Ibam terlentang. Kedua kaki menapak ubin kamar. Sensasi dingin yang menjalar tak dihiraukan. Dia berkedip lamban, pandangan kosong seolah tak bernyawa. Bayangan tanah basah pemakaman Agung terpotret begitu jelas, dan menarik pikiran Ibam seutuhnya. Aroma bunga mawar ikut tertinggal lekat hingga menimbulkan sesak ... Lalu hampa.
Ibam ingin menangis dan berteriak sampai suaranya habis, tetapi tak bisa. Berujung menggumpal di dada, mencekat tenggorokannya. Ibam ingin membalas dendam pada si pelaku dengan cara tak kalah sadis, tetapi tak tahu harus bagaimana. Marah, Ibam sangat marah. Jari-jarinya selalu terkepal kuat saat mengingat cerita dari Nandan di pemakaman. Namun, tak lama setelahnya kembali mengendur dengan tak berdaya.
Lalu, wajah mama-papa ikut mengambil alih emosinya. Diaduk sempurna oleh cerita Siska. Ibam tak mau bernasib sama seperti Agung yang secara tak langsung dibuang oleh keluarga, bahkan orang tua. Ibam tak sanggup membayangkan jika Tuhan memanggilnya lebih dulu dari mama, dan dilupakan begitu saja saking seringnya membuat kecewa.
Yah, Ibam tak bisa menampik jika masih ada gentar saat mengingat kematian. Kenangan bersama pneumonia tak pernah bisa dihapus seutuhnya. Infeksi yang terjadi karena kantung kecil di paru-paru terisi oleh cairan itu sering membuat dada Ibam nyeri hingga kepayahan saat bernapas.
Mama selalu cepat bertindak membawa Ibam ke rumah sakit. Kemudian menemui dokter di ruangannya, dan kembali ke kamar rawat Ibam sambil berderai air mata. Saat itu, Ibam masih terlalu kecil untuk mengerti semuanya. Hanya bisa diam menyaksikan wajah kacau mama-papa.
Seiring waktu, hal tersebut menjadi alarm dalam diri Ibam. Itulah kenapa, meski sudah dinyatakan sembuh total, Ibam selalu mengindari rokok---percobaan pertamanya saat di mini market bersama Agung---atau menyicip minuman keras kendati sering tergoda. Alasannya, karena konsekuensi paling buruk---kematian---menghadang di depannya.
Ibam memejam. Meletakan lengan kiri di atas dahi, sementara telapak tangan kanannya menyentuh dada. Merasakan detak teratur dari sana. Kini, dia sadar jika rem yang Hasan katakan ternyata sudah dia lakukan.
Dan, andai Ibam memberlakukan rem tersebut ketika awal mula konflik tawuran terjadi, mama-papa mungkin tak akan keberatan dengan pergaulannya dan tak perlu memaksa Ibam nyantri. Andai, teman-teman gengnya juga demikian, kejadian yang menimpa Agung pasti bisa dihindari. Jadi, intinya bukan pergaulan yang salah, tetapi lemahnya kendali di masing-masing individu, kan?
Ibam mengembuskan napas dalam, tak ada gunanya berandai sekarang. Dia bangkit, keluar kamar dan mencari Hasan di semua tempat yang memungkinkan. Bergegas ke ndalem setelah Aris memberitahu jika Hasan ada di sana.
Tanpa ragu, dia mengetuk pintu kayu kediaman kiai Usman sambil memberi salam, dilatarbelakangi suara hewan malam khas desa pedalaman. Tak perlu waktu lama, seseorang membukanya. Bu Nyai dengan kerudung lebar hitam sampai dengkul menyambut Ibam.
"Has ..." Ibam mengumpat dalam hati. Bisa-bisanya dia keceplosan memanggil Hasan tanpa embel-embel di depan bu Nyai. "Bang Hasan ada, Umi?"
"Oh, Hasan. Ada-ada. Sini, masuk dulu Bam. Umi panggil di dalem sebentar."
Ibam mengangguk, tersenyum dan duduk di sofa coklat ruang tamu. Banyaknya hiasan dinding berupa kaligrafi menyambut mata Ibam. Penerang LED kuning di atas plafon anyaman bambu memantul di permukaan kaca pigura besar di tembok kayu seberang.
Hasan muncul dari balik korden merah, membenarkan kopiah hitam di kepala. "Kenapa, Bam?" tanyanya, duduk di kursi singgle di depan Ibam. "Tumben nyari saya. Malam-malam pula."
Ibam membasahi bibir. Diam sebentar untuk mengumpulkan kosa kata yang rasanya berterbangan acak di kepala. "Gue pengen lo ngajarin gue salat sama ngaji."
KAMU SEDANG MEMBACA
Zenith (End)
SpiritualHarus masuk pesantren kalau mau dimaafkan! Ibam galau memikirkan syarat gila yang orangtuanya berikan. Dia yang biasa berantem dan berteriak di jalan, mana cocok memakai sarung dan peci? Belum lagi statusnya yang akan berubah menjadi santri. Parahny...