Ibam memungut gumpalan kertas di dekat tong sampah, membukanya perlahan lalu bergerak ke meja belajar dan menandatangi kolom yang disediakan. Setelahnya meraih tas hitam di atas dipan, disampirkan ke sebelah pundak sebelum keluar kamar.
Di anak tangga pertama, Ibam melongok ke bawah, memerhatikan kedua orangtuanya di meja makan. Mama cekatan meletakan mangkuk berisi masakan bersama bi Imah yang sesudahnya melipir ke depan. Ingin melanjutkan bersih-bersih, katanya.
Ibam menuruni tangga, menghampiri mama-papa. Meletakan formulir di atas meja hingga menarik perhatian mereka seutuhnya.
"Ibam sudah tanda tangan. Papa bisa secepatnya urus semua."
Berbeda dari mama yang menatap wajah Ibam, papa justru fokus ke tulang punggung tangan kiri Ibam yang nampak merah kebiruan. Pertanda anak itu sudah meninju sesuatu.
"Ibam serius mau masuk pesantren?"
Mengangguk kecil, Ibam tersenyum paksa pada mama. Jika boleh jujur, Ibam masih belum rela berpisah dari teman-temannya. Namun, papa sedang tak bisa Ibam lunakkan. Dan mama juga memilih diam seolah memberi tanda agar Ibam mengiyakan.
"Alhamdulillah." Mama menoleh ke arah papa. Papa mengangguk kecil entah untuk alasan apa.
Ibam melirik jam di pergelangan tangan. Kemudian berpamitan.
"Ya udah, Ibam berangkat dulu."
"Nggak sarapan dulu, Bam? Ini masih pukul 06.15 pagi."
"Gampang nanti di sekolah, Mam." Ibam meraih tangan mama, dicium singkat. Beralih ke papa. "Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
Sepeninggalan Ibam, papa menggeleng samar, bergumam, "Ngambek." Lalu melanjutkan sarapan dalam diam.
Sementara, mama tersenyum tipis penuh ketidakrelaan menatap kertas di hadapan. Beliau mencoba menguasai pertentangan batin yang dirasakan. Mama berat melepaskan Ibam. Tak pernah sedikit pun memiliki keinginan untuk mengirim anak satu-satunya itu jauh dari dekapan. Namun, demi kebaikan Ibam, mama harus bisa melakukan.
Begitu selesai, papa langsung berangkat ke kantor. Diantar mama sampai ke pintu depan. Kemudian mama naik ke kamar Ibam, membuka pintunya perlahan. Tak terkejut sama sekali meski keadaan ruangan berdiameter 5×6 meter bercat abu-abu muda itu bak diserang topan. Bantal ada di lantai, selimut menjulur dari pinggiran dipan. Baju kotor Ibam teronggok di meja belajar bersama gumpalan handuk basah. Buku, pulpen dan kertas disebar berceceran di lantai.
Mama masuk, memunguti apa-apa saja sambil bergerak menuju jendela guna menyingsing tirai sebelum membukanya, mempersilakan udara pagi masuk menyegarkan hawa.
Ibam adalah anaknya. Kebiasaan-kebiasaan Ibam sudah bisa mama hapal di luar kepala. Jadi, tanpa perlu dikonfirmasi pun mama sudah tahu jika semalam Ibam mengobrak-abrik kamarnya. Melampiaskan amarah seperti biasa.
Bergeser ke arah ranjang, mama membereskan kasur. Setelahnya duduk di sana, bergeming sambil menatap nanar ke depan. Menghela napas dalam. "Maafin Mama ya, Bam."
•••
Suara tawa terdengar dari dalam bangunan sederhana bercat toska yang terletak di area kos-kosan putra para mahasiswa. Ibam menghentikan motor di depannya. Suasana selalu sepi dan lengang sebab para penghuninya masih sibuk di luar sana. Lalu saat Ibam menyimpan helm di salah satu stang motor, seseorang keluar dan lekas menghampiri Ibam. Tersenyum, mengajak bertos tangan.
"Bang Agung di dalam?" tanya Ibam, menyisir rambut ke belakang.
"Komplit, Bang. Bang Doni juga ada."
KAMU SEDANG MEMBACA
Zenith (End)
SpiritualHarus masuk pesantren kalau mau dimaafkan! Ibam galau memikirkan syarat gila yang orangtuanya berikan. Dia yang biasa berantem dan berteriak di jalan, mana cocok memakai sarung dan peci? Belum lagi statusnya yang akan berubah menjadi santri. Parahny...