"Bang!"
Ibam melambaikan tangan, girang. Melirik kanan-kiri lalu lari menyebrang jalan menghampiri Agung. Agung menurunkan ponsel begitu Ibam sampai, memasukkan ke celana abu-abunya sebelum merangkul pundak anak SMP itu. Dibawa ke dalam warung kecil bermaterial kayu.
Di sana, teman-teman Agung yang lain sudah duduk berhadapan di bangku panjang. Menyeruput kopi juga mencomot gorengan yang bi Eem sajikan di atas meja.
Agung menyapa mereka semua, menempatkan diri di tempat yang tersisa.
"Bam, sini," katanya, menepuk ruang kosong di sampingnya. Membuat Ibam yang sempat bergeming perlahan mendekat. Tersenyum, menganggukkan kepala sebagai yang termuda, kemudian mendaratkan bokong meski gamang masih membrayang dada.
"Siapa, Gung?" Cowok berambut panjang di seberang paling ujung menelisik Ibam. Menilai. Melirik Agung setelahnya minta kejelasan.
"Temen gue."
Agung merengkuh pundak Ibam. Ibam menundukkan kepala. Malu dan segan. Ini pertama kali Ibam dibawa Agung bertemu semua teman-temannya yang ternyata cukup menciutkan nyali. Wajah-wajah yang terkesan tak ramah menguliti Ibam sampai tangannya gemetaran. Ibam takut akan ditertawakan, atau lebih parahnya dibully habis-habisan. Bagaimana pun hanya dia seorang yang terbilang anak ingusan. Seragam putih-navy-nya mencolok jika disejajarkan.
"Bocah SMP?" Cowok lain menimpali. Tak kalah heran.
"Iyap." Lagi-lagi Agung menjawab santai, seolah tak sadar dengan aura penolakan yang menguar.
"Ck." Suara decapan lidah itu mengganggu Ibam. Dan benar saja, detik berikutnya protes keberatan mengudara lantang. Cowok berambut panjang tadi agaknya benar-benar tak menyukai Ibam. "Lo pengen dapat masalah ngajakin bocah, Gung? Kalo mama-papanya tahu, bisa abis kita dimaki."
Kali ini, Ibam beranikan diri menatap langsung mata si rambut gondrong. Tangannya terkepal kuat. "Mama-papa gue nggak tahu. Dan tenang aja, mereka nggak bakal keberatan."
"Tuh!" Agung menurunkan tangan dari pundak Ibam. "Nggak keberatan katanya. Lagian dia yang mau gabung sendiri. Ya, 'kan?"
Ibam mengangguk.
"Udah si. Kita juga nggak pernah aneh-aneh, kan?" Memandang teman-temannya, Agung melanjutkan, "Ibam ini jadi korban bully di sekolahan karena duit sakunya banyak. Nggak masuk akal banget."
Mereka saling melempar pandang. Ada senyum yang disembunyikan. Ibam sadar jika itu bukan sesuatu yang baik. Namun tak masalah. Selagi Ibam dianggap menjadi bagian, Ibam dengan senang hati menawarkan diri untuk membayar jajan yang dimakan. Hal itu berlangsung beberapa bulan sebelum Agung melarang teman-temannya memanfaatkan Ibam. Ibam yang sebenarnya tak keberatan justru dilanda gusar. Dia takut tak lagi diterima dan berakhir dikucilkan untuk ke dua kalinya.
Lantas Ibam mengajak Agung berbicara berdua tanpa sepengetahuan teman-temannya. Menyuarakan kegundahan atas apa yang Agung lakukan.
"Gue tau lo nggak apa-apa, tapi gue yang nggak bisa buat nggak pa-pa."
Ibam menyimak. Menatap lurus jalan raya. Bangku halte depan gedung SMP yang didudukinya terasa panas sebab seharian ditimpa terik.
"Gue yang setuju lo gabung di geng gue, dan gue juga yang harus tanggung jawab. Gue nggak bisa biarin temen-temen gue bergantung terus sama elo. Okelah kalo sesekali doang. Itupun kalo emang untuk keperluan bersama. Tapi untuk terus-terusan gini ..." Agung menggeleng. Tak mau goyah. "Nggak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Zenith (End)
SpiritualHarus masuk pesantren kalau mau dimaafkan! Ibam galau memikirkan syarat gila yang orangtuanya berikan. Dia yang biasa berantem dan berteriak di jalan, mana cocok memakai sarung dan peci? Belum lagi statusnya yang akan berubah menjadi santri. Parahny...