Ibam tak pulang ke pesantren begitu sekolah selesai. Dia bertolak ke warnet dekat sana dan menghabiskan waktu untuk duduk di depan komputer tanpa niat menghidupkannya. Ibam sudah membayar, tentu saja. Namun tak tahu harus berbuat apa membuatnya seolah lupa bagaimana menggunakan perangkat itu.
Pemilik warnet bahkan sudah menegurnya berkali-kali, meminta Ibam pulang saja jika tak memiliki keperluan sebab pelanggan lain juga sedang menunggu giliran. Ibam yang sedang malas berbicara hanya mengeluarkan dua lembar lima puluhan, diserahkan pada pria gembul itu dan cukup untuk membungkam mulutnya yang cerewet sampai malam. Dan, sekarang Ibam malah bingung antara ke pesantren atau mencari penginapan saja untuk pulang. Bukan bagaimana, Ibam hanya masih sangat kecewa dengan papa. Dia butuh waktu untuk meredakan emosinya yang bergelung bagai badai pasang. Akan tetapi bolehkah Ibam berbuat seperti itu? Apa papa akan mengerti, atau malah balik menyudutkannya?
Pelan, Ibam mengembuskan napas. Mengeluarkan lagi uang dari kantong celana abu-abu dan diserahkan ke pemilik warnet. Jam masih menunjukan pukul 21.06, mungkin sekitar lima belas menit ke depan perasaan Ibam membaik. Paling tidak bisa dikontrol agar tak dilampiaskan sembarangan. Cukup Dafa saja yang menjadi korban dan berakhir dengan Ibam diberi hukuman.
Tepatnya siang tadi, saat bel pulang berbunyi. Bu Kirana—guru BK—memanggil Ibam dari ruang TU dengan mikrofon yang biasa digunakan untuk menyiarkan pengumuman. Akibatnya satu sekolahan mendengar, lalu secara tak langsung menandai Ibam sebagai siswa nakal. Bagaimana tidak? Bu Kirana tak tanggung dalam menunjukannya. Wanita berkepala empat itu meminta Ibam dan Dafa yang saat Ibam masuk ke ruang BK sudah ada di sana karena kegiatan osis, untuk bersalaman di tengah lapangan sambil saling meminta maaf. Ibam menolak, tentu saja. Pikirnya, Dafa yang bersalah, jadi dia yang harus meminta maaf. Bukan dirinya.
Keributan kecil pun terjadi, membuat bu Kirana ikut kelapangan untuk melerai sekaligus mengawasi. Selama beberapa menit, Ibam dan Dafa menarik hampir seluruh mata. Tak sedikit dari mereka memilih berdiri di selasar sambil menggosip, atau sekadar lewat untuk melihat rupa siswa baru bernama Ibrahim Aryaputra.
Ibam sadar itu, dan dibuat malu setengah mati karenanya. Sungguh, Ibam tak suka menjadi pusat perhatian. Hal tersebut selalu mengingatkannya pada saat dia menjadi korban pem-bullyan di SMP. Alasannya tak masuk akal. Ibam yang setiap hari diantar-jemput menggunakan mobil, juga penampilan papa yang selalu memakai jas rapi mengundang perasaan iri teman-teman sekelasnya, terutama para cewek. Keinginan mama untuk memasukan Ibam ke SMP swasta kecil, berdalih lebih dekat dari rumah, memang sebuah kesalahan. Ibam ingat waktu itu dia sampai mogok masuk sekolah selama satu minggu, dan akhirnya bertemu Agung di warung kecil dekat SMP. Laki-laki itu masih berseragam SMA, tetapi auranya berhasil menyedot kekaguman Ibam.
"Maaf, Bang, boleh duduk sini?" tanya Ibam SMP, menunduk ragu.
Agung mengangguk, menggeser tubuh tingginya sambil menyesap kopi.
"Abang punya geng, ya? Aku pernah lihat Abang sama rombongan di jalan depan SMP."
"Oh." Agung menelisik Ibam. Mengangguk. "Bisa dibilang gitu. Kenapa emangnya?"
"Aku mau gabung. Gimana caranya?"
Dan begitu saja kehidupan sekolah Ibam berubah seutuhnya. Dia mulai berani menatap balik para pem-bully dengan tatapan tajamnya. Kepercayaan diri meningkat, dan kedengkian teman-temannya malah mendorong Ibam untuk bersikap angkuh. Fakta tentang Ibam yang tak menyukai perempuan hingga detik ini berawal dari sana. Tak peduli mereka yang mengejar, atau mereka yang merasa keberatan sebab kenakalannya---seperti Eyang Putri, para tante, guru BK dari sekolahan lama dan bu Kirana yang sedang menatap Ibam sambil menggendong tangan.
"Ibrahim, minta maaf ke Dafa." Ulang beliau untuk ke sekian.
"Tapi saya nggak salah."
"Minta maaf bukan berarti salah, Ibrahim. Atau kamu mau di sini sampai malam? Saya tidak keberatan nemenin kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Zenith (End)
SpiritualHarus masuk pesantren kalau mau dimaafkan! Ibam galau memikirkan syarat gila yang orangtuanya berikan. Dia yang biasa berantem dan berteriak di jalan, mana cocok memakai sarung dan peci? Belum lagi statusnya yang akan berubah menjadi santri. Parahny...