu, peraturan pesantren dan kesukaran yang dilalui harus mendapat alasan masuk akal agar Ibam bisa memutuskan antara bertahan atau keluar. Jadi, Ibam lekas menaikan kecepatan. Tak peduli rapatnya jalan. Meliuk-liuk ditemani angin yang menyambar dari depan.

Namun tak lama kemudian, pandangannya berkunang-kunang. Stres yang dialami beberapa hari terakhir ternyata memberi efek pada fisiknya. Ibam kehilangan kendali. Motor yang dikendarai bergoyang, berbelok-belok sebelum menabrak trotoar dan melempar Ibam menghantam aspal.

"Ada kecelakaan!"

Ibam merasa tubuhnya mati rasa. Bibirnya terbuka tetapi tak ada satu pun kata yang keluar. Napasnya tersendat seiring nyeri di punggung yang mulai terasa. Perlahan langit berawan putih pekat di atas sana diganti wajah-wajah warga yang datang mengerumuninya. Berbicara cepat, saling pandang lalu mengangkat Ibam dari jalan menuju toko salah satu dari mereka. Ibam dibaringkan di kursi kayu di sudut warung, masih bisa mendengar kendati sang mata mulai terayun berat sebelum gelap merebut sadar sepenuhnya.

Apa yang terjadi?

Gue bakal bener-bener mati?

Kenapa sepi?

Dan ....

Suara pekak klakson memaksa mata Ibam terbuka lebar. Mendapati dirinya sedang berdiri di pinggir jalan dalam kondisi kuyup oleh hujan, Ibam mengedarkan pandang, bingung dengan apa yang terjadi sekarang.

Keadaan di tengah jalan sangat kacau, persis seperti saat Ibam melakukan tawuran. Dan bisa Ibam pastikan jika di sana memang sedang terjadi saling serang. Bermodal batu juga petasan, mereka saling menjatuhkan. Ibam tak berniat maju atau menyingkir. Terlalu linglung untuk sekadar mengayun langkah guna mencari arah. Suasana sekitar sepi total, seolah semua warga pergi dan membiarkan keributan berlangsung sampai memakan korban.

Lalu suara Agung tiba-tiba terdengar di tengah keributan yang diciptakan. Ibam segera memutar mata ke setiap jengkal, bergerak resah sebelum sosok Agung terlihat sedang berusaha keluar dari kerumunan dengan susah payah. Tanpa menunggu, Ibam memacu langkah menyebrang jalan. Namun sebelum sampai, suara tembak lebih dulu menginterupsi bersamaan dengan nyeri di jantung Ibam yang seketika melumpuhkan kaki. Ibam ambruk bertumpu lutut, meremas kuat dada bagian kiri yang terasa terbakar dan ditusuk-tusuk. Matanya berlinang, tak lepas memandang Agung yang perlahan limbung setelah terkena peluru tepat di jantung. Bersimbah darah dan terkapar di bawah kaki orang-orang.

Zenith (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang