part 16 a.

255 49 0
                                    

Kegiatan Ibam setelah asar bukan lagi rebahan di kamar. Sejak beberapa hari lalu, dirinya rutin menetap di teras mushala sambil membaca panduan salat yang dibuka di pangkuan. Bahkan demi mendapat fokus, Ibam rela menepi dari keramaian santri seperti sekarang---duduk di sisi lain mushala, menghadap kebun pisang yang dibatasi pagar bambu setinggi dada orang dewasa.

Ibam memejam, menutup wajah menggunakan buku panduan, dan berusaha menghafal salah satu bacaan. Sulitnya kegiatan yang sedang dilakukan, membuat Ibam sempat bertanya-tanya, bagaimana Aris dan santri lain sanggup menyerorkan puluhan ayat al-qur'an dalam satu hari. Lalu dengan senang hati Aris mengajari, meminta Ibam membaca ayat, doa atau apa pun yang ingin dihafal sebanyak 25 kali sambil dicermati. Setelahnya diulangi tanpa membuka catatan hingga benar-benar terpatri. Ibam pun lantas mengikuti dan hasilnya di luar ekspektasi. Dalam waktu dua jam saja, dia berhasil menghafal doa qunut dan iftitah beserta arti. Meski sebelum ini Ibam sudah mama ajari tata cara salat, tetapi Hasan ingin agar Ibam memulai dari awal lagi.

"Apa nggak telat, segede itu baru belajar salat?"

Seseorang berseru. Terdengar dekat. Tajam menusuk. Ibam menurunkan buku, menoleh ke arah si pelaku. Bayu sedang menatapnya remeh, tersenyum miring lalu mendekat.

"Kalo nggak ada urusan, mending lo pergi, deh, Bay."

"Lho, kenapa?" Terkekeh sumbang, Bayu menggendong tangan. "Ini tempat umum. Semua orang bebas menempatinya, termasuk saya."

"Serah." Kembali memfokuskan diri, Ibam membalik lembar lain. Dibaca berulang-ulang, sama seperti sebelumnya. Namun tatapan Bayu yang lekat serasa sedang menelanjangi Ibam terang-terangan. Ibam mengembuskan napas kasar, bangkit dan berbalik badan.

Bayu berdecap lidah. "Ternyata orang yang teriak paling kenceng di acara sosial, dan berlagak paling jagoan belum hafal pasolatan! Kalah sama bocah SD yang bahkan bisa baca sambil merem."

•••

Keadaan TPA sudah ramai saat Ibam sampai. Puluhan bocah berumur sekitar delapan tahunan duduk di tempat yang disediakan sambil memeluk al-qur'an. Menunggu Hasan datang untuk mengajar. Ibam ikut duduk di paling belakang. Paling tua dan paling besar. Bahkan mungkin paling awam masalah mengaji seperti yang Bayu katakan. Namun meski demikian, Ibam tak akan goyah lalu balik haluan. Setidaknya sekarang, di saat kematian Agung masih membayang, juga kemarahan mama-papa yang belum mereda. Ditambah mimpi mengerikan tempo hari yang sukses memberi rasa jeri, memaksa Ibam terjaga sebelum waktu tahajud tiba. Berakhir dengan diam menatap bawah ranjang Aris, overthinking sampai kepalanya pening.

Dan karena hal itu, Ibam yakin berat badannya semakin berkurang. Kentara dari beberapa kaos dan pinggang celana yang terasa longgar. Alhasil mau tak mau Ibam harus betah mengenakan koko dan sarung untuk menyelamatkan penampilan. Meski terlihat ketinggalan jaman, setidaknya busana itu jauh lebih baik ketimbang mempertontonkan tulang bahu, atau menaikan pinggang celana setiap waktu. Lalu masalah makan, agaknya Ibam juga harus berhenti menyisakan nasi di pinggan. Bukan ide bagus jika dia kembali sakit dalam waktu dekat ini, khawatir papa menganggapnya cuma alibi.

Ibam menoleh saat suara salam mengintrupsi lamunannya. Bayu yang berdiri di ambang pintu nampak tak kalah kaget dari Ibam yang sampai mengernyit tak percaya. Namun tak lama, Bayu menormalkan ekspresi, melanjutkan langkah dan duduk di tempat seharusnya Hasan berada.

"Assalamualaikum, semua," katanya mengawali. Tak ketinggalan senyum ramah yang baru pertama Ibam dapati. "Pada sehat?"

"Sehat, Ustaz," jawab para bocah setelah menjawab salam penuh semangat. Berbeda dengan Ibam yang membisu sambil mengunci pandang pada Bayu.

"Berhubung ustaz Hasan sedang berhalangan, jadi saya yang akan menggantikan beliau mengajar. Saya harap tidak ada yang keberatan." Di akhir kalimat, Bayu membalas tatapan Ibam. Sorot matanya seolah sedang menertawakan kehadiran Ibam. "Baik, sampai di juz berapa untuk membaca bersamanya?"

"Juz 6, surah al-Maidah ayat 34, Ustaz."

"Baik." Bayu membuka kitab suci al-qur'an di atas rekal. "Kita mulai, ya. Yuk, taawudz bareng-bareng."

