Ibam mengangkat pandang saat pintu kamar asrama dibuka. Aris masuk sambil mendekap mushaf di tangan kananya. Ibam mendudukkan diri, menatap gerak-gerik Aris yang tengah menaruh mushaf di atas tumpukan buku di rak kayu di pojok kamar. Koko putih dan peci yang Aris kenakan nampak kebesaran. Lalu setelahnya Aris membereskan piring dan gelas bekas sarapan Ibam. Ada butiran obat putih di antara sayuran yang Ibam sisihkan.
Aris keluar kamar tanpa mengatakan sepatah kata, kembali masuk bersama dua anak lain yang tak acuh pada Ibam sejak kedatangannya. Dan itu bukan masalah besar sebab sejak awal Ibam tak ada niatan membangun circle pertemanan. Asal Aris masih bisa dia tarik ulur, Ibam merasa tak keberatan jika seterusnya menjadi alien saat mereka berdua mengobrol di kamar. Karena menurut Ibam, Aris adalah kartu AS yang sangat disayangkan jika tidak dimanfaatkan.
Ibam berdeham. Memanggil Aris. Aris mendekat, tersenyum.
"Kenapa, Bang?"
Suara pintu ditutup terdengar. Dua teman Aris keluar membawa handuk juga ember berisi peralatan mandi.
"Gue butuh bantuan lo."
"Apa, Bang?"
"Ambilin HP gue."
Aris menggeleng. Wajahnya panik. "Enggak berani, Bang. Semua hp ada di kantor pengurus, dan enggak boleh diambil kecuali ada keperluan."
"Gue ada perlu. Gue pengen telpon Mama."
"Ada hp umum di kantor, Bang. Abang bisa pakai itu."
"Nggak bisa."
"Nggak bisa pakai hp jadul?"
"Ck, bukan!" Ibam menyemburkan napas kasar. "Gue mau ngomongin masalah pribadi."
"Tapi, Bang ..."
"Ayo si, Ris. Ini tuh penting banget. Mengangkut ... Em, menyangkut ...." Mata Ibam bergerak, dalam kepala sibuk mencari alasan masuk akal. "Kesehatan gue." Jarinya menjentik. "Iya, bener. Kesehatan gue. Gue punya penyakit bawaan, Ris. Dan gue yakin lo nggak mau gue kenapa-napa di sini, terus pesantren disalahin karena itu, kan?"
Dasar Ibam! Lihat, Aris yang polos jadi menggigit bibir bawah sambil menekan-nekan ruas jari. Kebingungan.
Ibam melompat bangkit, memutar paksa badan Aris dan mendorongnya ke ambang pintu. "Nggak usah banyak mikir. Udah, sana. Diem-diem tapi ngambilnya. Gue nggak mau ada yang tahu urusan gue. Rahasia. Ngerti lah, maksud gue."
"Emang Bang Ibam punya riwayat sakit apa?" Aris memutar badan. Berdiri berhadapan dengan Ibam. "Parah?"
Menolak menjelaskan, Ibam menutup pintu dan kembali ke dipan. Dia mengaduh kesakitan sambil mengusap kepalanya yang tak sengaja terpentok ranjang besi. Kesal, Ibam mengumpat dan memaki-maki. Setelahnya menarik bantal yang kemudian digunakan untuk bersandar punggung. Bersedekap tangan, menyilangkan kaki menunggu Aris. Ibam tak berniat mandi atau sekadar berganti baju. Malas masuk lagi ke kamar mandi yang sudah membuatnya muntah-muntah karena kotor dan bau. Belum lagi jika bertemu dengan pengurus yang mengantarkan sarapan sekaligus mengambil hp-nya paksa. Ibam masih sebal dan empet saat ingat bagaimana laki-laki itu mendebat.
Lima belas menit yang diwarnai dengan decak, desahan, juga sumpah serapah oleh Ibam yang tak sabar menunggu Aris berakhir ketika anak itu menjembul dari daun pintu. Memegangi pinggang sebelah kanan sebelum mengeluarkan gawai tipis hitam Ibam dari sana.
"Celana Aris nggak ada sakunya, jadi biar nggak ketauan, diumpetin di sini," katanya, mengulurkan gawai Ibam. Ibam meraihnya kasar, tak berterima kasih, justru mengomel karena Aris terlalu lama. Aris meminta maaf, beralasan jika tak mudah masuk ke ruang pengurus yang dijaga. "Ya sudah, Aris mau siap-siap berangkat sekolah, Bang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Zenith (End)
SpiritualHarus masuk pesantren kalau mau dimaafkan! Ibam galau memikirkan syarat gila yang orangtuanya berikan. Dia yang biasa berantem dan berteriak di jalan, mana cocok memakai sarung dan peci? Belum lagi statusnya yang akan berubah menjadi santri. Parahny...