Ibam masih setengah sadar, berjalan seperti orang mabok di selasar bersama Hasan. Dia diarahkan ke kamar mandi untuk bersih-bersih sekadarnya sebelum dituntun ke mushala guna melakukan jama'ah salat tahajud. Ibam menguap, menempatkan diri di paling belakang ditemani Hasan. Takbir dari imam mulai dikumandangkan, suara-suara sekitar perlahan senyap, meninggalkan bunyi hewan malam. Ibam menyandarkan sebelah pundak ke tembok, tak membaca surat pendek seperti yang seharusnya dilakukan. Sibuk menguap. Dia mengikuti gerakan malas-malasan sampai selesai, lalu duduk merapatkan punggung ke tembok sambil menunggu subuh tiba. Hasan yang setia mendampingi hanya menggelengkan kepala, membiarkan Ibam terlelap sampai adzan berkumandang.
"Ayo, buruan wudhu, bentar lagi iqomah, lho. Nanti nggak keburu qobliyah."
"Gue belum batal." Ibam berkedip lambat, masih di posisi semula. Terjaga karena Hasan menepuk pipinya. Beberapa santri nampak melaksanakan salat, beberapa lagi masih di luar menunggu giliran berwudhu.
Hasan menarik tangan Ibam, berkata, "kamu udah tidur, mana sadar kalau tadi buang gas."
"Gue akhiran ... Ah! Sakit bego! Dikira tangan gue tambang."
Mulut kotor Ibam mengundang lirikan tajam.
"Makanya nurut." Hasan tak mengacuhkan decakan Ibam. Terus menyeretnya sampai ke tempat wudhu. Dia mengawasi gerakan Ibam, dan sesekali menegur saat anak itu sengaja melewatkan satu bagian. Ibam berteriak kesal, menyipratkan air pada Hasan.
"Seger, kan?" tanya Hasan, menepuk pundak Ibam yang baru selesai.
"Seger your head! Dingin, jir."
Hasan terkekeh pelan, benar-benar mengawal Ibam. "Kamu tahu nggak, keuntungan orang yang bisa melaksanakan salat malam dan qobliyah subuh?"
Ibam meresponnya dengan menguap lebar. Menggelar sajadah dan membenarkan kopiah putih di kepala. Hasan tersenyum, memandang Ibam. Ibam yang sadar kontan menoleh, mendelik tak suka. "Apa si lo, senyum mulu. Gue ngeri, anjir!"
"Lho, ngeri kenapa? Harusnya kamu tuh seneng kayak saya karena berhasil jadi orang paling kaya."
"Bodo ah. Nggak jelas."
"Rasulullah SWA bersabda, 'Dua rakaat fajar (salat qabliya subuh) lebih baik dari dunia dan seisinya' (HR. Muslim no 725)"
Ibam merotasikan mata, membuat Hasan terkekeh geli. Selanjutnya baik Ibam atau Hasan, keduanya sama-sama melaksanakan sunah yang diikuti kewajiban salat subuh berjamaah. Namun kantuk yang Ibam rasakan tak kunjung hilang. Dia memilih berbaring nyaman di atas sajadah setelah selesai, memejamkan mata, meletakan sebelah lengan di dahi guna menghalau silau lampu. Kakinya yang panjang menyentuh kotak amal di bawah. Tak peduli dengan keras ubin, pandangan heran, atau suara salam abah Umar sebelum memulai kajian, Ibam kembali menyelami alam mimpi. Hasan di sampingnya hanya bisa mengembuskan napas pasrah, tak bisa memaksa Ibam untuk duduk tegak menyimak apa yang Abah sampaikan. Lalu, entah di menit ke berapa, Ibam melompat bangkit tiba-tiba. Mengagetkan Hasan, juga santri di dekat sana.
"Bam?" Hasan berdiri, menyentuh pundak Ibam. Ibam menoleh, menatap linglung wajah Hasan. "Ada apa?"
"Gue ...."
"Iya. Kamu kenapa?" Bukanya menyahut, Ibam justru terbengong. Hasan celingukan. Mencari sesuatu yang mungkin janggal, tetapi tak menemukan apa-apa.
"Ibam?"
Ibam menggeleng. Duduk ke tempat semula, dan diam seribu bahasa. Barulah saat semua orang bubar keluar mushala, termasuk Ibam dan Hasan, Ibam berbicara, "lo pernah nggak, tiba-tiba ngerasain merinding sama sesuatu?"
"Sesuatunya apa dulu? Jurik?"
"Gue serius!"
"Saya juga serius, Bam. Kamu tadi baru mimpiin hantu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Zenith (End)
SpiritualHarus masuk pesantren kalau mau dimaafkan! Ibam galau memikirkan syarat gila yang orangtuanya berikan. Dia yang biasa berantem dan berteriak di jalan, mana cocok memakai sarung dan peci? Belum lagi statusnya yang akan berubah menjadi santri. Parahny...