Suara bocah-bocah mendominasi suasana, memantul ke langit-langit rendah berplafon putih ruangan berukuran 5×5 meter ini. Ibam mengikuti meski sangat terpaksa. Maksudnya sebab Bayu yang notabennya orang paling tidak Ibam sukai di pesantren kini justru menjadi gurunya.

Kemudian pada lembar kedua, Bayu menghentikan bacaan dengan tashdiq. Ibam yang sedari awal hanya menyeret lidah mengembuskan napas jengah.

Satu persatu bocah berjumlah sebelas itu maju. Bayu mengangguk, tak banyak membenarkan apa yang mereka lantunkan. Diam-diam Ibam merasa insecure. Dorongan untuk keluar alih-alih tetap menunggu di dalam semakin besar. Perlahan Ibam mengembuskan napas. Sebisa mungkin menekan keinginan kabur sampai tiba giliran. Dia lantas beringsut ke depan, membuang ego juga menjilat ludahnya sendiri yang pernah bilang akan menolak jika menjadi murid Bayu. Namun, begitu Ibam meletakan al-qur'an ke atas rekal, Bayu justru berseru pada bocah-bocah, mengabaikan Ibam. Membuat Ibam membeku menahan malu.

"Hari ini siapa yang mau mimpin doa?" tanya Bayu, riang.

"Ahmad!"

Bocah gendut mengacungkan tangan, mendapat anggukan persetujuan. Setelah selesai, Bayu berdiri. Diikuti mereka yang berebut menyalimi. Ibam mengepalkan tangan, mengeratkan rahang lalu bangkit dan melayangkan pukulan pada Bayu tepat di tulang pipi kanan. Jeritan kaget bersahutan.

"Lo emang bangsat, ya!" teriak Ibam. Menarik kerah koko putih yang Bayu kenakan.

Berdecih sinis, Bayu menatap Ibam tajam. Bergeming saling pandang sebelum tangan Bayu melakukan balasan hingga Ibam terhuyung ke belakang. Hampir mengenai murid-murid Hasan yang masih menonton sambil ketakutan.

"Jangan kira saya takut sama kamu, Ibrahim."

"Bacot!" Ibam kembali menyerang. Kali dengan brutal. Bayu dipojokkan ke dinding dekat jendela, dikunci pergerakannya menggunakan lengan yang Ibam tekan di leher. "Gue muak sama lo!"

"Kalau begitu keluar saja. Nggak ada yang butuh kamu tetap tinggal."

Setelah berucap dengan penuh penekanan, Bayu mendorong dada Ibam sangat kuat. Ibam terjerembab, menabrak rekal sebelum mendaratkan punggung ke ubin dengan keras. Dia mendengkus, mengabaikan tulangnya yang ngilu lalu melompat bangkit menubruk Bayu. Beberapa kali kedua laki-laki itu saling meninju, sili berganti mengunci dan terkuci gerak. Ibam yang saat ini sedang menang telak menabrakan tubuh Bayu ke kaca jendela hingga pecah, dan membuat serakan beling di mana-mana.

•••

Ibam dan Bayu didudukkan bersebelahan di ndalem. Keduanya menundukkan kepala di depan kiai Usman.

"Kenapa kalian sampai berkelahi seperti ini?" tanya beliau, rendah. Tak sedikit pun menunjukan amarah kendati keributan tadi berhasil menggemparkan seisi pesantren.

"Bayu menolak ngajarin saya ngaji, Abah."

"Benar begitu, Bayu?"

"Sama sekali tidak, Abah," jawab Bayu, pelan. "Saya hanya ingin membubarkan anak-anak terlebih dahulu sebelum mengajari Ibrahim."

"Bohong!" Ibam setengah menggeram, mengepalkan tangan sambil menatap Bayu tajam. Laki-laki itu tak berkutik. Gesture tubuhnya seolah sedang menyesali perbuatannya barusan. "Lo nggak usah munafik, anjir!"

"Ibam!" Hasan yang sejak tadi diam di belakang kiai Usman memperingatkan. Ibam mendengkus dan memalingkan wajah ke sembarang.

Menarik garis senyum, kiai Usman mengangguk paham. Mempersilakan Bayu juga Ibam keluar. Kemudian beberapa pengurus diminta masuk untuk mendiskusikan tindakan apa yang harus dilakukan. Kejadian ini sudah terdengar hingga ke luar. Satu- dua orang tua bocah-bocah itu bahkan menemui kiai Usman meminta agar kejadian serupa tak terulang.

"Maaf, pak Kiai. Tapi menurut saya, setelah kejadian ini, saudara Ibam pantas dikeluarkan dari pesantren sebagai sanksi."

"Yang lain, bagaimana?" Kiai Usman menelisik satu persatu wajah murid-muridnya yang duduk di sofa seberang. "Abah tidak bisa memutuskan berdasarkan pendapat satu orang."

Keempat santri, kecuali Hasan, saling melempar pandang. Mengangguk samar lalu salah satunya ikut membuka suara, mewakili, "kita setuju, Kiai."

Tbc ...

Zenith (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang